
Polda Metro Jaya mengungkap fakta baru dalam kasus praktik aborsi ilegal yang terbongkar di sebuah apartemen di Jakarta Timur. Sosok yang berperan sebagai eksekutor dan mengaku sebagai dokter obgyn ternyata tidak memiliki latar belakang pendidikan kesehatan dan hanya lulusan SMA.
Dirreskrimsus Polda Metro Jaya, Kombes Edy Suranta Sitepu, mengatakan tersangka berinisial NS berperan langsung melakukan tindakan aborsi ilegal terhadap para pasien.
“Saudari NS, kami bilang saudari NS, ini memiliki peran sebagai eksekutor, atau dokter, seolah-olah sebagai dokter obgyn. Dari perannya tersebut, dia memperoleh bayaran sebesar Rp 1.700.000,” ujar Edy saat konferensi pers di Polda Metro Jaya, Rabu (17/12).
Hasil pendalaman penyidik, terungkap NS sama sekali tidak memiliki kompetensi di bidang kesehatan.
“Dia tidak mempunyai background kesehatan. Kalau lulusannya, dia lulusan SMA, ya,” jelas Edy.
Meski tidak memiliki pendidikan medis, NS pernah terlibat sebagai asisten dalam praktik aborsi ilegal sebelumnya.
“Tetapi dia pernah ikut sebagai asisten, ya, asisten, mungkin juga dulu-dulunya juga mungkin praktik ilegal juga, ya, tapi dia pernah sebagai asisten untuk melakukan aborsi,” katanya.
Meski demikian, polisi menegaskan NS tetap tidak memiliki kewenangan maupun kompetensi medis untuk melakukan tindakan tersebut.
“Tetapi yang jelas, dia tidak punya, tidak berkompeten dalam bidangnya, karena dia memang hanya sebagai lulusan SMA,” tegas Edy.

Dalam pengungkapan kasus ini, polisi menemukan fakta mengejutkan terkait penanganan janin hasil aborsi ilegal.
“Berdasarkan pengakuan dari tersangka, janin hasil tindakan aborsi ilegal sudah dibuang di wastafel unit kamar apartemen tersebut,” ungkap Edy.
Polda Metro Jaya menilai praktik ini sangat membahayakan keselamatan pasien dan melanggar ketentuan hukum di bidang kesehatan. Penyidik masih terus mendalami kasus untuk mengungkap keterlibatan pihak lain dalam jaringan aborsi ilegal tersebut.
Sebelumnya tujuh orang diamankan dan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus praktik aborsi illegal di sebuah apartemen Jakarta Timur.
Para tersangka dijerat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, di antaranya Pasal 60, Pasal 427, dan Pasal 428, dengan ancaman pidana mulai dari 4 tahun hingga 12 tahun penjara.