
Natal dan perayaan tahun baru 2026 mungkin tidak akan gegap gempita seperti tahun-tahun sebelumnya di sebagian wilayah Sumatra. Keprihatinan harus dilalui umat Kristiani yang tertimpa dampak banjir bandang dan longsor sejak November lalu.
BBC News Indonesia menemui pendeta yang kehilangan sebagian besar jemaatnya saat bahala besar menerpa wilayah Tukka, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.
Gerejanya berantakan setelah diterpa banjir bandang, dan sejauh ini diupayakan dipulihkan agar bisa digunakan untuk kebaktian memperingati kelahiran Yesus Kristus.
Umat Kristiani yang telah kehilangan pondok di sana juga kemungkinan merayakan Natal di pengungsian, termasuk di kediamaan jemaat yang rela rumahnya dijadikan tempat bernaung bersama.
Natal tahun ini akan dipenuhi dengan munajat keprihatinan, kata seorang tokoh agama di kampung itu.
Pendeta Paten Sidabutar menunjukan enam makam yang berada di sisi bangunan Gereja HKBP Hutanabolon, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.
“Yang nomor 2, 3, 4, 5, itu korban banjir langsung dari rumahnya dihanyutkan,” katanya saat ditemui BBC News Indonesia, Senin (08/12)—dua pekan setelah banjir bandang.
Makam tersebut berada di tanah basah bekas rendaman banjir. Jika dipijak, lempung dan pasirnya dapat menelan sepatu sampai mata kaki.
Tak ada nisan berukir penanda pusara ini, selain patahan kayu yang ditancapkan. Untuk melindungi dan membedakan satu dengan yang lain, setiap gundukan makam ditutupi seng atau papan kayu.
Kata Sidabutar, pemakaman ini bersifat darurat dan sementara, “karena saya kenal secara pribadi sama orang-orang ini”.
Ia berjalan mendekati salah satu kuburan pada deretan ketiga.
“Ini namanya Hasuhuton Hutabarat,” kata Sidabutar. “Istrinya juga [korban hilang] belum dapat sampai sekarang”.
Hasuhuton Hutabarat sempat mengikuti kebaktian Minggu di gereja sebelum bahala datang pada Selasa (25/11). Sidabutar mengenangnya sebagai jemaat yang dermawan, misalnya menyumbang dana untuk pembangunan gereja.
“Juga nomor 1 sana, yang tua sana,” Pendeta Sidabutar menunjuk makam paling pojok yang juga ditandai dengan pohon setinggi satu meter.

Sidabutar bilang, perempuan tua yang sudah sakit-sakitan, berasal dari keluarga Tambunan. Mendiang diduga meninggal karena dampak banjir: kedinginan saat rumahnya terendam banjir.
“Sebelum dia meninggal, semenjak saya di sini, selalu saya kunjungi… saya daftarkan dia untuk menerima bantuan-bantuan sosial,” kata pendeta kelahiran 1971 itu.
‘Bukan pemakaman biasa’
Mencari tanah pemakaman di tengah bencana banjir dan longsor bukan perkara mudah. Selain akses jalan banyak terputus, sebagian taman pemakaman umum masih tergenang air dan lumpur
Ada pula jenazah yang sudah lama dimakamkan, lalu terseret arus banjir.
Misalnya, deretan makam di sisi gereja HKBP Hutanabolon ini. Tidak semuanya korban banjir dan longsor. Salah satunya adalah peresemayaman seorang pria yang sudah ada sebelum bahala datang.
Tapi saat banjir bandang melanda, jenazahnya terhanyut banjir, dan ditemukan lima kilometer dari lokasi.
“Dia sudah 1 tahun, 4 bulan yang lalu kita kuburkan secara gereja. Ya, rupanya karena besarnya banjir, terseret lagi sama jenazahnya. Untung dikenali sama anaknya, mayatnya,” kata Sidabutar.

Mendiang kembali dikebumikan di tempat semula dengan “galian lebih dalam”.
Hal ini juga sempat dikhawatirkan Pendeta Sidabutar dan keluarga korban banjir. Musababnya, tanah masih labil dan banjir susulan bisa datang kapan saja.
Salah satu akibatnya, penggali kubur bisa teruruk galian sendiri.
“Ikut juga saya menggali ini, karena semua merasa takut. Padahal hari itu juga datang hujan, [tapi] kita usahakan,” kata Sidabutar.
Di saat-saat genting, Pendeta Sidabutar meyakinkan umatnya bahwa proses pemakaman “berjalan sesuai dengan acara gereja sebagaimana biasanya”.

