
Pengungsi di Kabupaten Aceh Tamiang, salah satu wilayah terdampak paling parah akibat banjir dan longsor di Provinsi Aceh, mengeluh karena sulit mendapatkan air bersih dan tak memiliki fasilitas toilet yang memadai.
Pada pekan keempat usai banjir dan longsor, sejumlah warga bercerita harus buang air besar dengan menggali tanah. Mereka juga harus menggunakan air genangan dari sisa-sisa hujan dan banjir.
Payahnya memperoleh air bersih juga membuat pengungsi menderita penyakit jamur dan gatal-gatal.
Dalam konferensi pers di Jakarta, pemerintah pusat mengakui distribusi air bersih ke beberapa kabupaten dan kota di Aceh terkendala akibat sistem perpipaan yang rusak dan air bersih yang tercemar.
Pemerintah berjanji bakal membangun 209 sumur bor di Kabupaten Aceh Tamiang, tapi tak menjelaskan kapan proyek itu akan rampung.
Susah air bersih, buang air besar harus gali lubang di tanah
Suara Suwarno seketika melengking dan raut mukanya mengerut begitu bercerita tentang betapa sengsaranya hidup di pengungsian.
Pria 56 tahun ini tinggal seadanya di tenda pengungsian yang saling berhimpitan di atas jembatan kota Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, sejak banjir bandang menyapu wilayah tersebut, 26 November lalu.
Banjir setinggi hampir dua meter, katanya, melenyapkan semua harta bendanya, termasuk rumahnya di Desa Sukajadi.
Sejak itu, dia bersama keluarganya mendirikan tenda dari terpal bekas untuk disulap jadi ‘rumah’. Sebab pada waktu itu, katanya, tenda darurat dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) belum tiba.
Sependek ingatannya, tenda bantuan dari BNPB baru berdatangan persis sehari sebelum Presiden Prabowo Subianto mengunjungi Aceh Tamiang, Jumat (12/12).

Di pojok tenda Suwarno, ada kompor, panci, beberapa gelas dan piring. Di bagian luar, dia memasang tali cukup panjang untuk menjemur satu atau dua helai pakaian yang tersisa.
Tapi, selama tiga pekan pascabencana, pengungsi seperti Suwarno masih kepayahan mendapatkan air bersih. Tidak ada fasilitas toilet dan sanitasi lain di sekitar pengungsiannya.
Untuk buang air besar, Suwarno dan para pengungsi di kampungnya mesti menggali lubang-lubang di tanah.
Barulah di minggu keempat, pihak otoritas mendirikan toilet darurat di sekitar lokasi pengungsian. Namun, hingga saat ini toilet tersebut belum bisa digunakan.
Kondisi inilah yang memaksa pengungsi bersiasat kalau berkaitan dengan buang hajat.
“Saya bikin lubang untuk buang air besar, karena anak-anak saya perempuan ada tiga orang dan untuk istri,” tuturnya seraya menceritakan lokasi yang dituju lumayan jauh.
Mereka harus turun dari jembatan dan jalan kaki di jalanan yang penuh lumpur tebal dan sampah yang terbawa bersama banjir.
Tidak ada sekat sebagai pembatas, selain seng usang yang hanyut tersapu air bah. Sedangkan untuk membersihkan kotoran, pengungsi memanfaatkan genangan air.
“Kalau pakai air sungai keruh sekali, lebih keruh. Makanya kami pakai air genangan,” ujarnya.

Sukarnya mendapatkan air bersih dan fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) selaras dengan menurunnya kondisi kesehatan para pengungsi.
Suara batuk dan muntah bersahutan di antara tenda-tenda pengungsian yang berselimut debu.
Orang dewasa kesulitan bernapas, dada mereka sesak. Sementara anak-anak banyak yang mengalami diare.

