Gugat UU DPR ke MK: Bisakah Warga Pecat Anggota Dewan?

Photo of author

By AdminTekno

Sejumlah mahasiswa mengajukan gugatan uji materi terhadap regulasi pemberhentian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menuntut agar usulan pemberhentian anggota dewan tidak hanya menjadi hak prerogatif partai politik, melainkan juga melibatkan setiap konstituen di daerah asal sang anggota DPR. Langkah berani ini, menurut para pakar hukum tata negara, dapat menjadi “terapi kejut” yang krusial bagi anggota legislatif, mendorong mereka untuk benar-benar mengemban aspirasi rakyat, bukan semata-mata kepentingan partai politik.

Para pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 239 ayat (2) huruf d dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, yang mengatur mekanisme pemberhentian antarwaktu (PAW) anggota DPR, bertentangan dengan konstitusi. Dalam berkas permohonan yang diajukan ke MK, mereka berharap pasal tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum jika tidak dimaknai bahwa “anggota DPR diberhentikan antarwaktu apabila diusulkan partai politik dan atau konstituennya”.

Menurut salah satu pemohon, Rizki Maulana Syafei, tujuan utama gugatan ini adalah “agar masyarakat diberikan ruang untuk ikut mengontrol wakil rakyatnya yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik”. Sementara itu, Ketua Badan Legislasi DPR, Bob Hasan, menyatakan tidak mempermasalahkan uji materi tersebut. Namun, beberapa anggota DPR lainnya berpendapat bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk menyidangkan gugatan semacam ini. Pertanyaannya kini, apakah Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan permohonan yang diajukan oleh para mahasiswa ini?

Hak rakyat dikebiri

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, yang mengatur segala hal terkait Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), DPR, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), atau yang lebih dikenal dengan sebutan UU MD3, kini kembali menjadi objek gugatan di MK. Kali ini, lima mahasiswa yang secara resmi mendaftarkan permohonan mereka pada 24 Oktober lalu.

Kelima mahasiswa tersebut adalah Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna. Dalam salinan berkas permohonannya, mereka secara spesifik menggugat Pasal 239 Ayat 2 huruf d yang berkaitan dengan mekanisme pemberhentian anggota DPR.

“Kami berangkat bukan dari kebencian terhadap DPR dan partai politik, tetapi kami ingin masyarakat diberikan ruang untuk mengontrol wakil-wakil yang sudah dipilih,” ungkap Rizki Maulana Syafei kepada BBC News Indonesia, Minggu (23/11). Rizki menuturkan bahwa gagasan uji materi ini sebenarnya telah lama diniatkan. Diskusi mendalam di Komunitas Pemerhati Konstitusi, tempat mereka bernaung, sering mengangkat perdebatan mengenai ketiadaan keterlibatan rakyat dalam pemberhentian anggota DPR. Mereka berpandangan bahwa rakyat, sebagai pemegang kedaulatan, justru tidak memiliki hak atau kesempatan yang setara untuk mengusulkan pemberhentian wakil rakyat mereka.

Konsekuensi dari aturan pemberhentian anggota DPR yang ada saat ini, menurut Rizki, adalah terhalangnya masyarakat untuk menjatuhkan sanksi terhadap wakilnya yang tidak bekerja sesuai janji-janji politik. “Artinya hak kita dikebiri, padahal sebagai masyarakat kita ingin memajukan sebuah pemerintahan yang dititipkan lewat wakilnya. Tapi wakilnya tidak menjalankan fungsinya dengan baik,” tambahnya.

Niat mengajukan uji materi ini semakin menguat setelah gelombang demonstrasi pecah pada akhir Agustus lalu di berbagai daerah di Indonesia, yang berujung pada munculnya tuntutan masyarakat sipil. Salah satu tuntutan tersebut adalah pemecatan atau pemberian sanksi tegas kepada kader partai yang dinilai tidak etis dan memicu kemarahan publik. Ironisnya, sebagian partai politik merespons desakan ini hanya dengan menonaktifkan anggota mereka atas dugaan pelanggaran kode etik. “Kami melihat ada kesenjangan di sini,” ujar Rizki, menegaskan kembali pentingnya kontrol publik. “Sementara rakyat juga ingin diberikan ruang untuk mengontrol wakil-wakil rakyatnya yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik atau tidak mengemban amanah dengan baik.” Menyaksikan respons partai politik dan DPR yang dianggap mengabaikan aspirasi publik, Rizki dan keempat rekannya akhirnya memutuskan untuk melayangkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Melalui permohonan ini, Rizki dan rekan-rekannya berharap MK dapat memberikan kesempatan yang sama kepada konstituen di daerah pemilihan agar memiliki hak setara untuk “mengontrol anggota legislatif”. Sederhananya, mereka ingin agar partai politik dan/atau konstituen di daerah pemilihan dapat mengusulkan penggantian antarwaktu anggota DPR. Mengenai mekanisme detailnya, Rizki menyerahkan sepenuhnya kepada pembentuk undang-undang, meskipun ia sempat mengusulkan beberapa cara yang diterapkan di negara-negara seperti Taiwan, Ekuador, Peru, dan Kolombia.

