Gempa Bekasi: Ancaman West Java Back-arc Thrust, Seberapa Besar?

Photo of author

By AdminTekno

Rangkaian gempa bumi mengguncang wilayah Bekasi sejak Rabu malam (20/8) hingga Kamis pagi, dipicu oleh Sesar ‘Naik Busur Belakang Jawa Barat’ (West Java Back-arc Thrust). Publik pun bertanya-tanya, apa sebenarnya West Java Back-arc Thrust itu? Dan apakah patahan aktif ini berbeda dengan Sesar Baribis yang kerap disebut sebagai pemicu gempa di seputaran Jabodetabek?

Getaran gempa bumi pertama kali terasa pada Rabu malam pukul 19.54 WIB, merambat hingga ke daerah penyangga ibu kota seperti Jakarta, Depok, dan Bogor. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengonfirmasi bahwa gempa dangkal tersebut bersumber dari daratan dan dipicu oleh aktivitas Sesar ‘Naik Busur Belakang Jawa Barat’ atau West Java Back-arc Thrust.

Peristiwa gempa berkekuatan magnitudo 4,7 ini menjadi momentum krusial bagi pemerintah untuk serius menyiapkan mitigasi bencana. Para pengamat menekankan pentingnya upaya mitigasi demi meminimalisasi kerusakan dan potensi korban jiwa, terutama mengingat sesar ini membentang melintasi area pemukiman padat dan pusat-pusat ekonomi vital.

“Perlu identifikasi jalur sesar Jawa bagian barat ini karena kita tidak tahu kualitas bangunan yang ada,” tegas Sonny Aribowo, peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pada Kamis (21/08). Ia menyoroti kerentanan infrastruktur di wilayah tersebut.

Meskipun tidak menelan korban jiwa, otoritas setempat mencatat satu musala di Kabupaten Bekasi roboh dan 46 bangunan rusak di Kabupaten Karawang akibat guncangan tersebut. Hingga Kamis pagi, BMKG telah mencatat adanya 13 gempa susulan, dengan kekuatan terbesar mencapai magnitudo 3,9.

Apa itu West Java Back-arc Thrust? Apakah sama dengan Sesar Baribis?

Menurut Sonny Aribowo dari BRIN, West Java Back-arc Thrust adalah patahan aktif yang melintang di sisi utara Pulau Jawa bagian barat. Zona patahan ini membentang dari Kuningan ke arah timur, melewati Cirebon, Majalengka, dan Subang. Saat mencapai Purwakarta, zona patahan ini sedikit bercabang: satu jalur lurus ke timur melintasi Karawang dan Bekasi, sementara jalur lain sedikit melengkung ke selatan menuju Bogor, bahkan menyentuh sisi selatan Jakarta.

Para peneliti menamakan zona ini West Java Back-arc Thrust karena posisinya yang memanjang “di belakang” busur vulkanik atau deretan gunung api di Jawa bagian barat, seperti Gunung Ciremai, Gunung Cakrabuana, Gunung Tampomas, dan Tangkuban Parahu, jika dilihat dari sisi selatan Jawa. “Back-arc itu artinya di belakang gunung api dan itu dominan patahan naik,” jelas Sonny, menggambarkan karakteristik geologisnya.

Panjang total zona patahan ini mencapai lebih dari 200 kilometer. Namun, Sonny Aribowo menjelaskan bahwa West Java Back-arc Thrust sejatinya tidak tersambung secara penuh, melainkan terbagi menjadi beberapa segmen. “Terbagi beberapa segmen. Ada bagian terputus,” ujar Sonny, seorang peneliti geologi yang fokus pada tektonik, sesar aktif, dan kegempaan di Jawa.

Gempa di Bekasi baru-baru ini diduga bersumber dari salah satu potongan West Java Back-arc Thrust, yakni segmen Citarum yang diperkirakan membentang sepanjang 41 kilometer. Selain segmen Citarum, terdapat pula segmen lain di sepanjang jalur West Java Back-arc Thrust, seperti “sang tetangga” yakni segmen Citarum Front yang membentang sepanjang 50-60 kilometer, dan Segmen Baribis yang posisinya lebih ke timur.