Tak jauh dari tenda Suwarno, seorang bocah laki-laki berusia lima tahun terkulai lemas di dalam tenda.
Namanya, Fauzan, anak ketiga dari Juli Kartika, penyintas banjir yang kini mengungsi di atas jembatan.
Kata perempuan 38 tahun ini, asupan makanan untuk anaknya tak menentu pascabanjir. Selama berhari-hari, mereka hanya mengonsumsi mi instan dan jajanan yang diberikan relawan.
“Dia muntah-muntah dan diare sudah tiga hari,” tuturnya.
Baca juga:
- Pascabanjir dan longsor di Sumatra, warga mencuci di parit – Ancaman penyakit menular mengintai
- Warga Bener Meriah terancam kelaparan panjang akibat dua pekan terisolasi – ‘Kalau tidak mampu, minta bantuan ke negara lain’
- Bagaimana banjir dan longsor akan mengubah perayaan Natal sebuah kampung kecil di Sumatra?
Pengakuan serupa juga diutarakan warga dari Kecamatan Karang Baru, Zulkifli. Dia bilang, mereka mengalami masalah yang sama.
Sebab, bantuan air bersih hanya disalurkan ke warga yang tinggal di tepi jalan raya. Waktu kedatangan juga tak menentu.
Gara-gara itulah, dia menderita penyakit jamur dan gatal-gatal di sela-sela jarinya.
“Wilayah kami tinggal agak di pelosok, tidak ada bantuan air bersih, makanya saya mandi di sini,” ucapnya sambil menunjuk posko yang didirikan salah satu partai politik.

Dokter relawan dari Posko Kesehatan Pegadaian, Ilham Mufid, mengatakan ada 1.315 pengungsi yang telah memeriksa kesehatan di posnya.
Mayoritas pengungsi mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Selain itu, banyak pengungsi juga mengalami diare dan infeksi kulit.
“Yang paling banyak kami hadapi itu ISPA, termasuk batuk-batuk. Setelah itu jamur, karena korban bencana banyak yang terendam air kakinya, jadi banyak kena jamur di kaki mereka,” ujar Ilham.
Pemerintah: Fasilitas air bersih masih dikerjakan
Dalam konferensi pers di Jakarta, pemerintah pusat mengakui pemenuhan air bersih di Provinsi Aceh masih terkendala sistem perpipaan yang rusak dan sumber air yang tercemar.
Adapun di Sumatra Barat dan Sumatra Utara, klaim pemerintah, air bersih sudah mengalir.
“Di Provinsi Aceh masih membutuhkan distribusi air melalui tangka, hidran umum, dan fasilitas air darurat,” ujar Pratikno, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jumat (19/12).
Kapolri Jenderal Listyo Sigit ditugaskan Presiden Prabowo Subianto mengurusi persoalan air bersih. Dia berkata, pihaknya tengah merencanakan pembangunan 209 sumur bor di Kabupaten Aceh Tamiang.
Ratusan sumur bor di Aceh Tamiang tersebut, sambungnya, masih dalam tahap penelitian. Dia mengklaim ingin mencari wilayah yang benar-benar membutuhkan air bersih.
“Kami memahami air bersih menjadi salah satu kebutuhan yang sangat mendasar karena digunakan untuk berbagai macam kebutuhan, mulai dari air minum, juga mencegah munculnya hal-hal yang bisa menimbulkan penyakit…”
“Bapak Presiden minta untuk terus mencari titik-titik mana yang membutuhkan air bersih,” ucap Listyo.
“Saat ini sudah aktif 16 titik sumur, termasuk pembangunan MCK, 4 unit fasilitas MCK di wilayah Sumatra dan 15 unit MCK di Aceh Tamiang,” ucapnya.
Pembangunan hunian sementara
Selain menjabarkan soal air bersih, Pratikno juga menyinggung soal hunian sementara yang akan ditinggali para pengungsi sampai dibangunnya hunian tetap.
Ia menyebut pemerintah sedang mendata penerima manfaat untuk hunian sementara dan hunian tetap. Namun, klaimnya, prosesnya sudah dimulai dengan penyiapan lahan.
“Konstruksi awal akan kerja sama dengan berbagai pihak kementerian terkait, TNI, Polri, semuanya bekerja sama,” ujarnya.