“Di beberapa negara ada konsep constituent recall, di mana konstituennya bisa ikut terlibat untuk mengganti anggota parlemen yang terpilih. Bisa melalui referendum atau mengajukan petisi,” ungkap Rizki. “Jadi tidak hanya memberikan ruang tunggal kepada partai politik untuk melakukan PAW, tapi rakyat pun, daerah pemilihan, diberikan kesempatan yang sama.” Ia juga mengkritisi peran Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagai satu-satunya alat kontrol publik saat ini. “Kontrol publik sejauh ini hanya Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Cuma MKD hanya sebatas sidang etik dan kemungkinan terjadi conflict of interest. Sebab MKD merupakan bagian dari tubuh DPR itu sendiri,” jelasnya. “Sehingga tidak ada kontrol yang cukup menggigit dari eksternal.”

Mengapa pasal ini layak digugat?

Ni’matul Huda, pakar hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia, sepakat bahwa Pasal 239 ayat 2 huruf d UU MD3 sangat layak untuk diuji di Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, peran partai politik yang terlalu dominan dalam memberhentikan kadernya seringkali tidak didasari oleh ukuran yang jelas. Sebagai contoh, ia menyebut kasus pemberhentian anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Lily Wahid, pada tahun 2013. Saat itu, PKB menyatakan alasan pemecatan adik Abdurrahman Wahid tersebut bukan karena terlibat dugaan korupsi, melainkan karena dianggap membangkang perintah partai.

“Jadi waktu itu Lily Wahid menolak keputusan pemerintah yang menaikkan bahan bakar minyak. Sementara PKB pada saat itu masuk koalisi pemerintahan Pak SBY yang berasal dari Demokrat,” paparnya. “Nah, dia dipecat, dikeluarkan dari parlemen dan diganti antarwaktu dengan orang lain.” Ni’matul menambahkan, “Di situ masyarakat kemudian mempertanyakan, kalau dia [Lily Wahid] mendapatkan suara terbanyak, kok partai begitu mudahnya menjatuhkan orang?”

Ni’matul menilai langkah lima mahasiswa tersebut dengan mengajukan uji materi ke MK sudah sangat tepat. Apalagi, lanjutnya, jika merujuk pada keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang belum lama ini diambil terhadap Adies Kadir, Nafa Urbach, Eko Hendro Purnomo, Surya Utama, dan Ahmad Sahroni. Ni’matul berpendapat bahwa keputusan MKD yang tidak memecat kelimanya, sesuai tuntutan publik, sudah dapat diprediksi. Sebab, lembaga tersebut tidak mungkin bertindak melebihi kapasitas kewenangan ketua partai. “Itu kan kayak sinetron aja. Enggak menarik,” ucapnya.

Lebih dari itu, Ni’matul meyakini bahwa keterlibatan konstituen dalam penggantian antarwaktu anggota DPR akan secara tidak langsung memungkinkan publik untuk mengawasi, mengawal, bahkan mempertahankan wakilnya agar tidak dijatuhkan oleh ketua partai. Dengan mekanisme seperti itu, menurutnya, sistem penggantian antarwaktu anggota DPR akan menjadi lebih sehat dan akuntabel. “Misalnya ada aspirasi yang masuk ke wakil rakyat, kemudian dia memperjuangkan di parlemen, tapi menurut pertimbangan partai membahayakan, dia bisa dijatuhkan,” jelasnya. “Nah, rakyat bisa berkata, enggak bisa menjatuhkan wakil kami, karena dia mempertahankan daerah kami.” Ia menekankan pentingnya dialog dalam demokrasi, “Di situ akan ada dialog. Kan ini demokrasi, partai kan perwakilan aspirasi rakyat. Kalau partai menutup diri, seolah-olah sudah selesai ketika pemilu, kemudian hubungan [caleg] hanya ke partai, itu salah banget,” cetusnya.

Bagaimana peluang permohonan ini dikabulkan?

Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, juga menyuarakan dukungannya terhadap uji materi UU MD3 ke MK, khususnya terkait aturan pelengseran anggota parlemen. Dari pengamatannya, mekanisme penggantian antarwaktu (PAW) seringkali disalahgunakan oleh partai politik untuk memanipulasi sistem demi “bergantian” menduduki jabatan di DPR.

“Jadi bisa janjian loh,” ujarnya. “Misalnya begini, A dan B sepakat untuk sama-sama di DPR. Nanti A duluan yang masuk 2,5 tahun, selanjutkan si B untuk sisa masa jabatan. Itu bisa terjadi, saya ada datanya,” kata Bivitri, mengungkapkan praktik culas yang sering terjadi. “Karena kalau kita pernah jadi anggota DPR dapat uang pensiun kan. Jadi curang sekali, luar biasa. Banyak sekali manipulasinya di lapangan karena PAW sepenuhnya dikontrol oleh partai politik.”

