Dua jurnalis di Bali mengalami insiden intimidasi saat menjalankan tugas liputan demonstrasi yang berlangsung di Polda Bali dan kantor DPRD Bali, pada Sabtu (30/8). Peristiwa ini menyoroti kembali tantangan yang dihadapi kebebasan pers, di mana jurnalis yang terlibat adalah Fabiola Dianira dari detikBali dan Rovin Bou dari Bali Topik.
Fabiola Dianira, yang akrab disapa Nia, menceritakan pengalaman intimidasi yang dialaminya di area Kantor DPRD Bali. “Ada 3-4 orang laki-laki pakai baju biasa, (mengintimidasi saat meliput di area Kantor DPRD Bali),” ujar Nia kepada wartawan. Insiden ini bermula ketika Nia sedang mengisi daya ponselnya di sebuah minimarket yang terletak di seberang Lapangan Renon, area yang tidak jauh dari Kantor DPRD Bali.
Sekitar pukul 18.30 WITA, Nia menyaksikan sekelompok massa dipukuli oleh sejumlah pria berpakaian preman di Lapangan Renon. Merasa perlu mendokumentasikan kejadian tersebut untuk kepentingan pemberitaan, Nia lantas bergegas menuju lokasi sambil membuka kamera ponselnya. Namun, belum sempat merekam, ia langsung diteriaki oleh seorang pria yang melarangnya mengambil gambar atau video. Meski Nia telah menjelaskan identitasnya sebagai jurnalis yang sedang bekerja, pria tersebut tetap merampas dan memeriksa ponselnya, sementara tangan kiri Nia dipegang paksa oleh pria lain.
“Mereka maksa aku enggak boleh foto, disuruh lihat mana fotonya? mana fotonya? padahal belum sempat foto. Tapi mereka memaksa,” tutur Nia, menambahkan bahwa para pria itu sempat terdiam tak berkutik saat menyadari ponselnya tidak berisi dokumentasi kejadian, sebelum akhirnya mengembalikan ponselnya. Setelah tangannya dilepaskan, Nia sempat meneriaki para pria itu dan menanyakan asal institusi mereka, mengingat ia mendengar kalimat yang menyebut adanya penyisiran lokasi oleh Polda Bali. Namun, pertanyaan Nia justru dijawab dengan teriakan dan perintah untuk segera meninggalkan lokasi, seolah menantang dengan pertanyaan “Kenapa pengin tahu dari mana, kenapa!?“.
Sementara itu, kisah intimidasi juga menimpa Rovin Bou di area Polda Bali. Saat tengah melakukan siaran langsung (live) dan mengumpulkan selongsong gas air mata yang berserakan di pinggir jalan, ponsel Rovin tiba-tiba dirampas. Ia kemudian dipiting oleh beberapa orang dan diamankan ke dalam kantor Ditkrimsus Polda Bali. “Saya dipiting beberapa orang itu ke dalam kantor Ditkrimsus, saat dipiting itu saya ditendang dari belakang beberapa kali,” ungkap Rovin, menjelaskan kekerasan fisik yang diterimanya.
Rovin terus dipiting hingga ke parkiran belakang Ditkrimsus, sembari berupaya menjelaskan bahwa ia adalah seorang jurnalis dan mencoba berkoordinasi dengan rekan-rekannya. Tak lama berselang, seorang polisi datang dari belakang, menarik kerah bajunya, dan memaksanya untuk duduk. Setelah insiden itu, barang-barangnya, termasuk tas, dikembalikan dan ia ditinggalkan begitu saja di lokasi. Rovin kemudian dilepaskan oleh pihak Polda Bali.
PESAN REDAKSI:
Demonstrasi merupakan hak konstitusional warga negara dalam negara demokrasi. Demi kepentingan bersama, disarankan agar setiap demonstrasi dilakukan secara damai, menjunjung tinggi ketertiban, serta menghindari tindakan penjarahan atau perusakan fasilitas publik. Kebebasan pers juga merupakan pilar penting demokrasi yang harus dihormati.
Ringkasan
Dua jurnalis di Bali, Fabiola Dianira dari detikBali dan Rovin Bou dari Bali Topik, mengalami intimidasi saat meliput demonstrasi di Polda Bali dan kantor DPRD Bali. Fabiola Dianira diintimidasi di area Kantor DPRD Bali oleh beberapa pria berpakaian preman yang memaksa memeriksa ponselnya dan melarangnya mengambil gambar atau video kejadian pemukulan massa.
Rovin Bou mengalami intimidasi saat meliput di area Polda Bali. Ponselnya dirampas saat melakukan siaran langsung, ia dipiting, ditendang, dan diamankan ke kantor Ditkrimsus Polda Bali. Setelah kejadian tersebut, barang-barangnya dikembalikan dan ia dilepaskan oleh pihak Polda Bali.