Sebelumnya, sejumlah pemberitaan sempat menyebut Sesar Baribis sebagai pemicu gempa di Bekasi. Namun, Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, segera meluruskan informasi ini. Ia menjelaskan bahwa penelitian terbaru menyepakati Baribis adalah salah satu segmen dari zona patahan panjang yang lebih besar tersebut. “Dulu dikenal Sesar Baribis, namun ternyata itu salah satu segmen dari West Java Back-arc Thrust,” kata Daryono. Pernyataan ini diamini oleh Sonny Aribowo, yang menambahkan, “Dulu disebut zona patahan Baribis-Kendeng. Tapi untuk lebih pas, secara geologi kami kini menyebutnya West Java Back-arc Thrust.”

Bagaimana gempa bisa terjadi di zona patahan ini?

Sonny menjelaskan, gempa yang terjadi di sepanjang West Java Back-arc Thrust merupakan hasil “interaksi” antara Lempeng Indo-Australia yang terus bergerak ke utara dan menekan Lempeng Eurasia (Sunda) yang relatif stabil. Akibat dorongan konstan dari selatan, kerak bumi di Jawa mengalami kompresi. Tekanan yang menumpuk ini menciptakan energi di dalam kerak daratan Jawa. Ketika batuan tidak lagi mampu menahan tekanan, patahan terjadi, melepaskan energi dalam bentuk gempa bumi di daratan.

Karakteristik patahan ini bersifat naik, di mana satu blok batuan terdorong naik di atas blok lainnya. Inilah mengapa zona patahan ini dinamakan West Java Back-arc Thrust, dengan istilah “thrust” dalam geologi berarti “sesar naik” atau “patahan naik”. “Ibarat kue lapis, [saat] ditekan, ada lipatan,” Sonny menganalogikan.

Pola patahan ini berbeda dengan Sesar Lembang yang menurut Sonny bersifat mendatar atau menggeser. Sesar Lembang juga tidak termasuk dalam sistem West Java Back-arc Thrust. Bersama sejumlah peneliti lain, Sonny pernah menerbitkan penelitian mengenai fenomena tektonik West Java Back-arc Thrust pada Juli 2022. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa aktivitas jalur patahan di barat Pulau Jawa ini telah berlangsung sejak era Pleistosen akhir, yaitu sekitar 2,58 juta hingga 11.700 tahun yang lalu. Sementara itu, aktivitas yang lebih lama tercatat di zona patahan sisi timur Jawa, yang telah aktif sejak era Pliosen (5,3 juta hingga 2,58 juta tahun lalu).

Berapa besar potensi gempa bisa dihasilkan?

Zona West Java Back-arc Thrust telah berulang kali menjadi pemicu gempa. Salah satu peristiwa terbesar yang tercatat adalah gempa Bogor pada 5 Januari 1699, yang dipicu oleh segmen Baribis. Catatan ini didasari oleh penelitian profesor geologi Belanda, Arthur Wichman. Meskipun Wichman tidak mencantumkan besaran magnitudo karena seismograf belum ditemukan kala itu, ia mengumpulkan bukti dari arsip VOC dan laporan kolonial yang menyebutkan gempa tersebut menyebabkan longsor besar di hulu Ciliwung dan Cisadane. Para peneliti modern memperkirakan gempa yang diteliti Wichman berkisar antara magnitudo 7 hingga 7,7.

Ketika ditanya apakah besaran magnitudo serupa berpotensi terjadi dari segmen-segmen West Java Back-arc Thrust di masa mendatang, Sonny enggan berspekulasi dan menyatakan para peneliti sejauh ini hanya berpegang pada bukti empiris. Ia menyoroti bahwa sejak alat pencatat gempa mulai dipasang di Jawa pada tahun 1928, belum pernah tercatat gempa dengan magnitudo di atas skala magnitudo momen 7 (M 7) dari zona patahan ini. “Sampai saat ini belum ada [magnitudo lebih dari tujuh],” kata Sonny, seraya menyebut magnitudo terbesar yang tercatat adalah gempa di wilayah Sumedang-Cirebon pada tahun 1990, dengan M 5,5.