“Di Aceh progress pembangunan penanganan hunian juga terus berjalan. Untuk Lhokseumawe sudah ditetapkan langsung ke skema hunian tetap. Sementara Kabupaten Pidie sudah membangun beberapa unit hunian sementara dengan target secepatnya selesai,” kata Pratikno.
Pratikno juga memastikan seluruh dana untuk pembangunan hunian tetap akan ditanggung oleh pemerintah.
Dalam masa tanggap darurat ini, pemerintah berniat ingin langsung membangun hunian tetap. Tapi jika tidak memungkinkan, maka diupayakan hunian sementara.
Soal kendala, Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Raditya Jati, menambahkan bahwa tantangan yang dihadapi dalam pembangunan hunian sementara di beberapa darah yakni land clearing atau pembukaan lahan.
Selebihnya dia menjelaskan soal satu pembangunan hunian sementara ditargetkan bisa rampung dalam waktu tiga hari.
“Data dari Provinsi Aceh hunian sementara diusulkan ada 28.000 dan dana tunggu hunian lebih dari 9.000 keluarga.”
Dana tunggu hunian yang akan diterima per keluarga sebesar Rp600.000 per bulan hingga pembangunan hunian sementara selesai.
Opsi huntara bukan satu-satunya
Ketua Umum Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, Avianto Amri, menyebut hunian sementara kerap menjadi satu-satunya pilihan yang ditawarkan pemerintah kepada pengungsi, tanpa mempertimbangkan konteks, karakteristik, dan kebutuhan.
Padahal, menurutnya, ada beragam opsi yang bisa disesuaikan dengan kondisi warga terdampak.
Mulai dari memberikan dana tunggu hunian untuk membantu warga menyewa atau mengontrak rumah sembari menunggu hunian tetap dibangun, membangun huntara individual di lokasi asal atau di sekitar lokasi asal, memberikan dana migrasi atau bantuan pindah yang bisa digunakan untuk warga pendatang yang terdampak.

Opsi lainnya adalah perbaikan rumah yang rusak ringan dan sedang di wilayah yang tidak berisiko tinggi.
Sepanjang pengamatannya, di banyak lokasi bencana, warga terdampak terpaksa tinggal di hunian sementara selama dua hingga tiga tahun, bahkan lebih lama.
Ironisnya, sebagian besar huntara tidak dirancang untuk digunakan bertahun-tahun dan akibatnya menyebabkan beban pemulihan yang terus membengkak.
“Ketika hunian transisi berubah menjadi tempat tinggal jangka Panjang, dampaknya tidak sederhana. Huntara yang padat, minim ventilasi, sanitasi buruk, dan tidak ramah kelompok rentan dengan cepat memicu masalah Kesehatan, ketegangan sosial, dan tekanan psikologis,” kata Avianto.

“Pengalaman gempa bumi di Sulawesi Tengah tahun 2018 jadi salah satu contoh. Hunian komunal terbukti meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan dan anak.”
“Warga yang tinggal berdesakan dalam ketidakpastian selama bertahun-tahun mengalami stress kronis, kecemasan, depresi. Perempuan kehilangan privasi dan rasa aman,” kata Avianto.
Persoalan serupa juga terjadi pada pembangunan hunian tetap. Pilihan yang disediakan pemerintah cenderung seragam. Sementara kenyataannya, pengungsi sangat heterogen.
Itu mengapa Avianto menyarankan pemerintah agar bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, lembaga kemanusiaan, dan organisasi keagamaan yang memiliki kedekatan dengan komunitas.
Mereka berperan sebagai jembatan komunikasi kepada warga sekaligus membawa aspirasi dalam pengambilan keputusan.
Wartawan Nanda Batubara berkontribusi untuk laporan ini.
- Balita dan anak-anak di Aceh Tamiang makan mi instan belasan hari, apa dampaknya bagi kesehatan?
- Ulama Aceh dan Dewan Profesor USK tuntut status ‘bencana nasional’ dan ‘bantuan asing’, Presiden Prabowo menolak
- Bendera putih di Aceh, ‘Kondisi Aceh begitu buruk, kami tidak baik-baik saja’ – Apa respons pemerintah pusat?
- Pemerintah tolak bantuan asing, pemulihan wilayah terdampak banjir-longsor di Sumatra diprediksi butuh 30 tahun
- Gelombang penyakit ancam anak-anak korban banjir Sumatra di tengah capaian imunisasi dasar yang sangat rendah
- Kisah perawat yang bertahan di RSUD Aceh Tamiang demi seorang bayi