Rektor Universitas Paramadina: Kucuran Dana Rp 200 T ke Bank Langgar Konstitusi

Photo of author

By AdminTekno

Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, menyuarakan kekhawatiran serius terkait potensi pelanggaran konstitusi atas kebijakan pemerintah. Kekhawatiran ini muncul sehubungan dengan kucuran dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun yang saat ini mengendap di Bank Indonesia (BI) dan direncanakan akan disalurkan perbankan menjadi kredit.

Menurut Didik, kebijakan yang digagas oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ini disinyalir tidak hanya berpotensi melanggar konstitusi, tetapi juga secara bersamaan mengangkangi tiga undang-undang sekaligus. Oleh karena itu, ia secara tegas mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menghentikan implementasi kebijakan kontroversial ini. “Kita tidak boleh melakukan pelemahan aturan main dan kelembagaan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya,” tegas Didik dalam keterangan tertulisnya pada Selasa (16/9), menekankan pentingnya menjaga integritas sistem hukum negara.

Didik menjelaskan bahwa setiap program yang melibatkan anggaran negara harus diawali dengan proses legislasi yang terarah dan sistematis melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Prosedur ini mencakup pengajuan jumlah dana yang dibutuhkan serta perincian program-program yang akan dijalankan. Proses penyusunan, penetapan, dan alokasi APBN sendiri telah diatur secara ketat oleh UUD 1945 Pasal 23, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, serta Undang-Undang APBN yang ditetapkan setiap tahunnya.

Ia menegaskan bahwa seluruh prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan wajib dipatuhi, mengingat anggaran negara adalah ranah publik yang harus dikelola dengan akuntabilitas tinggi, bukan sebagai anggaran privat atau perusahaan. “Kebijakan spontan pengalihan anggaran negara Rp 200 triliun ke perbankan dan kemudian masuk ke kredit perusahaan, industri atau individu merupakan kebijakan yang melanggar prosedur yang diatur oleh undang-undang Keuangan Negara dan Undang-Undang APBN, yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar,” jelas Didik, menyoroti inkonsistensi dengan kerangka hukum yang ada.

Melanjutkan argumennya, Didik berpendapat bahwa pelaksanaan kebijakan yang benar harus selalu berlandaskan pada aturan main yang telah ditetapkan. Jika tidak, tindakan semacam ini akan menciptakan preseden buruk yang memungkinkan anggaran publik digunakan secara sewenang-wenang di masa mendatang, terlepas dari kepatuhan terhadap hukum. “Semau gue dan sekehendak pejabatnya secara individu. Alokasi anggaran negara tidak bisa dijalankan atas perintah menteri atau perintah presiden sekalipun,” imbuhnya, menekankan bahwa kekuasaan tidak boleh melampaui aturan.

Dalam konteks tata kelola pemerintahan yang baik, Didik mengingatkan bahwa pejabat negara harus menaati aturan dan menjalankan kebijakan sesuai dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). RKP ini merupakan hasil perencanaan dari Kementerian/Lembaga serta pemerintah daerah, sehingga tidak ada program yang muncul secara tiba-tiba tanpa perencanaan matang. Selain itu, program-program yang disusun secara teratur dalam Nota Keuangan wajib diajukan secara resmi oleh pemerintah kepada DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

Karena anggaran negara adalah ranah publik, proses politik pembahasan anggaran harus dijalankan bersama oleh DPR melalui diskusi mendalam di setiap komisi dengan para menteri terkait, serta antara Badan Anggaran dengan Menteri Keuangan. “Setiap program yang menjalankan anggaran negara tidak melalui proses legislasi adalah pelanggaran terhadap konstitusi. Jika ada kebijakan dan program nyelonong dengan memanfaatkan anggaran maka kebijakan tersebut hanya kehendak individu pejabat dan tidak ada proses legislasi, maka ini terindikasi melanggar konstitusi dan undang-undang negara,” papar Didik dengan tegas.

Dengan demikian, Didik menekankan bahwa setiap Rupiah dari anggaran negara harus melewati pembahasan intensif dengan DPR, berdasarkan asumsi yang telah disepakati di setiap komisi, ditetapkan oleh Badan Anggaran, dan kemudian disetujui dalam Sidang Paripurna. “Inilah proses yang sah dari program pemerintah yang melibatkan alokasi anggaran negara. Tidak bisa lewat keputusan menteri atau SK gubernur,” tuturnya, menggarisbawahi pentingnya legitimasi parlemen.

Lebih lanjut, Didik juga menyoroti bahwa pelaksanaan anggaran dan pengelolaan kas, termasuk penerimaan, belanja, dan utang, sepenuhnya dijalankan oleh Kementerian Keuangan harus berdasarkan dan diatur oleh undang-undang. Ia menyebutkan bahwa penempatan dana Rp 200 triliun tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 22, ayat 4, 8, dan 9.

Secara rinci, Ayat 4 menjelaskan bahwa Menteri Keuangan dapat membuka rekening penerimaan (pajak dan PNBP) dan rekening pengeluaran (operasional APBN) di bank umum. Kemudian pada Ayat 8, rekening pengeluaran diisi dana dari RUKN (Rekening Umum Kas Negara) yang ditempatkan di Bank Sentral. Namun, pada Ayat 9, secara gamblang disebutkan bahwa jumlah dana yang disediakan di rekening dan pengeluaran harus disesuaikan dengan kebutuhan pemerintah yang sudah ditetapkan dalam APBN. “Pengeluaran anggaran negara untuk program-program yang tidak ditetapkan oleh APBN jelas melanggar Ayat 9. Ayat ini sangat jelas membatasi jumlah dan tujuan penempatan sebatas pada operasional pengeluaran sesuai rencana pemerintah yang sudah ditetapkan dalam APBN, bukan untuk program-program yang seingat di kepala lalu dijalankan,” ujar Didik dengan nada peringatan.

Dengan argumen tersebut, Didik menyimpulkan bahwa tujuan dan jumlah penempatan dana pemerintah di bank umum hanya diperuntukkan bagi kepentingan operasional pengeluaran APBN yang jumlah dan penggunaannya telah disetujui oleh DPR. Dana ini tidak semestinya digunakan untuk disalurkan oleh bank ke industri melalui skema kredit umum yang terlepas dari pembiayaan APBN. “Rekening tersebut terbatas pada kepentingan operasional APBN, bukan untuk melaksanakan program yang tidak ditetapkan APBN. Penempatan dana Rp 200 triliun rupiah dari anggaran negara secara spontan tersebut juga melanggar Pasal 22 ayat 4 UU 1/2004 tersebut,” tandas Didik, menegaskan kembali dual pelanggaran yang disorotinya.

Leave a Comment