Selesai penguburan pertama, lalu diikuti pemakaman korban-korban meninggal yang berhasil ditemukan pada hari-hari berikutnya.
“Makanya kami melayani ini penuh dengan kehatian-kehatian dan sangat ada sedikit takut dan khawatir,” tambahnya.
Pendeta Sidabutar memimpin setiap upacara pemakaman ini dengan doa-doa. Ia tetap menggunakan busana khas pendeta saat pemakaman berlangsung: jubah hitam, kerah putih, tapi kali ini tanpa alas kaki.
Semua pemakaman ini dilakukan dengan Ibadah Pelepasan Pemakaman, diikuti menggetarkan lonceng gereja.

Namun dalam perkembangan terbaru, keluarga dari tiga korban banjir dan longsor yang dimakamkan di sisi bangunan gereja memutuskan untuk memindahkan jenazah, Selasa (17/12). Musababnya, makam ini kembali digenangi air.
Menurut Pendeta Sidabutar, jemaat gereja HKBP Hutanabolon saat ini tercatat sebanyak 185 keluarga. Sebagian telah kehilangan anggota keluarga, dan hampir 80% kehilangan tempat tinggal karena banjir dan longsor.
Disangka sudah meninggal
Setelah bercerita di atas pusara, Pendeta Paten Sidabutar menggerakkan langkah kaki menuju pintu samping gereja.
Pendeta yang sudah mengabdi selama lima tahun di Tukka itu menggeser kotak amal yang menghalangi pintu. Setelah mendorong pintu, terlihat lumpur kental menggenangi seluruh lantai gereja.
Kursi-kursi jemaat berbaris tidak karuan.
Dinding-dindingnya memiliki garis alami sekitar satu meter, yang menjadi penanda ketinggian banjir.
Pendeta Sidabutar berdiri di membelakangi altar—tempatnya berkhotbah setiap kebaktian keagamaan. Dia menunjukkan bagaimana lumpur dampak banjir telah berdampak terhadap rumah ibadahnya.

“Mulai pagi sampai sore. Masih ini saya bersih-bersihkan di hari H [kejadian banjir],” katanya, sambil menambahkan lumpur yang tersisa hari ini karena banjir susulan semalam.
Saat banjir bandang terjadi, Pendeta Sidabutar tak berkomunikasi keluar. Selain sinyal internet terputus, ia disibukkan dengan pelayanan, membersihkan gereja dan mengurus jemaatnya yang mengungsi.
Ia baru mengabarkan koleganya di gereja beserta keluarganya enam hari kemudian, setelah sinyal komunikasi terhubung.
“Semua orang menyangka kalau saya sudah meninggal. Baru hari keenam aku bisa muncul [berkontak] sama keluarga juga, dan anak-anak,” katanya.
Gereja ini rencananya akan dibersihkan kembali secara gotong royong oleh jemaat sebagai rumah kebaktian jelang perayaan kelahiran Yesus.
‘Juga korban’
Dari bangunan gereja, Pendeta Sidabutar mengajak kami menengok tempat tinggalnya yang berada di seberang jalan gereja.
Idem.
Lumpur masih memadati setiap langkah kaki. Mulai dari pintu pagar sampai pintu dapur rumahnya.
Juliati Siahaan, istri Pendeta Sidabutar, sempat mendorong-dorong lumpur keluar dari rumahnya.
Ia memeriksa beberapa barang yang mungkin bisa diselamatkan ke tempatnya mengungsi sekitar dua kilometer dari sini.
“Ini ada surat-surat rumah, untungnya tidak rusak,” katanya sambil menunjukkan dokumen-dokumen penting.

Setelah selesai menengok rumah, sambil berjalan keluar Pendeta Sidabutar bercerita tentang kesibukannya melayani jemaat hari-hari setelah bencana.
Sampai langkahnya terhenti di ujung jalan, istrinya setengah berbisik: “Aku hari ini ulang tahun loh”.
Saat mendengar itu, alis mata Pendeta Sidabutar langsung naik. Tak mau kehilangan momen bahagia, ia pun spontan mengucapkan selamat hari jadi kepada istrinya.
“Tahun lalu, suami kasih hadiah surprise [kejutan],” kata Sidabutar sambil tersenyum-senyum.

