Pertemuan manusia dan hominin di Sulawesi 50.000 tahun lalu – “Dua populasi ini mungkin bertemu dan saling berinteraksi”

Photo of author

By AdminTekno

Jauh sebelum manusia modern melangkahkan kakinya di Sulawesi, sekitar 1,04 juta tahun lalu hiduplah hominin atau manusia purba. Penelitian arkeolog lintas negara, menunjukkan hominin sudah lebih dulu menyeberangi lautan dan mencapai Pulau Sulawesi.

Namun, penelitian terbaru di situs Leang Bulu Bettue, Sulawesi Selatan, arkeolog menemukan artefak yang menguatkan dugaan persinggungan hominin dan Homo sapiens dalam sebuah masa.

Untuk menjawab itu, arkeolog mengemukakan kronologi kehadiran hominin dan Homo sapiens di Sulawesi terlebih dahulu dari sejumlah penggalian.

Pada 2024 lalu, tim peneliti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), Griffith University dan Southern Cross University, menemukan lukisan cadas di Leang Karampuang—masih wilayah Maros-Pangkep.

Lukisan ini diyakini sebagai yang tertua di dunia dengan usia sekitar 51.200 tahun lalu. Dengan kata lain, kehadiran manusia di Sulawesi sudah ada sejak masa itu.

Sementara hasil penelitian terbaru dengan penggalian situs sedalam sekitar delapan meter di Leang Bulu Bettue, menemukan artefak di lapisan terdalam yang berusia 130.000 hingga 200.000 tahun lalu—periode ketika Homo sapiens belum ada di kawasan itu.

Artefak yang ditemukan di Leang Bulu Bettue merupakan alat-alat batu yang memiliki kemiripan dengan temuan para arkeolog di situs Calio, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan yang usianya mencapai 1,04 juta tahun.

Penelitian di situs itu dimulai sejak 2013 dan menemukan lapisan demi lapisan yang menunjukkan jejak eksistensi, baik itu Homo sapiens, maupun hominin dari waktu ke waktu dan interaksinya terhadap lingkungan tempat mereka hidup.

“Ini menarik, di Leang Bulu Buttue, kami menemukan sekuens budaya [bukti kehidupan], mulai dari populasi hominin awal sampai pada masuk di lapisan yang kami duga sebagai homo sapiens,” ujar Basran Burhan, arkeolog Griffith University.

Situs tersebut merupakan gua dan ceruk batu gamping, di kawasan karst Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan.

Apakah temuan ini dapat mengubah sejarah proses persebaran hominin dan Homo sapiens di Sulawesi? Menurut Basran, tidak akan mengubah sejarah itu “hanya menguatkan hipotesis yang telah dibangun oleh para peneliti”.

Dari situs Calio hingga Leang Bulu Bettue, hominin diperkirakan hidup di Sulawesi sekitar satu juta hingga 200.000 tahun yang lalu.

Namun, temuan artefak dalam lapisan kelima yang memiliki penanggalan antara 40.000 sampai 50.000 tahun lalu, disebut sebagai lapisan krusial oleh arkeolog.

Sebuah temuan yang benar-benar bisa memecahkan secuil misteri kehidupan manusia dan hominin.

Lapisan lima itu merupakan lapisan transisi yang menandakan temuan terakhir artefak hominin.

Para arkeolog menemukan adanya perbedaan perilaku dan budaya yang mencolok lewat temuan di lapisan empat, berupa penggunaan pigmen untuk lukisan cadas, perhiasan seperti manik-manik dan liontin dari tulang hewan, hingga teknologi alat batu yang lebih kompleks.

Temuan di lapisan empat itu erat kaitannya dengan homo sapiens.

“Sampai saat ini, kami belum menemukan bukti langsung yang menjelaskan soal bagaimana pergantian populasi [dari hominin ke Homo sapiens], tetapi berdasarkan data yang kami miliki setidaknya ada dua kemungkinan,” jelas Basran.

Pertama, menurut Basran, dari temuan lukisan cadas di Leang Karampuang yang berusia 51,200 tahun lalu.

Kedua, hominin baru mengilang 40.000 tahun lalu lewat temuan di lapisan lima Leang Bulu Bettue, maka ada tumpang tindih 10.000 tahun pada masa itu.

“Ketika tiba di suatu wilayah, homo sapiens awalnya menghuni pesisir, itu dibuktikan dengan beberapa situs lain di daerah timur dan beberapa wilayah selatan Wallacea, situs-situs awal homo sapiens itu berada di wilayah pesisir,” jelas Basran.

Pada saat bersamaan, lanjut Basran, hominin sudah ada di Sulawesi, tepatnya di kawasan karst Maros-Pangkep. Jadi ada dua populasi yang hidup di sana, manusia (Homo sapiens) dan manusia purba (hominin).

“Dua populasi itu mungkin bertemu dan berinteraksi,” imbuh Basran.

Hipotesa yang dibangun arkeolog itu berdasar temuan di lapisan lima.