Bivitri juga berpandangan bahwa meskipun calon anggota legislatif terpilih menjadi wakil rakyat di DPR, pada dasarnya tanggung jawab mereka tetap kepada konstituen di daerah pemilihan, bukan semata-mata kepada partai politik. Menurutnya, partai politik hanyalah medium dalam merekrut hingga memberikan pendidikan politik kepada kader-kader mereka. “Sebenarnya anggota DPR itu bukan perwakilan partai politik, tapi dia wakil rakyat. Sehingga boleh dong kalau ternyata si anggota DPR tidak mewakili aspirasi kita, untuk bilang, ‘Saya mau menarik mandat saya’,” kata Bivitri.

Pasal 239 Ayat 2 huruf d UU MD3 sendiri setidaknya sudah lima kali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, mayoritas permohonan ditolak, meski ada beberapa yang dikabulkan sebagian. Bivitri menjelaskan bahwa banyak faktor yang memengaruhi putusan MK, mulai dari konfigurasi hakim-hakimnya, kekuatan argumentasi hukum pemohon, hingga peristiwa-peristiwa yang melatari gugatan tersebut. Ia mencontohkan, sebanyak 33 gugatan uji materi terkait ambang batas presidential threshold selalu kandas, namun pada permohonan yang ke-34, akhirnya dikabulkan. “Dan putusan itu mengubah konfigurasi politik di Indonesia,” kata Bivitri. “Paling tidak, MK sering kali, kalau mereka sudah melihat situasi yang lebih terbaru, makin kuat argumen pemohonnya, MK bisa saja berubah pikiran.”

Apa tanggapan DPR?

Ketua Badan Legislasi DPR, Bob Hasan, mengatakan bahwa pengajuan gugatan terhadap undang-undang ke MK adalah hak setiap warga negara. Namun, politikus Partai Gerindra itu menegaskan bahwa mekanisme pemberhentian anggota lewat pergantian antarwaktu (PAW) harus tetap berdasarkan UU MD3, yakni melalui partai politik. “Ketika sudah masuk menjadi wakil rakyat, maka itu diatur oleh MD3. Nah MD3 itu juga masuk bagian daripada adanya pelibatan partai politik,” kata Bob.

Bob tidak secara gamblang mengutarakan pendapatnya mengenai peluang MK mengabulkan gugatan masyarakat yang ingin bisa memberhentikan anggota DPR lewat PAW. Ia menyatakan bahwa peluang tersebut bisa tercipta selama ada pertimbangan konstitusional. “Sekarang kan semua di MK itu bukan masalah bisa dan tidak bisa, akan dipertimbangkan sepanjang ada tarikannya dengan konstitusi kita untuk menerima,” imbuhnya.

Secara terpisah, anggota Komisi III DPR, Soedeson Tandra, menilai mekanisme pemecatan anggota DPR yang termaktub dalam UU MD3 bukan merupakan ranah MK. Menurutnya, mekanisme pemecatan anggota DPR yang diatur dalam UU MD3 bersifat open legal policy atau merupakan kewenangan pembentuk undang-undang. “Kalau saya, [mekanisme] itu masuk ke open legal policy yang bukan ranah MK. Saya berpendapat pribadi, ya, begitu,” ujarnya.

Meskipun demikian, ia menilai gugatan tersebut adalah hal yang wajar, apalagi di negara demokrasi. “Tapi kan kita harus kembali ke sistem. Betul kan? Di dalam sistem itu, perekrutan itu mulai dari bawah ke atas. Keterpilihan itu. Dan itu kemudian diserahkan kepada partai politik dan DPR.” Namun demikian, pemilihan maupun pemberhentian anggota DPR sepenuhnya merupakan kewenangan partai politik yang diatur di dalam UU MD3. Hal tersebut, ia kembali menegaskan, adalah ranah pembuat undang-undang, bukan hal yang bisa diintervensi atau diputuskan oleh MK. Ia berpendapat bahwa beleid yang selama ini berlaku tidak melanggar UUD 1945.

Daftar Isi

Ringkasan

Sejumlah mahasiswa mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait mekanisme pemberhentian anggota DPR. Mereka ingin agar konstituen juga memiliki hak untuk mengusulkan pemberhentian anggota DPR, tidak hanya partai politik. Para pemohon berpendapat bahwa Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 yang mengatur PAW anggota DPR bertentangan dengan konstitusi jika tidak memberi ruang bagi konstituen.

Gugatan ini bertujuan memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengontrol wakil rakyat yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Pakar hukum tata negara mendukung uji materi ini, melihatnya sebagai “terapi kejut” bagi anggota legislatif. Sementara itu, beberapa anggota DPR berpendapat bahwa MK tidak berwenang mengadili gugatan terkait mekanisme internal DPR yang diatur dalam UU MD3.

Leave a Comment