Seiring konflik di Gaza yang terus bergulir, isolasi internasional terhadap Israel tampaknya makin dalam. Apakah Israel mengalami apa yang disebut sebagai “momen Afrika Selatan”, ketika kombinasi tekanan politik, boikot ekonomi, olahraga dan budaya membantu memaksa negara itu meninggalkan apartheid?
Atau dapatkan pemerintah sayap kanan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatasi badai diplomatik, yang membiarkan Israel bebas mengejar tujuannya di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki tanpa menyebabkan kerugian permanen pada posisi internasioal negara itu?
Dua mantan perdana menteri, Ehud Barak dan Ehud Olmert, menuding Israel mengubah Israel menjadi negara paria internasional.
Berkat surat perintah yang dikeluarkan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC), jumlah negara yang bisa dikunjungi Netanyahu tanpa riisko ditangkap menurun drastis.
Di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), termasuk Inggris, Prancis, Australia, Belgia dan Kanada, telah mengumumkan mereka bakal mengakui Palestina sebagai negara pekan depan.
Dan negara-negara Teluk, yang bereaksi keras atas serangan terbaru Israel terhadap para pemimpin Hamas di Qatar pekan lalu, telah bertemu di Doha untuk membahas repspons mereka.
Sejumlah pihak berseru negara-negara yang memiliki hubungan dengan Israel untuk berpikir ulang.
Namun dengan kelaparan yang muncul di Gaza selama musim panas dan tentara Israel yang siap menyerang—dan sangat mungkin menghancurkan—Kota Gaza, makin banyak negara Eropa yang menunjukkan ketikdapuasan mereka dengan cara yang lebih dari sekadar pernyataan.
Bahkan Netanyahu pada Senin (15/09) mengaku bahwa Israel menghadapi “semacam” isolasi ekonomi di panggung dunia.
Saat berbicara dalam konferensi kementerian keuangan di Yerusalem, dia menyalahkan isolasi ekonomi tersebut pada publisitas negatif di luar negeri.
Dia kemudian mengatakan Israel perlu berinvestasi dalam “operasi pengaruh” ia internasional dan sosial untuk menangkal citra negatif ini.
Pada awal September lalu, Belgia mengumumkan serangkaian sanksi terhadai Israel, termasuk larangan impor dari permukiman Yahudi ilegal di Tepi Barat, peninjauan kebijakan pengadaan dengan perusahaan Israel dan pembatasan bantuan konsuler bagi warga Belgia yang tinggal di permukiman Yahudi.
Belgia juga menyatakan dua menteri pemerintah garis keras Israel, Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich—persona non grata, bersama dengan pemukim Yahudi yang dituduh melakukan kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat.
Negara-negara lain, termasuk Inggris dan Prancis, mengambil langkah serupa.
Tapi sanksi terhadap pemukim yang melakukan kekerasan yang diberlakukan saat administrasi Joe Biden tahun lalu, dicabut oleh Donald Trump pada hari pertama dia menggantikan Biden sebagai presiden AS.
Satu pekan setelah Belgia mengumumkan kebijakannya, Spanyol mengumumkan langkah-langkah yang yang ditempuh terkait Israel.
Spanyol mengubah embargo senjata de facto yang berlaku saat ini menjadi undang-undang, mengumumkan larangan impor sebagian, melarang siapa pun yang terlibat dalam genosida atau kejahatan perang di Gaza masuk ke wilayah Spanyol, dan melarang kapal dan pesawat yang membawa senjata ke Israel untuk berlabuh di pelabuhan Spanyol atau memasuki wilayah udaranya.
Menteri luar negeri Israel, Gideon Saar, kemudian menuduh Spanyol memperkuat kebijakan antisemit dan menyatakan bahwa Spanyol akan lebih menderita daripada Israel akibat larangan perdagangan senjata.
Namun ada tanda-tanda lain yang mengkhawatirkan bagi Israel.
Pada Agustus lalu, Norwegia yang mengelola dana investasi negara yang sangat besar, yaitu US$2 triliun (sekitar Rp32,73 triliun), mengumumkan akan melakukan divestasi dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Israel.
Pada pertengahan bulan, 23 perusahaan telah dihapus dan Menteri Keuangan Jens Stoltenberg mengatakan akan ada lebih banyak perusahaan yang akan menyusul.
Sementara itu, Uni Eropa, mitra dagang terbesar Israel, berencana untuk memberi sanksi kepada menteri sayap kanan dan menangguhkan sebagian elemen perdagangan dari perjanjian dengan Israel.
Dalam pidato kenegaraan pada 10 September, Presiden Komisi Uni Eropa, Ursula von der Leyen mengatakan peristiwa di Gaza telah “mengguncang hati nurani dunia”.