Di tengah situasi bencana, Juliati Siahaan terlihat tegar di hari jadinya yang ke-54, tapi ia tak bisa menyembunyikan mata yang berkaca-kaca.
“Bagaimana mau dibilang, dibilang sedih… Tak terkatakanlah. Yang penting sehat-sehat. Tuhan sudah melapaskan kita dari musibah. Syukurlah dikasih umur panjang,” katanya.
‘Tiga hari pertama yang sulit’
Desa Hutanabolon dengan populasi sekitar 3.000 jiwa, baru bisa diakses kendaraan enam hari setelah bencana 25 November. Itu pun hanya truk dan kendaraan penggerak roda empat yang bisa lewat.
Sebelum itu, masyarakat menembus jalan utama menuju daerah kota dengan berjalan kaki. Akses terputus karena terhalang tanah longsor dan air yang mengalir dari sungai ke jalan-jalan.
“Jadi dari hari pertama sampai hari ke-3 bekal sudah habis di pengungsian. Kami motivasi lagi semua orang-orang yang punya harta, kami kumpul lah patungan. Baru saya suruh yang muda-muda itu belanja ke [kota] Sibolga,” kata Pendeta Sidabutar.

Untuk menjaga semangat jemaatnya, kebaktian minggu HKBP Hutanabolon tidak pernah absen sejak bencana.
Mereka menggunakan kediaman salah satu jemaat sebagai rumah ibadah Minggu.
Bos sembako menampung 500 pengungsi
Sehari sebelumnya, kami mendatangi rumah jemaat itu. Luas bangunan sekitar 300 meter persegi, berada paling tinggi di antara rumah-rumah lainnya.
Saat ibadah Minggu (07/12), kebaktian dilakukan secara sederhana. Ratusan jemaat duduk bersila. Pemimpin duduk di kursi, wajahnya terlihat oleh semua jemaat.
Api dari lilin-lilin kecil menjadi seberkas cahaya dalam ruang gelap yang belum teraliri listrik. Doa bergema, dan nasihat-nasihat melantun dari mulut para pemimpin agama menguatkan hati yang retak.
Usai kebaktian, Robin Sitompul, si pemilik rumah duduk bareng bersama kami.
Pria 62 tahun yang murah senyum menurunkan kacamata tebalnya, dan menuturkan alasan menjadikan tempat tinggalnya sebagai tempat ibadah sementara.
“Apa salahnya kami berbagi sesama untuk memuji nama Tuhan,” katanya.
Rumah ini juga punya peran lain: menampung sekitar 500 sampai 700 pengungsi yang rumahnya tersapu habis oleh banjir dan longsor.
Robin mengatakan, rumah ini yang pertama kali menampung pengungsi di tanah Hutanabolon sebelum berdiri tenda-tenda pengungsian lainnya.
Tapi setelah tenda-tenda pengungsian berdiri, ia mulai membatasi pengungsi di rumahnya. “Supaya tidak saling injak-injak orang itu,” katanya.
Sejenak pandangannya menerawang, menyelami kembali hari-hari pertama pascabencana.
Ia mengaku telah mengerahkan seluruh dayanya membantu ratusan pengungsi di rumahnya selama tiga hari pertama.
Robin menunjuk jarinya ke arah pemukiman yang lebih rendah.
Di situ, katanya, toko grosir sembakonya berdiri.
“Tidak kena banjir, maka saya bersyukur,” kata Robin.
Selama tiga hari pertama, seluruh isi tokonya sudah ludes digunakan untuk kebutuhan para pengungsi.
Di sekitar rumahnya, ia membangun tiga dapur umum. Orang-orang yang kini tinggal bersama keluarganya, diminta bekerja sama untuk memasak dan saling berbagi satu sama lain.
“Yang penting orang ini bisa bahagia, saya tengok. Kalau soal materi itu, bisa kita cari. Sudah saya relakan itu,” katanya sambil tertawa.
“Selama tiga hari itu, sampai sekarang, orang keluar masuk, enggak saya larang. Mau sembayang pun orang di sini, enggak saya larang”.
Saat memutuskan rumahnya menjadi pos pengungsian, Robin mengutarakan karena “tersentuh hati nurani saya”.
“Ke mana lah orang ini akan pulang, sementara saya punya rumah besar, [akhirnya] saya tampung semua,” batin Robin sebelum mengambil keputusan.
Garasi rumahnya dijadikan ruang untuk menampung bantuan yang datang, baik sembako, selimut maupun pakaian.
Bagaimanapun, kata Robin, bantuan ini kemungkinan tidak datang selamanya. Hal yang menjadi tantangan terbesar di depan mata.
“Makanya saya bilang, bantuan ini diirit-irit. Nanti kalau dua minggu ke depan tidak ada bantuan, bagaimana kita? Jadi, saya enggak mau memboroskan semua makanan itu,” katanya.

