Polemik Aturan KPU Rahasiakan Data Capres-Cawapres Berujung Dibatalkan

Photo of author

By AdminTekno

Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru-baru ini menjadi pusat perhatian setelah menerbitkan sebuah aturan yang menuai kontroversi luas. Aturan tersebut, yang mengklasifikasikan 16 poin data Capres-Cawapres sebagai informasi yang dikecualikan dari akses publik, sontak menimbulkan polemik sengit. Data-data penting yang dimaksud meliputi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), surat kesehatan, hingga bukti kelulusan berupa ijazah, yang oleh banyak pihak dinilai seharusnya menjadi domain publik.

Gelombang keberatan dari masyarakat dan sejumlah partai politik tak terbendung. Mereka merasa, data-data tersebut esensial bagi publik dan tidak seharusnya dirahasiakan. Merespons kritik tajam ini, KPU akhirnya membatalkan aturan tersebut. Lalu, apa saja poin-poin krusial yang dipertanyakan oleh para pengkritik? Berikut kumparan rangkum.

Komisi II DPR RI Kritik KPU: Publik Butuh Transparansi Data Capres-Cawapres

Salah satu suara kritis paling lantang datang dari Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Ketua Komisi II, Rifqinizamy Karsayudha, dengan tegas menilai bahwa Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025, yang menetapkan dokumen persyaratan Capres-Cawapres seperti ijazah sebagai informasi yang dikecualikan dari akses publik, adalah sebuah kekeliruan fatal. Ia juga mempertanyakan momentum penerbitan keputusan ini yang terkesan janggal, yaitu setelah seluruh tahapan Pemilu 2024 rampung.

“Itu menimbulkan banyak pertanyaan. Salah satunya kenapa keputusan itu baru dikeluarkan tahun 2025, setelah seluruh tahapan pemilu sudah selesai,” ungkap Rifqi dalam keterangannya, Selasa (16/9).

Politikus dari Partai NasDem ini menegaskan bahwa dokumen persyaratan untuk menjadi peserta pemilu, baik itu pemilihan legislatif, presiden, maupun kepala daerah, semestinya dapat diakses secara luas oleh publik. Ia menambahkan, transparansi ini krusial selama informasi yang dibuka bukan rahasia negara atau mengganggu privasi seseorang secara signifikan, sesuai dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik.

“Dokumen persyaratan untuk menjadi peserta pemilu, baik itu pileg maupun pilpres, termasuk pemilihan gubernur dan wali kota, itu adalah sesuatu yang sedapat mungkin terbuka oleh publik,” jelasnya. Rifqi memperkuat argumennya, “Dan itu berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik, mestinya bukan sebagai informasi yang dikecualikan. Kalau tidak bersifat sebagai kerahasiaan negara, dan tidak juga mengganggu privasi seseorang.”

Golkar Pertanyakan Urgensi Kerahasiaan Data Pribadi Capres-Cawapres oleh KPU

Senada dengan Komisi II, Partai Golkar juga turut menyuarakan kritik keras terhadap kebijakan KPU tersebut. Wakil Ketua Umum Golkar, Ahmad Doli Kurnia, secara lugas mempertanyakan urgensi di balik keputusan untuk merahasiakan data-data vital Capres-Cawapres ini. Doli menyoroti waktu penerbitan Peraturan KPU (PKPU) yang dinilai tidak relevan, mengingat Pilpres 2024 telah usai dan fokus kini beralih pada persiapan Pemilu 2029.

“Tentu kita mempertanyakan urgensinya. Kenapa tiba-tiba KPU menerbitkan PKPU. Padahal kan sebenarnya Pilpresnya kan sudah selesai yang 2024 dan kemudian Pilpres berikut itu 2029,” ucap Doli di kawasan Jakarta Barat pada Senin (15/9).

Ia menambahkan, saat ini seluruh elemen masyarakat justru sedang berdiskusi mengenai penyempurnaan sistem politik dan pemilu di Indonesia, yang nantinya akan menjadi acuan untuk Pilpres 2029. Menurut Doli, ke-16 data yang ingin dirahasiakan KPU sama sekali tidak bersifat rahasia atau classified.

“Seharusnya dari 16 data-data itu kan sebenarnya data-data yang sebetulnya tidak classified juga, tidak perlu dirahasiakan juga ya. Apalagi buat seorang Presiden, saya kira kan makin banyak diketahui oleh publik itu kan makin bagus ya sebetulnya,” tegasnya. Dalam era keterbukaan informasi seperti sekarang, mencari data seorang calon presiden bukanlah hal yang sulit, dan transparansi justru menjadi nilai tambah bagi pemimpin publik.

Zulkifli Hasan (PAN): Publik Berhak Mengetahui Informasi Data Capres-Cawapres

Kritik serupa juga dilayangkan oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan. Menanggapi Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 yang mengecualikan dokumen persyaratan Capres-Cawapres, termasuk ijazah dan riwayat hidup, dari akses publik, Zulhas—yang juga menjabat sebagai Menko Pangan—menekankan adanya hak fundamental masyarakat untuk memperoleh informasi tersebut.

Ia memberikan contoh transparansi di kementeriannya, di mana semua informasi dapat diakses oleh siapa pun. “Ya setahu saya ada hak publik untuk mengetahui informasi itu, ya. Seperti di Menko Pangan kan Anda boleh tahu apa aja kan, silakan,” kata Zulhas di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada Selasa (16/9). Dengan nada mempertanyakan, Zulhas juga mendalami esensi kerahasiaan data-data tersebut, “Memang ada yang rahasia?”

KPU Akhirnya Batalkan Aturan Kerahasiaan Ijazah dan Data Capres-Cawapres

Menanggapi derasnya gelombang kritik dan penolakan dari berbagai pihak, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya memutuskan untuk membatalkan aturan kontroversial tersebut. Pembatalan ini diumumkan langsung oleh Afif dalam konferensi pers di Kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (16/9).

“Akhirnya kami secara kelembagaan memutuskan untuk membatalkan Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025 tentang penetapan dokumen persyaratan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan KPU,” tegas Afif.

Afif juga membantah spekulasi bahwa aturan kerahasiaan data Capres-Cawapres tersebut dibuat untuk melindungi pihak atau individu tertentu. Ia menjelaskan bahwa keputusan KPU sebelumnya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), dengan niat untuk berlaku adil dan terbuka bagi semua.

“Sebenarnya keputusan KPU tersebut didasari sama sekali, bukan karena untuk melindungi siapa pun. Peraturan ini dibuat terbuka dan juga dibuat untuk semua,” jelasnya.

Meskipun demikian, setelah menerima masukan konstruktif dari berbagai elemen, aturan tersebut dibatalkan. KPU berkomitmen untuk mengkaji ulang kebijakan serupa di masa mendatang, serta memedomani aturan yang sudah ada terkait pengelolaan informasi dan data.

“Selanjutnya, memperlakukan informasi dan data tersebut, kita memedomani aturan-aturan yang sudah ada sambil kemudian berkoordinasi bagaimana kemudian kalau ada hal-hal yang kita anggap perlu untuk kita lakukan berkaitan dengan seluruh data dan informasi yang ada di KPU, termasuk dokumen-dokumen yang ada di KPU,” pungkas Afif. Ia menegaskan bahwa pendekatan ini tidak hanya berlaku untuk data Pilpres, melainkan juga untuk data-data lain di KPU yang dapat diakses oleh pihak terkait sesuai kebutuhan dan juga ketentuan perundangan yang berlaku.

Leave a Comment