Sehari kemudian, 314 mantan diplomat dan pejabat Eropa menulis surat kepada von der Leyen dan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, Kaja Kallas, yang meminta tindakan lebih keras, termasuk penangguhan penuh perjanjian dengan Israel.
Salah atu ciri sanksi yang dijatuhkan pada Afrika Selatan pada 1960-an dan menandai berakhirnya apertheid—kebijakan segregasi dan diskriminasi rasial yang diberlakukan oleh pemerintah minoritas kulit putih di Afrika Selatan terhadap mayoritas kulit hitam di negara tersebut—pada 1990-an adalah serangkaian boikot budaya dan olahraga.
Sekali lagi, tanda-tanda ini mulai terjadi di Israel.
Kontes Eurovision mungkin tidak terdengar seperti acara penting dalam konteks ini, tetapi Israel memiliki sejarah yang panjang dalam kompetisi tersebut, memenangkannya empat kali sejak 1973.
Bagi Israel, partisipasi mereka adalah simbol penerimaan negara ini oleh negara-negara sebangsa.
Tapi Irlandia, Spanyol, Beland dan Slovenia, telah mengatakan, atau mengisyaratkan, akan mundur dalam kontes ini tahun depan jika Israel masih berpartisipasi.
Keputusan terkait ini diharapkan akan ada pada Desember.
Di Hollywood, sebuah surat yang menyerukan boikot terhadap perusahaan produksi, festival, dan penyiaran Israel “yang terlibat dalam genosida dan apartheid terhadap rakyat Palestina” telah mengumpulkan lebih dari 4.000 tanda tangan dalam sepekan, termasuk dari aktor ternama seperti Emma Stone dan Javier Bardem.
Tzvika Gottlieb, CEO Israeli Film and TV Producers Association, menyebut petisi itu “sangat keliru”.
“Dengan menargetkan kami—para kreator yang menyuarakan beragam narasi dan mendorong dialog—para penandatangan ini melemahkan tujuan mereka sendiri dan berusaha membungkam kami,” ujarnya.
Hal serupa terjadi dalam bidang olahraga. Balapan sepeda Vuelta de Espana berulang kali diganggu oleh kelompok-kelompok yang memprotes kehadiran tim Israel-Premier Tech, yang menyebabkan balapan berakhir lebih awal pada Sabtu (13/09), serta pembatalan upacara podium.
Perdana Menteri Spanyol, Pedro Sánchez, menyebut protes tersebut sebagai suatu “kebanggaan”, tetapi politisi oposisi mengatakan tindakan pemerintah telah menyebabkan rasa malu internasional.
Di Spanyol, tujuh pemain catur Israel mengundurkan diri dari sebuah turnamen setelah diberi tahu bahwa mereka tidak akan dapat bertanding di bawah bendera mereka.
Tanggapan pemerintah Israel terhadap apa yang media sebut sebagai “tsunami diplomatik” secara umum bersifat menantang.
Netanyahu menuduh Spanyol memiliki “ancaman genosida yang nyata” setelah perdana menterinya mengatakan negaranya, yang tidak memiliki bom nuklir, kapal induk, atau cadangan minyak yang besar, tidak mampu menghentikan serangan Israel di Gaza sendirian.
Setelah Belgia mengumumkan sanksinya, Gideon Saar menulis di X bahwa “sangat disesalkan bahwa bahkan ketika Israel memerangi ancaman eksistensial, yang merupakan kepentingan vital Eropa, ada pihak-pihak yang tidak dapat menahan obsesi anti-Israel mereka”.
Pada Senin (15/09), Netanyahu bilang Israel harus mengurangi ketergantungan industrinya pada perdagangan dengan negara lain, termasuk senjata dan produk pertahanan lainnya.
“Kita mungkin mendapati diri kita terhambat, tidak hanya dalam R&D tetapi juga dalam produksi industri yang sebenarnya,” ujarnya.
“Kita harus mulai mengembangkan kemampuan kita untuk lebih mengandalkan diri sendiri.”
Namun di antara mereka yang pernah mewakili Israel di luar negeri, ada kecemasan yang mendalam.
Jeremy Issacharoff, Duta Besar Israel untuk Jerman sejak 2017 hingga 2021, mengatakan kepada saya bahwa ia tidak dapat mengingat kapan kedudukan internasional Israel begitu “buruk”.
Tapi dia mengatakan beberapa tindakan “sangat tidak dapat diterima” karena menargetkan semua warga Israel.
“Alih-alih menyoroti kebijakan pemerintah, hal ini justru mengasingkan banyak warga Israel moderat yang berada di kelompok tengah,” ujarnya.
