
Pemerintah telah menegaskan komitmennya untuk memastikan penanganan bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatra Utara, serta Sumatra Barat akan berlangsung cepat dan tepat sasaran. Namun, realitas pahit yang diungkapkan para korban di lapangan menunjukkan gambaran yang jauh dari ideal.
Seorang warga di Lubuk Tukko, Tapanuli Tengah, dengan gamblang menyampaikan bahwa bantuan pemerintah sama sekali belum menyentuh masyarakat setempat. Dalam situasi darurat ini, solidaritas antarwarga menjadi satu-satunya tumpuan untuk bertahan hidup.
Sementara itu, petugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bener Meriah, Aceh, melaporkan bahwa sejumlah wilayah, khususnya desa-desa terpencil, masih sepenuhnya terisolasi. Akibatnya, pasokan makanan mulai menipis, bahkan ada warga yang tidak makan selama berhari-hari.
Satu minggu setelah bencana menerjang, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengakui masih ada beberapa daerah yang sulit dijangkau bantuan, termasuk Tapanuli Tengah dan Aceh Tengah. Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto, menjelaskan, “Dengan satgas [satuan tugas] gabungan TNI-Polri sudah berusaha membuka, menurut penjelasan kemarin sore. Paling tidak butuh waktu 3 hingga 4 hari lagi baru bisa tembus.”
Data BNPB menunjukkan bahwa banjir bandang dan longsor telah berdampak pada 49 lokasi, dengan lebih dari 1.000 orang meninggal dunia atau masih dinyatakan hilang.
Kisah warga Kabupaten Agam, Sumbar: ‘Demi makanan, kami harus menembus kubangan lumpur’
Warga di Kecamatan Malampah, Kabupaten Agam, Sumatra Barat, menghadapi krisis pangan serius sejak banjir bandang melanda akhir November lalu. David, salah satu penduduk Malampah, menjadi saksi langsung betapa sulitnya kondisi tersebut.
Selama beberapa hari, persediaan makanan di lokasi pengungsian David kian menipis, diperparah oleh hancurnya akses transportasi antardaerah akibat bencana. David terpaksa hanya bisa mengonsumsi makanan sekali sehari, begitu pula sang istri yang sedang menyusui.
“Pada Jumat itu kami masih sulit untuk mendapatkan bantuan makanan. Bahkan persediaan makanan warga di tempat kami mengungsi juga sudah habis,” David mengisahkan kepada BBC News Indonesia.
Distribusi bantuan mulai mengalir pada pengujung pekan lalu, setelah masyarakat setempat bersama TNI dan Polri bahu-membahu membangun jembatan darurat. “Sabtu itu bantuan sudah mulai masuk. Tapi, tidak terlalu banyak. Karena untuk mengangkutnya cukup jauh dan sulit menggunakan kendaraan,” tambah David.
Keadaan serupa dialami Erik, warga Malampah lainnya, yang sempat tidak memiliki persediaan makanan sama sekali. Demi memenuhi kebutuhan keluarganya, Erik nekat menerjang kubangan lumpur setinggi dada orang dewasa.
“Jumat sore, bahan makanan yang kami beli sendiri baru bisa diberikan kepada saudara saya yang ada di seberang [kampung] itu. Tapi, upaya untuk menggapainya cukup sulit karena harus menyeberangi lumpur yang cukup dalam,” papar Erik.
Cerita pilu dari Tapanuli Tengah, Sumut: ‘Air bersih tidak ada’
Arjun tidak pernah menyangka hujan lebat yang mengguyur Lubuk Tukko, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, akan berujung pada malapetaka. Pukul 5 pagi, seminggu yang lalu, air perlahan merangsek masuk ke rumah-rumah warga.
Dari yang semula hanya merendam depan pintu, air kemudian meninggi hingga sebetis orang dewasa. Tanpa pikir panjang, Arjun segera berniat mengungsikan keluarganya ke kediaman saudaranya, mencari tempat yang lebih aman. “Rupanya di sana juga sudah kena [banjir]. Sudah tinggi pula. Sebetis. Separah itu,” tegas Arjun kala dihubungi BBC News Indonesia.