Dalam situasi bantuan makanan yang tidak terkendali konsumsinya, “lima papan telur, habis dalam waktu lima menit,” katanya sambil tertawa getir.
“Di sini apa yang ada. Itu sudah yang dimakan”.
Robin juga mengatakan bantuan yang diperlukan selain beras saat ini adalah lauk pauk. Ia menghargai semua bentuk bantuan, tapi mi instan sudah mengganggu selera makan para pengungsi.
Perayaan Natal para pengungsi
Situasi tak normal ini masih berlangsung menjelang perayaan Natal.
Robin mengingat kembali perayaan Natal tahun lalu saat seluruh anak-anaknya berkumpul di rumahnya. “Meriah juga, karena anak-anak saya datang dari perantauan,” katanya.
Saat itu, ia bisa bebas bepergian ke rumah sanak saudaranya yang lain.
Tapi Natal tahun ini, kemungkinan ketiga anaknya yang berada di perantauan tidak hadir. Tapi ‘kemeriahan’ justru ada dengan kehadiran para pengungsi di rumahnya.
“Saya bilang sama orang [pengungsi] di sini, kalau kita mesti bernatal. Enggak ada [perayaan] pun nggak apa-apa, biar kita semua dapat Natalnya,” kata Robin.
Beberapa pengungsi yang berada di rumah Robin Sitompul berbicara kepada kami. Mereka berkata, mungkin akan merayakan Natal dengan sangat sederhana dan penuh keprihatinan.
“Harus saling mengasihi sesama teman. Janganlah selama ini cuma memikirkan diri sendiri,” kata seorang jemaat yang rumahnya tersisa bagian atap saja, Tiausi Tambunan.
Pendeta Paten Sidabutar pun ikut mengenang Natal selama memberi pelayanan empat tahun terakhir.
“Semua suka cita, meriah, dan semua jemaat ini berpartisipasi. Dan, tahun lalu itu kami mengadakan acara makan bersama,” katanya.
Untuk tahun ini, ia mengupayakan agar kebaktian Natal tetap dilaksanakan di gereja HKBP Hutanabolon. Semangatnya mungkin akan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
“Tapi [kami] punya pengharapan bahwa Tuhan akan mengatur semua dengan segala kesederhanaan, dan merenungkan sebenarnya yang terjadi saat ini,” ujar Sidabutar.
Pendeta HKBP Distrik IX STN, Nikson Simanjuntak yang hadir dalam kebaktian Minggu di rumah Robin, mengatakan tahun ini Natal akan bernuansa munajat “prihatin memohon pemulihan [Kota] Sibolga, Tapanuli Tengah dan Nias”.
Dalam kunjungan perdana ke Hutanabolon pascabencana, Nikson telah mendengarkan keluhan dari jemaatnya: rumah yang tersapu banjir atau ditelan longsor. Menjelang Natal mereka berharap pada hunian baru sebagai tempat untuk pulang.
“Saya sudah berupaya untuk berbicara kepada pihak pemerintah, dalam hal ini Pemko [pemerintah kota] dan Pemkab [pemerintah kabupaten], dan juga menyampaikan kepada pimpinan saya supaya bisa dibicarakan dengan pemerintah di tingkat pusat,” katanya.
Banjir bandang dan tanah longsor terjadi di Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra Utara pada akhir November lalu. Siklon Senyar dan potongan kayu yang terbawa banjir membuat dampak cuaca ekstrem begitu mengerikan menghantam wilayah ini.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan lebih dari 1.000 orang meninggal, dan hampir 200 lainnya dinyatakan hilang. Hampir satu orang mengungsi karena tempat tinggal mereka terdampak bahala.
- Kisah keluarga yang terjebak di hutan berhari-hari saat banjir dan longsor Sumut – ‘Tinggalkan aku, selamatkanlah adikmu’
- Warga Bener Meriah terancam kelaparan panjang akibat dua pekan terisolasi – ‘Kalau tidak mampu, minta bantuan ke negara lain’
- Ulama Aceh dan Dewan Profesor USK tuntut status ‘bencana nasional’ dan ‘bantuan asing’, Presiden Prabowo menolak