Beberapa langkah, seperti mengakui negara Palestina, menurut Issacharoff kemungkinan besar akan terbukti kontraproduktif, karena hal itu “memberikan amunisi kepada orang-orang seperti Smotrich dan Ben Gvir dan bahkan memperkuat argumen mereka untuk mencaplok [Tepi Barat]”.
Meski merasa takut, mantan duta besar itu tidak percaya isolasi diplomatik Israel tidak dapat diubah.
“Kita tidak berada dalam momen Afrika Selatan, tetapi kita mungkin berada dalam pendahuluan menuju momen Afrika Selatan,” katanya.
Sementara yang lain meyakini perubahan yang lebih mendasar diperlukan untuk menghentikan kemerosotan Israel menuju status paria.
“Kita harus mendapatkan kembali tempat kita dalam keluarga bangsa-bangsa,” kata mantan diplomat lainnya, Ilan Baruch, kepada saya.
“Kita perlu kembali sadar.”
Baruch, yang menjabat sebagai duta besar di Afrika Selatan satu dekade setelah berakhirnya apartheid, mengundurkan diri dari dinas diplomatik pada 2011, dengan alasan ia tidak lagi mampu membela pendudukan Israel.
Sejak pensiun, ia menjadi kritikus vokal pemerintah dan pendukung solusi dua negara.
Dia meyakini sanksi baru-baru ini diperlukan, dengan mengatakan: “Begitulah cara Afrika Selatan bertekuk lutut.”
Baruch melanjutkan: “Saya ingin mengatakan bahwa tekanan tegas terhadap Israel dengan cara apa pun yang diyakini Eropa dapat mereka lakukan seharusnya disambut baik.”
Jika perlu, ujarnya, hal ini harus mencakup perubahan pada rezim visa dan boikot budaya, seraya menambahkan: “Saya siap menghadapi penderitaan.”
Tapi, terlepas dari semua ekspresi kemarahan dan pembicaraan mengenai tekanan, beberapa pengamat meragukan Israel berada di tepi jurang diplomatik.
Daniel Levy, mantan negosiator perdamaian Israel, mengatakan upaya untuk mengambil tindakan kolektif do Uni Eropa—membatalkan sejumlah elemen perjanjian asosiasi atau bahkan, seperti yang disarankan beberapa pihak, mengeluarkan Israel dari program penelitian dan inovasi Horizon Uni Eropa—sepertinya tidak akan mendapatkan dukungan yang cukup, karena Jerman, Italia, dan Hongaria termasuk di antara para anggota yang menolak langkah tersebut.
Israel juga masih mendapat dukungan kuat dari AS, dengan Menteri Luar Negeri Marco Rubio mengatakan “hubungan Washington dengan Israel akan tetap kuat” saat ia bertolak untuk kunjungan resmi.
Levy masih yakin bahwa isolasi internasional Israel “tidak dapat diubah”, tetapi mengatakan dukungan berkelanjutan dari pemerintahan Trump berarti Israel belum mencapai titik di mana mereka dapat mengubah jalannya peristiwa di Gaza.
“Netanyahu sudah kehabisan jalan,” kata Levy.
“Tapi kita belum sampai di ujung jalan.”
- Lima negara akan akui kedaulatan Palestina, bisakah ubah situasi di Gaza?
- Pemerintah hendak tampung 2.000 warga Gaza di Pulau Galang – Apakah Indonesia bantu Israel mengosongkan Gaza?
- Indonesia ikut mengecam rencana Israel ambil alih Kota Gaza – Apa yang sejauh ini diketahui?
- Investigasi BBC: Geng motor anti-Islam mengelola keamanan lokasi bantuan di Gaza
- Kelaparan di Gaza terkonfirmasi untuk pertama kalinya, kata badan yang didukung PBB
- Polemik rencana pemukiman E1 Israel yang disebut akan ‘mengubur ide negara Palestina’
- Kisah anak-anak Gaza yang tewas ditembak pasukan Israel di kepala dan dada
- ‘Putri saya adalah cahaya di negeri yang diliputi kegelapan’ – Kisah perempuan yang menjadi ibu untuk pertama kalinya di Gaza
- Lima jurnalis termasuk dari puluhan tewas dalam serangan ganda Israel di rumah sakit
- Bagaimana masa depan Hamas di Gaza dan akankah mereka terus bertahan?
- ‘Warga Gaza ditembaki saat cari bantuan’ – Kesaksian pekerja lembaga distribusi bantuan kepada BBC
- Ancaman bahaya asbes dari puing-puing di Gaza – ‘Sangat, sangat beracun’
- Lima negara akan akui kedaulatan Palestina, bisakah ubah situasi di Gaza?
- Investigasi BBC: Geng motor anti-Islam mengelola keamanan lokasi bantuan di Gaza
- Kelaparan di Gaza terkonfirmasi untuk pertama kalinya, kata badan yang didukung PBB