Memang didominasi artefak batu inti, atau lithic core, bongkahan batu yang menjadi bahan dasar untuk membuat alat-alat yang digunakan manusia purba (hominin).

Sederhananya, hominin memukul-mukul batu besar lalu diambil pecahannya untuk membuat alat semacam pisau.

Arkeolog mengenali batu inti dari bekas pangkasan berupa cekungan-cekungan di permukaan batu yang menunjukkan, pernah ada bagian yang sengaja dilepaskan dari sana.

Baca juga:

  • Siapa penghuni Pulau Sulawesi satu juta tahun lalu?
  • Perempuan misterius 7.200 tahun di Sulawesi, temuan terbaru yang ‘menambah warna ras kepada Indonesia’
  • Lukisan hewan tertua di dunia ditemukan di Sulawesi Selatan

Namun, ada pula artefak batu yang menurut Basran merupakan hasil adopsi pengetahuan hominin oleh Homo sapiens awal di Sulawesi.

“Ada beberapa percampuran [artefak] di lapisan itu, sehingga mungkin ada kontak antara homo sapiens dan hominin dan ada adopsi teknologi. Tetapi kita tidak tahu apa yang terjadi kemudian, karena teknologinya berubah sangat drastis pada masa berikutnya,” ungkap Basran.

Pada masa itu, homo sapiens sudah beralih ke teknologi yang jauh lebih kompleks, seperti serpih bilah, bipolar dan macroblade atau makrobilah batu.

Bagaimana peneliti mengaitkan temuan fosil fauna dengan transisi pengetahuan hominin dan homo sapiens?

Dalam penelitian ini, data fauna juga mendukung hipotesa perubahan jenis populasi dari hominin menjadi Homo sapiens.

Masih di lapisan lima, yang disebut arkeolog sebagai lapisan tertua, didominasi fauna berukuran besar.

“Kami menemukan stegodon (gajah purba), anoa berukuran besar hingga babi purba,” kata arkeolog Universitas Hasanuddin, Andi Muhammad Saiful yang terlibat dalam penelitian ini.

Stegodon yang pernah hidup di Sulawesi ukurannya lebih kecil jika dibandingkan dengan stegodon di daratan Asia atau Jawa.

Penyebabnya, karena fenomena biologis island dwarfism, atau penyusutuan ukuran hewan karena sumber daya makanan terbatas dan tidak ada predator besar. Karena itu, evolusi mendukung tubuh yang lebih kecil agar lebih efisien bertahan hidup.

Dari temuan itu, Saiful mencoba menggambarkan, kawasan karst di sekitar situs penelitian, dahulu merupakan dataran luas atau savana.

Peneliti menyebut keadaan itu sebagai fase kehidupan pertama.

Namun, lanskap itu berubah ketika memasuki fase sekitar 40.000 tahun lalu. Dari lapisan lainnya, fauna besar sudah tidak ditemukan lagi. Tapi berganti dengan fauna yang lebih kecil seperti kuskus, tikus, burung, monyet dan babirusa.

“Perubahannya sangat jelas, lingkungan sekitar menjadi lebih mirip hutan lebat seperti sekarang,” jelas Saiful.

Kemudian, di fase kehidupan kedua—erat kaitannya dengan homo sapiens, fauna yang ditemukan lebih beragam.

Temuan fauna dalam kedua fase kehidupan itu menandakan adanya spesies yang punah dan yang bertahan.

“Misal, stegodon, hanya hidup 200.000 sampai sekitar 70.000 tahun yang lalu. Kemudian di fase hidup 40.000 tahun lalu, spesies itu punah, berbeda dengan monyet, kuskus, yang masih ada,” jelas Saiful.

Remah fakta yang ditemukan arkeolog berupa fosil hewan yang hidup dalam dua fase kehidupan itu menandakan perubahan lingkungan dan punahnya fauna besar.

Itu sebabnya, arkeolog menduga perubahan yang terjadi ikut mendorong transformasi teknologi dan strategi berburu, terutama pada Homo sapiens awal.

Tidak ada fosil hominin yang ditemukan di Sulawesi, ke mana mereka pergi?

Dalam penelitian sebelumnya di situs Calio, Sulawesi Selatan yang dipublikasikan pada Agustus 2025, disebutkan temuan artefak hominin yang berasal dari 1,05 juta tahun lalu.

Sejumlah warganet bertanya-tanya, seperti apa rupa hominin Sulawesi itu?

Meski temuan arkeolog berupa artefak yang merupakan bukti budaya, dan bukti lingkungan seperti fauna semakin kaya, namun dalam rangkaian penelitian di Sulawesi, fosil hominin belum pernah ditemukan.

“Berdasar hasil riset yang selama ini kami lakukan termasuk di Liang Bulu Bettue, belum ada tanda-tanda seperti apa hominin,” ungkap arkeolog BRIN, Budianto Hakim.

Maka, para arkeolog menyebut entitas yang meninggalkan artefak-artefak itu sebagai hominin.

