Saleh soroti fenomena sistem cashless, pemilik toko jangan sampai melanggar UU mata uang

Photo of author

By AdminTekno

Anggota DPR RI Saleh Partaonan Daulay secara tajam mencermati dinamika penerapan sistem pembayaran non-tunai (cashless) yang semakin marak di berbagai gerai dan toko. Sorotan ini mengemuka setelah insiden viral seorang nenek yang tak dapat membeli Roti O lantaran pembayaran tunainya ditolak oleh kasir.

Sebagai individu berlatar belakang akademis, Saleh Daulay secara pribadi menyambut baik dan mengapresiasi pesatnya perkembangan teknologi digital. Derap kemajuan ini memungkinkan banyak urusan terselesaikan lebih cepat dan efisien, menghadirkan segudang kemudahan. “Tentu saya akan menjawab ‘sangat senang’ memakai kartu dalam setiap transaksi. Bahkan, hingga kini saya pribadi banyak mengandalkan sistem pembayaran non-tunai ini, termasuk untuk keperluan biaya bulanan keluarga,” ungkap Saleh pada Kamis (25/12/2025).

Namun, politisi tersebut menegaskan bahwa kemajuan teknologi digital tersebut tidak selalu relevan atau sesuai untuk semua kalangan dan kondisi.

Viral Nenek Tak Bisa Beli Roti O Pakai Uang Tunai, Saleh Sentil Gubernur BI

Ia memberi contoh anak-anak di bawah umur yang juga melakukan transaksi. Lantaran belum memiliki kartu pembayaran, mereka praktis harus menggunakan uang tunai saat berbelanja. Demikian pula dengan para lansia; tak sedikit dari mereka yang kesulitan mengikuti derap perkembangan teknologi digital, sehingga merasa tertinggal dan terpinggirkan dari kemajuan informasi.

Selain itu, realitas geografis Indonesia yang luas, dengan jutaan penduduk tersebar di daerah-daerah terpencil dan pedesaan, menyulitkan implementasi transaksi digital secara merata. Banyak kendala teknis dan non-teknis yang harus dihadapi.

“Untuk bertransaksi non-tunai dibutuhkan koneksi internet yang stabil. Namun, di daerah pemilihan saya, internet hanya bisa aktif jika ada pasokan listrik dari PLN. Jika listrik padam, jaringan telepon pun ikut terganggu,” ungkap anggota DPR RI Dapil II Sumatera Utara tersebut.

Saleh Daulay juga menyoroti fakta bahwa tidak semua desa memiliki akses ke fasilitas perbankan. Apabila warga ingin bertransaksi non-tunai, mereka harus terlebih dahulu pergi ke bank untuk membuka rekening, menyetorkan uang, dan melengkapi berbagai persyaratan administratif. Betapa merepotkannya bagi warga desa yang harus menempuh perjalanan jauh ke ibu kota kecamatan hanya demi mengurus hal-hal terkait pembayaran non-tunai. Jika jaraknya jauh, tingkat kerumitan ini tentu berlipat ganda.

“Bahkan, untuk mendiskusikan sistem pembayaran non-tunai ini saja membutuhkan waktu yang panjang, apalagi jika harus berdebat sesuai tingkat pemahaman mereka di sana,” tambahnya.

Berdasarkan serangkaian pertimbangan ini, Saleh mengingatkan kembali esensi kehadiran negara bagi seluruh warganya. Setiap individu harus diperlakukan secara adil, tanpa ada yang terpinggirkan. Konstitusi secara eksplisit mengamanatkan tugas negara untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia.

“Tidak sepatutnya pemilik toko membuat aturan sendiri hanya demi simplifikasi operasional. Konon, ada dugaan motif di baliknya adalah ketidakpercayaan pada karyawan, sehingga dipaksakan aturan non-tunai demi keamanan transaksi dan menghindari potensi penipuan,” ujarnya.

Saleh juga menegaskan adanya sanksi pidana yang diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, bagi siapa pun yang menolak penggunaan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah.

“Sangatlah ironis bila aturan internal toko justru berbenturan dengan undang-undang dan titah negara, tanpa mempertimbangkan radius, spektrum, dan cakrawala yang lebih luas,” kritik ketua Komisi VII DPR RI itu.

Saleh menekankan bahwa pembayaran non-tunai (cashless) itu sendiri tidaklah salah, bahkan sangat relevan dan penting bagi sebagian kalangan. Namun, ia secara tegas mengingatkan agar pembayaran dengan uang tunai (cash) tidak boleh ditolak atau dihentikan.

Ia mempertanyakan, bukankah uang tunai dicetak dalam jumlah yang sangat besar? Bukankah itu merupakan alat pembayaran yang sah dan diakui oleh negara?

“Jika memang uang tunai akan ditolak secara masif, lantas untuk apa negara mengalokasikan anggaran besar untuk proyek pencetakan uang? Berapa banyak sumber daya manusia yang dipekerjakan dalam bidang ini? Apakah semua upaya tersebut hanya bersifat simbolis tanpa makna substansial?” pungkas Saleh.

Leave a Comment