Arjun pun mengubah tujuan pengungsian. Ia membawa keluarganya sementara waktu ke rumah tetangganya yang memiliki struktur bangunan lebih tinggi. Sementara itu, warga lainnya, menurut Arjun, banyak yang mengungsi ke Masjid Nurul Iman yang lokasinya tidak jauh dari permukiman.
Proses evakuasi, Arjun mengungkapkan, sepenuhnya dilakukan oleh sesama warga, menggunakan perahu yang didayung dengan tongkat kayu. Di masjid yang difungsikan sebagai lokasi pengungsian, warga saling membantu: mengumpulkan bahan makanan yang bisa dimasak dan membagikannya kepada para korban banjir.
“Bantuan [dari pemerintah] belum ada sampai sekarang. Semalam pun juga tidak ada. Belum ada bantuan sama sekali,” tandasnya.
Kecemasan Arjun tak berhenti pada belum tersedianya bantuan pemerintah. Akses terhadap layanan dasar seperti air bersih juga terputus total. Ketiadaan air bersih memaksa warga menggunakan air hujan sebagai pengganti, dengan konsekuensi risiko sakit. Keponakan Arjun, misalnya, harus dilarikan ke fasilitas kesehatan terdekat setelah beberapa kali mandi dengan air hujan.
“Air bersih tidak ada. Terputus,” sebut Arjun.
Arjun mendesak pemerintah untuk segera mendistribusikan bantuan yang sangat dibutuhkan korban banjir bandang di Sumatra, terutama terkait kebutuhan dasar. Ia menggarisbawahi bahwa masyarakat tidak akan mampu bertahan lebih lama jika bantuan tak segera tiba. “Kami berharap pemerintah segera menurunkan bantuan ke masyarakat secara menyeluruh. Ini sudah seminggu kondisinya di sini tidak membaik. Mau sampai kapan?” pungkasnya.
‘Daerah kami tidak pernah tersentuh’
Nasution, seorang warga Tukka, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, menyimpan kekecewaan mendalam karena wilayah tempat tinggalnya belum mendapatkan bantuan yang layak. Minggu malam, dari udara, Nasution menyaksikan helikopter menjatuhkan puluhan kardus berisi mi instan. Orang-orang saling berebut kardus tersebut, bahkan harus berjuang menembus lumpur yang tebal.
Bagi Nasution, itu bukanlah jenis bantuan yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat. “Kami memerlukan beras, untuk kemudian dibuat menjadi nasi. Mi instan itu bukan bantuan,” cerita Nasution kepada BBC News Indonesia.
Pembagian mi instan pada Minggu malam itu menjadi satu-satunya upaya pemerintah menjangkau masyarakat yang terdampak banjir di daerah Nasution. Ia menetap di Tukka, Tapanuli Tengah.
Peristiwa banjir bandang masih menyisakan trauma mendalam bagi Nasution. Ia menyaksikan bagaimana gulungan air yang melaju begitu deras membawa tumpukan kayu-kayu berukuran besar. Terjangan air itu pula yang memaksanya melihat dengan mata kepala sendiri tujuh mayat digotong dari belakang rumahnya. “Ngeri sekali rasanya,” ujarnya lirih.
Dalam benak Nasution, ia membayangkan pemerintah akan menanggapi bencana besar di Sumatra dengan taktis dan cepat. Namun, ia keliru. Hingga hari ketujuh sejak bencana pertama kali muncul, bantuan yang dibutuhkan masyarakat di Tukka tak kunjung tiba, klaimnya.
Untuk bertahan hidup, Nasution dan warga sekitar menerapkan prinsip gotong royong. Nasution menyulap rumahnya menjadi tempat pengungsian, menampung sekitar sembilan Kartu Keluarga (KK) dengan total kurang lebih 30 orang. Rumahnya tidak roboh dan tenggelam akibat banjir; tergolong sebagian kecil bangunan yang masih selamat.