“Kami sepakat menyebutnya sebagai hominin, karena belum ada ciri pasti,” tambah Budianto.

Lalu, pertanyaan lain muncul, siapa manusia purba, si pembuat alat-alat itu? Apakah hominin yang ada di Sulawesi sama dengan yang ada di Flores atau di Filipina?

Penelitian di Flores menemukan sisa-sisa fosil spesis hominin endemik bertubuh kecil, atau Homo floresiensis dari endapan pleistsoen akhir—sekitar 100.000 sampai 50.000 tahun yang lalu di Liang Bua.

Sementara sejumlah kecil fosil Homo floresiensis yang jauh lebih tua telah diekskavasi di Mata Menge, Cekungan So’a dalam endapan yang berasal dari sekitar 700.000 tahun yang lalu.

Di tempat lain di Cekungan So’a, alat-alat batu yang ditemukan setidaknya berasal dari 1,02 juta hingga 0,10 juta tahun yang lalu.

Awalnya, hipotesa para arkeolog menyebut begini; berdasar anatomi Homo floresiensis, hominin Flores itu berevolusi dari sekelompok Homo erectus Asia awal yang terisolasi di pulau itu dan mengalami penyusutan.

Hipotesa lanjutannya dalam penelitian terbaru ini menyebut, hominin bisa saja awalnya menyeberang ke Flores dari Pulau Sulawesi.

Jika demikian, hominin mungkin telah mencapai Pulau Sulawesi setidaknya satu juta tahun lalu atau bahkan lebih awal, setelah menyeberang ke Sulawesi langsung dari daratan Sunda (Kalimantan).

Mungkin juga, berpotensi dari Filipina di utara, berdasar temuan arkeolog di Gua Callao, Luzon, Filipina. Temuan itu berupa fosil hominin bertubuh kecil yang telah punah.

Di dekat situs itu, ekskavasi yang dilakukan di situs Kalinga di Lembah Cagayan telah mengungkap artefak batu dan sisa-sisa badak yang punah dalam sedimen yang berasal dari 709.000 tahun lalu.

Sementara, di Sulawesi temuan arkeolog di situs Calio menempatkan pendudukan hominin paling awal yang diketahui, yakni 1,04 juta tahun lalu dalam rentang waktu yang serupa dengan yang terlihat di pulau Wallacea Timur, atau Flores.

Meski belum ada fosil hominin yang ditemukan di Sulawesi, kandidat yang paling masuk akal adalah Homo erectus, atau mungkin varian hominin yang mengalami pengerdilan karena isolasi pulau, seperti Denisovan.

Penelitian genomik terkait denisovan, menunjukkan bawa nenek moyang masyarakat Aborigin dan Melanesia saat ini merupakan hasil kawin silang dengan Denisovan.

Namun, hingga saat ini belum jelas wilayah aliran gen kuno itu terjadi. Yang jelas, jangkauan geografis garis keturunan Denisovan membentang dari siberia hingga Sunda, dan kemungkinan hingga Wallacea.

Denisovan adalah kelompok manusia purba, atau subspesies manusia yang merupakan ‘saudara’ dari Neanderthal dan manusia modern.

Denisovan diperkirakan mendiami wilayah Asia Timur, Asia Tenggara hingga Oseania sebelum akhirnya punah.

Baca juga:

  • Fosil manusia purba berusia 140.000 tahun ditemukan di Selat Madura – Bukti ‘pertama’ kehidupan dari benua yang tenggelam
  • Manusia mungkin punah bila tidak kawin silang dengan manusia purba Neanderthal
  • Penelitian umur fosil berusia 3,4 juta tahun merevisi pemahaman tentang asal-usul manusia

Jika hipotesanya seperti itu, Sulawesi dianggap sebagai salah satu lokasi yang paling mungkin, di mana percampuran genetik antara homo sapiens modern dan Denisovan dapat terjadi di dalam wilayah Wallacea.

Penelitian ini sekaligus menggugurkan anggapan lama bahwa Wallacea merupakan ‘jalan buntu’ migrasi manusia akibat palung laut yang dalam. “Sulawesi justru menjadi melting pot,” kata Budianto.

“Migrasi tidak pernah berhenti—dari manusia purba, Homo sapiens, hingga penutur Austronesia.”

Wilayah ini, menurut Budianto adalah destinasi penting dan menjanjikan bagi manusia masa lalu, dengan lingkungan yang mendukung kehidupan jangka panjang.

Bagi para peneliti, di antara lapisan tanah, artefak batu, serta lukisan gua yang membisu, misteri itu masih menunggu—siapa sebenarnya penghuni awal Sulawesi, dan bagaimana mereka memberi jalan bagi manusia modern yang kita kenal hari ini.

Pula, masih menjadi misteri, apakah hominin dan Homo sapiens berperang, atau bahkan kawin?

Wartawan Abdul Rahman Muchtar dan Vincent Waldy, di Makassar, Sulawesi Selatan, berkontribusi dalam liputan ini.

Leave a Comment