Sonny menambahkan, selain berpijak pada historis gempa West Java Back-arc Thrust yang tidak mencapai M 7, para peneliti juga melakukan beragam penilaian dan perhitungan geologi. Perhitungan dilakukan antara lain dengan metode seismik refleksi, yang sederhananya seperti melakukan USG ke bumi dengan mengirimkan gelombang bunyi dan merekam pantulannya. Ada pula perhitungan resistivitas listrik, yakni menguji aliran listrik di tanah, serta pengukuran arah patahan dan kemiringan lapisan batuan. “Kalau perhitungan kami, maksimal M 6,9 [di zona patahan West Java Back-arc Thrust],” ujarnya.

Perhitungan ini juga mempertimbangkan fakta bahwa jalur West Java Back-arc Thrust tidak tersambung melainkan terbagi menjadi beberapa segmentasi. Sonny menjelaskan bahwa segmen-segmen yang terputus menyebabkan akumulasi energi yang tersimpan di zona patahan tidak begitu besar. “Makin panjang [zona patahan], potensi gempa yang tersimpan semakin besar. Jadi berdasarkan perhitungan kami, maksimal M 6,9,” terang Sonny.

Meskipun diprediksi tidak akan melebihi M 7, Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menilai potensi kerusakan tidak bisa dianggap enteng. Pasalnya, aktivitas gempa di daratan, terutama jika episenter dekat dengan permukaan, berpotensi memicu kerusakan parah. Sonny menambahkan, gempa daratan berpotensi menyebabkan kerusakan masif karena lokasinya yang melintasi pemukiman. Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah dan masyarakat untuk serius melakukan mitigasi.

Ia mencontohkan dampak gempa Cianjur pada 21 November 2022. “Itu [gempa Cianjur] sudah jadi contoh. Boleh jadi, bangunan yang dibangun di pulau Jawa ini, di beberapa lokasi, tidak SNI (Standar Nasional Indonesia) yang diterbitkan Kementerian Pekerjaan Umum,” lanjut Sonny. “Maka, perlu identifikasi jalur sesar Jawa bagian barat ini karena kita tidak tahu kualitas bangunan yang ada. Sedangkan umumnya adalah perumahan rakyat.” Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2024, total warga di kabupaten/kotamadya yang dilintasi West Java Back-arc Thrust—tidak termasuk Jakarta—mencapai lebih dari 11 juta jiwa. Adapun jumlah penduduk Jakarta sendiri mencapai 11,34 juta jiwa.

“Kita kan enggak tahu gempa kapan. Semoga [dengan rangkaian gempa di Bekasi] kita sama-sama berproses untuk pengetahuan gempa,” ujar Sonny. Para peneliti, sambungnya, juga terus membarui pengetahuan mereka soal zona patahan di Indonesia. Ia merujuk pada sesar di Cianjur yang sebelumnya belum teridentifikasi, namun kemudian didalami oleh para peneliti setelah gempa bumi. “Masih ada penelitian lanjutan di Semarang, Sulawesi, Maluku,” kata Sonny, seraya menambahkan bahwa pemetaan zona patahan di Sumatra dan Palu-Koro sudah tergolong baik.

Bagaimana mitigasi pemerintah dan masyarakat?

Lantas, bagaimana respons pemerintah terhadap temuan para peneliti ini? Sonny mengaku telah berkoordinasi dengan badan penanggulangan bencana di sejumlah daerah dan menyiapkan sistem peringatan dini bersama BMKG. “Sejak dua tahun lalu berkoordinasi dengan BPBD Bogor dan Jakarta terkait sesar ini, soal mitigasinya seperti kelayakan gedung tinggi,” kata Sonny.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sejak tahun 2023, telah membentuk Satgas Penilaian Gedung dan Nongedung, yang telah melakukan penilaian terhadap sekitar 10 struktur gedung. Unsur ketahanan gempa juga disyaratkan oleh Pemprov DKI Jakarta untuk pembangunan sekolah-sekolah baru.

Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Rustian, mengatakan bahwa pengadopsian teknologi gedung tahan gempa harus dibarengi dengan kesiapan sosial masyarakat. Oleh karena itu, ia meminta pemerintah daerah untuk menggiatkan sosialisasi—selain mensyaratkan izin bangunan tahan gempa—di daerah masing-masing. “Teknologi konstruksi saja tidak cukup tanpa kesiapan sosial dan budaya,” ujar Rustian dikutip dari Antara pada Juli 2025.

Namun, masih ada tantangan di lapangan. Salah seorang warga Jakarta yang meminta diidentifikasi sebagai Husni mengaku minim informasi mengenai potensi gempa darat di Jakarta. Ia berharap pemerintah dapat melakukan sosialisasi yang lebih intens, mengingat dirinya tinggal di bangunan tinggi. “Tidak pernah ada woro-woro sejauh ini. Apa yang harus dilakukan jika gempa, ke mana jalur evakuasi. Saya juga tidak paham sekuat apa bangunan yang saya tinggali,” ujar perempuan 42 tahun yang menetap di rumah susun di wilayah Jakarta Pusat tersebut.

Husni sendiri mengaku sempat panik saat gempa mengguncang Jakarta pada Rabu malam dan bergegas menuruni tangga bersama penghuni lain. “Semoga ke depannya mitigasi lebih baik. Orang-orang tidak tahu apa yang harus dilakukan,” katanya. “Apalagi di Jakarta kan banyak gedung tinggi dan perumahan padat. Harus ada strategi yang jelas.”

Dampak gempa M 4,7 yang berpusat di Bekasi ini juga cukup terasa pada aktivitas masyarakat. Operasional kereta commuter line sempat terhenti sesaat usai gempa, mengakibatkan penumpukan penumpang di beberapa stasiun. Sejumlah perjalanan kereta cepat Jakarta-Bandung Whoosh juga sempat ditunda karena operator harus mengecek potensi kerusakan jalur kereta sebagai langkah antisipasi.

  • Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: Cerita dua penyintas yang memilih tinggal di zona berbahaya – ‘Kita sudah enggak takut lagi tinggal di pantai’
  • Mengapa gempa besar di Rusia tidak menimbulkan tsunami yang dahsyat?
  • Apa penyebab gempa Myanmar dan mengapa bisa meruntuhkan bangunan tinggi di Bangkok?
  • Gempa Garut M6,2 ‘Seperti ada raksasa berjalan‘ – Apa saja yang diketahui sejauh ini?
  • Gempa Cianjur: Korban meninggal bertambah menjadi 271 orang, tim SAR fokus evakuasi korban di bawah reruntuhan
  • Mengapa ilmuwan kesulitan memprediksi gempa bumi?
  • Indonesia diguncang gempa bumi ribuan kali per tahun – Apa yang harus dilakukan saat gempa bumi terjadi?
  • Taiwan sigap menghadapi gempa – Pelajaran apa yang bisa dipetik Indonesia?
  • Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: Cerita dua penyintas yang memilih tinggal di zona berbahaya – ‘Kita sudah enggak takut lagi tinggal di pantai’

Daftar Isi

Ringkasan

Gempa bumi mengguncang Bekasi dan sekitarnya, disebabkan oleh aktivitas Sesar Naik Busur Belakang Jawa Barat (West Java Back-arc Thrust). Patahan ini membentang lebih dari 200 kilometer di utara Jawa Barat dan terbagi menjadi beberapa segmen. Gempa tersebut memicu pertanyaan tentang potensi ancaman dan perbedaan dengan Sesar Baribis, yang ternyata merupakan salah satu segmen dari West Java Back-arc Thrust.

Gempa terjadi akibat interaksi Lempeng Indo-Australia dan Eurasia, menciptakan tekanan pada kerak bumi Jawa. Para peneliti memperkirakan potensi gempa maksimal dari zona patahan ini adalah M 6,9, meskipun potensi kerusakan tetap tinggi mengingat lokasinya di area padat penduduk. Mitigasi bencana perlu ditingkatkan, termasuk sosialisasi dan penerapan standar bangunan tahan gempa, seperti yang telah dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dengan membentuk Satgas Penilaian Gedung.

Leave a Comment