Persediaan makanan diambil dari kepunyaan masing-masing warga. Mereka menyerahkannya untuk dikelola bersama, saling mengisi kebutuhan satu sama lain. Namun, upaya bertahan masyarakat, Nasution tidak bisa menampik, sangat terbatas. Simpanan makanan terus berkurang, sampai akhirnya warga hanya melahap nasi tanpa lauk. Air bersih pun menyusut, sehingga masyarakat terpaksa memanfaatkan air persawahan.
Di luar kampung, akses mati total; mulai dari jembatan hingga jalan raya. Jarak ke ibu kota Tapanuli Tengah, di Kecamatan Pandan, yang biasanya bisa ditempuh dalam tujuh menit, kini membutuhkan waktu dua setengah jam berjalan kaki. Mencari kebutuhan sehari-hari pun menjadi usaha yang jauh lebih berliku.
“Di dekat sungai di sini sudah berkumpul semua kayu-kayu, menjadikan aliran sungai berubah ke jalan utama. Hasilnya, masyarakat tidak bisa naik kendaraan ke ibu kota,” tutur Nasution. Jangan lupakan pula ketersediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin langka, selain jaringan listrik dan komunikasi yang tergoncang mati, jelas Nasution.
Di samping mendesak pemerintah memperhatikan daerahnya, Nasution menginginkan “jalan-jalan yang tertutup kayu serta reruntuhan dibebaskan secepat mungkin.” Dengan begitu, bermacam upaya krusial lainnya, termasuk evakuasi hingga perbaikan pelayanan esensial, otomatis dapat segera mengikuti. “Bencana di Selasa, dan bantuan sampai sekarang belum ada,” tegasnya. “Kami sudah lelah.”
Warga Bener Meriah dan Aceh Tengah masih terisolasi: ‘Kami sangat butuh bantuan logistik’
Pemerintah Kabupaten Bener Meriah, Aceh, menyatakan lebih dari 150.000 warganya masih terisolasi total akibat banjir dan longsor. Persediaan logistik mereka diperkirakan hanya cukup untuk beberapa hari saja.
“Bener Meriah masih terisolasi dari berbagai akses dan belum mendapatkan bantuan dari Provinsi Aceh dan nasional,” ucap Bupati Kabupaten Bener Meriah, Tagore Abu Bakar. “Kami sangat membutuhkan bantuan logistik untuk saat ini.”
Petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bener Meriah, Anwar, menuturkan terisolasinya ratusan ribu penduduk ini disebabkan “terputusnya akses ke kampung-kampung secara total.” “Itu yang paling terutama bermasalah,” jawabnya kepada BBC News Indonesia.
Menurut laporan dari lapangan yang Anwar terima, terisolasinya daerah atau tempat tinggal penduduk ini menyebabkan mereka terjepit dalam keadaan yang sangat sulit. “Memang kalau berdasarkan laporan, logistik [warga] sudah menipis. Ada [warga] yang sudah tidak makan, ada yang berupaya jalan ke kabupaten [lainnya],” Anwar memberi tahu. Jumlah warga yang memutuskan angkat kaki dari lokasi yang sudah terisolasi cukup banyak, dengan waktu tempuh yang bisa mencapai berhari-hari. “Jadi sudah banyak berupaya seperti itu,” Anwar menambahkan.
Tidak sebatas di Bener Meriah, titik lain yang terisolasi adalah Kabupaten Aceh Tengah. Indikasinya adalah lumpuhnya jaringan listrik dan komunikasi akibat banjir maupun longsor. Bencana longsor merusak setidaknya 15 titik jaringan dan tiang listrik utama di Aceh Tengah, sehingga jaringan listrik ke seluruh kabupaten terputus. Ditambah, fasilitas cadangan kelistrikan daerah ikut kena imbas. Belum dapat dipastikan kapan listrik akan kembali normal.
Penyebab terisolasinya sejumlah daerah pasca-banjir bandang serta longsor adalah amblasnya jalur darat. Di Takengon, Aceh Tengah, sebagai contoh, bantuan sulit menembus lokasi terdampak karena banjir bandang memutus ruas-ruas jalan strategis.
