Setelah banjir bandang menewaskan ratusan orang di Sumatera, bantuan asing sebagian diterima, tetapi ada juga yang ditahan. Pakar menyoroti koordinasi yang kurang terpusat dan pentingnya SOP penanganan bencana.

Saat banjir bandang di Aceh menewaskan sedikitnya 389orang dan sejumlah kampung hilang terseret arus, Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) akhirnya “angkat tangan”. Mualem mendatangkan tim dari Cina untuk mencari korban yang tertimbun lumpur pada Sabtu (06/12), sebuah langkah yang sekaligus mengirim sinyal bahwa situasi di lapangan jauh dari terkendali.
“Mereka punya alat mendeteksi mayat dalam lumpur. Ini sangat membantu,” kata Mualem melalui keterangan tertulis.
Kontras dengan langkah Mualem, pemerintah pusat justru menegaskan bahwa Indonesia masih mampu menangani bencana tanpa bantuan asing. Presiden Prabowo Subianto justru menekankan pentingnya menyelesaikan krisis dengan kekuatan sendiri.
“Bencana ini sekali lagi dia musibah, tapi di sisi lain menguji kita. Alhamdulillah kita kuat, kita mengatasi masalah mengatasi masalah dengan (kekuatan) kita sendiri,” ujar Prabowo.
Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi menyebut stok pangan masih cukup, pasokan BBM bisa didistribusi via jalur udara, dan anggaran penanganan bencana tersedia. Namun faktanya, menurut Mensesneg anggaran bencana tahun ini hanya sekitar Rp500 miliar, jauh dari proyeksi kebutuhan pemulihan bencana ala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang mencapai Rp51,82 triliun. Jurang angka ini menimbulkan pertanyaan: jika anggaran tak memadai, mengapa tetap menutup bantuan asing?

Bantuan asing ditahan
Di tengah ketidakcukupan anggaran penanganan bencana, Menteri Luar Negeri, Sugiono menyatakan bahwa Indonesia belum membuka pintu bagi bantuan asing.
“(Masih ditutup) sampai kita merasa kita membutuhkan bantuan,” kata Sugiono.
Namun, kenyataan berkata lain. Malaysia telah mengirim dua juta keping obat, dua ton alat kesehatan, dan tenaga medis sejak 29 November. Sementara, Uni Emirat Arab masih menunggu lampu hijau dari pusat untuk mengirim bantuan.
Aturan BNPB No. 6/2018 memang mewajibkan pengumuman pemerintah sebelum bantuan asing diterima. Namun, bagi pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, bantuan yang sudah terlanjur masuk justru menunjukkan kegagalan koordinasi pusat.
“Saya sudah kritisi ke pemerintah dari minggu lalu bahwa kita tidak punya leader yang mengorkestrakan kebutuhan tiap-tiap daerah, kemudian bagaimana mengangkutnya ke sana. Koordinasi harusnya memang terpusat, sehingga kebutuhan bisa dipenuhi dengan segera,” ujar Agus.

‘Gengsi’ politik dan koordinasi tidak sinkron
Selain karena koordinasi yang belum terpusat, pakar menilai pemerintah terlalu ‘gengsi’ untuk meminta bantuan internasional. Mereka khawatir, begitu pintu bantuan dibuka, banyak lembaga internasional akan menyoroti kekurangan pemerintah dalam menangani bencana.
Meski begitu, Agus menilai pemerintah sebaiknya mempertimbangkan untuk menerima bantuan, apalagi mengingat anggaran akan ditutup pada 16 Desember mendatang. Ditambah lagi, sejumlah program prioritas membuat cadangan anggaran sulit untuk dialihkan.
“Cadangan ada, tetapi ada unsur politis di mana pos untuk MBG atau Koperasi Merah Putih itu tidak boleh diganggu-gugat. Itu menjadi persoalan. Nah, sekarang ya bantuan itu harus diterima, cuma untuk memperhalus itu dibicarakan (mekanismenya),” kata Agus
Menurut pakar, prioritas utama saat ini adalah memperbaiki jaringan komunikasi dan listrik, serta memperbaiki infrastruktur. Perbaikan ini akan mempermudah distribusi bantuan selanjutnya. Setelah itu, pakar menyarankan pemerintah menerima bantuan asing, selama koordinasi dengan pemberi bantuan dilakukan secara tepat dan jelas.
“(Langkah ini perlu karena) kadang-kadang kan dikasih kiriman yang tidak diperlukan atau barang-barang sudah kadaluarsa, lalu menyulitkan kita. (Penting untuk berkomunikasi soal) apa yang mau dikirim. Jadi tidak numpuk,” tambahnya.

Bantuan asing bukan hal baru di Indonesia
Sejumlah bencana di Indonesia pernah melibatkan bantuan asing dalam tahap pemulihan, seperti pada Tsunami Aceh 2004. Dua hari pascakejadian, presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono membuka provinsi tersebut untuk menerima bantuan darurat dari lembaga internasional.
Dalam satu minggu, lebih dari 50 lembaga internasional berdatangan. Keputusan ini diambil karena Indonesia saat itu belum memiliki badan dan UU penanggulangan bencana, serta APBN 2004 tidak mengalokasikan dana untuk tanggap darurat.
Pada Gempa Palu 2018, bantuan internasional kembali dilibatkan tiga hari setelah bencana. Namun, bantuan asing diprioritaskan untuk tahap rekonstruksi dan rehabilitasi. Bantuan darurat dari luar negeri hanya diterima bila benar-benar diperlukan. Selain itu, relawan dan tenaga medis asing tidak diperkenankan masuk ke area terdampak karena perbedaan kultur kerja dan standar obat-obatan.
Dari 25 negara yang menawarkan bantuan, sebanyak 18 tercatat merealisasikan bantuannya. Berdasarkan pengalaman ini, pakar menekankan bahwa penerimaan dan pengelolaan bantuan asing harus disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan dan seharusnya memiliki SOP yang jelas.
“Harus ada SOP untuk setiap jenis bencana. Mungkin selama ini SOP sudah ada, tapi tidak pernah dilatih dan tidak pernah ditaati. Jadi ya, hasilnya begini,” tutup Agus.
Editor: Prita Kusumaputri
ind:content_author: Felicia Salvina