Dari Nagan Raya, akses ke Aceh Tengah tak dapat dijangkau. Jembatan utama yang menghubungkan Nagan Raya dengan Aceh Tengah di Desa Kuta Teugong ambrol. Pemandangan serupa menimpa ruas jalan di KM 23 Krueng Simpo, yang menghubungkan Bireuen dan Takengon. Di KM 22, berlokasi di Kecamatan Juli, Bireuen, jalanan yang biasa dilewati kendaraan ini hancur diterjang longsor.
Jembatan Umah Besi di Bener Meriah terputus total. Sebagai alternatif, warga membangun jembatan darurat guna mengakomodasi perjalanan ke Bireuen—dan sebaliknya. Jembatan ini hanya dapat dilalui satu orang.
Di Sumatra Utara sendiri, tepatnya Sibolga, kerusakan juga dijumpai di jalur nasional Sibolga-Padang Sidempuan dan Sibolga-Tarutung. Beberapa jembatan di Sibolga dan Tapanuli Tengah, seperti Pandan dan di ruas Sibolga-Manduamas, terputus.
Distribusi bantuan via udara menjadi langkah realistis yang sedang digencarkan pemerintah. Petugas di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bener Meriah, Anwar, menjelaskan pengiriman logistik untuk lokasi yang terisolasi ditempuh melalui udara. “Seluruh pertemuan jembatan dan sungai, atau sungai dengan jalan, itu terputus. Jadi, saat ini kami sedang melakukan penurunan [bantuan] lewat udara,” terang Anwar. “Sehingga kami berharap dukungannya adalah alat dropping, entah itu [memakai] drone atau helikopter, itu yang paling kami butuhkan supaya kami bisa menjangkau titik-titik yang susah dijangkau.”
Di pesisir Sibolga, kapal berukuran besar dikerahkan pemerintah untuk menyalurkan bantuan kepada korban banjir dan longsor. Pemerintah mengirim pula pesawat angkut TNI Angkatan Udara, Hercules, sehubungan pengangkutan logistik ke Sumatra Utara, Sumatra Barat, serta Aceh. “Saya kira kapal besar sudah bisa merapat di Sibolga. Kemudian, Hercules terus kita kerahkan, mungkin setiap hari di beberapa titik bisa didaratkan,” ungkap Presiden Prabowo Subianto tatkala berkunjung ke Tapanuli Tengah.
Pada waktu bersamaan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sedang memobilisasi alat berat untuk membuka ruas jalan yang tertimbun longsor, baik di Sumatra Utara maupun Sumatra Barat. Prosesnya, mengutip Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto, memerlukan sumber daya yang tidak sedikit.
Halbert Caniago di Kabupaten Agam berkontribusi atas laporan ini.
- Perjuangan seorang ibu dan tiga anaknya lolos dari maut saat banjir melanda Palembayan, Sumbar
- Ribuan orang mengungsi akibat banjir dan longsor di Sumatra Utara, akibat perusakan hutan atau cuaca ekstrem?
- Pengungsi banjir Sumbar terancam tiga gelombang penyakit, mulai dari penyakit menular hingga stres pascatrauma – ‘Jika ada hujan saya sangat takut’
- ‘Saya terus memimpikan wajah suami saya yang hilang’ – Trauma korban banjir di Sumbar
- Lebih dari 600 orang meninggal dunia, Prabowo tinjau lokasi – Perkembangan terbaru banjir dan longsor di Sumatra
- Belasan orang tewas dan delapan lainnya hilang akibat banjir dan longsor di Nduga, Papua
- ‘Siswa sekolah sempat dipulangkan, tiang listrik bergoyang’ – Kesaksian warga Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara saat gempa magnitudo 7,4 mengguncang
- Banjir Bali terparah sepanjang satu dekade, korban meninggal bertambah menjadi 16 orang
- Seberapa siap sistem peringatan dini pemerintah bekerja saat banjir terjang Jakarta?
- ‘Rasanya ngeri sekali’ – Gunung Lewotobi Laki-laki di NTT meletus
- Tanggul laut raksasa di utara Jawa ‘solusi palsu’ dan ‘bawa masalah baru’, kata aktivis lingkungan
- Duka warga Yogyakarta, Jambi, dan Papua dihantam banjir saat Lebaran – ‘Semangat Idulfitri hilang, berubah jadi kepanikan’