Kita Tekno JAKARTA. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) secara terang-terangan menyatakan kekecewaannya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan tersebut menolak permohonan uji formil terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebuah keputusan yang memicu kritik tajam dari YLBHI.
Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, menegaskan bahwa pihaknya memiliki banyak bukti konkret mengenai minimnya partisipasi DPR dan pemerintah dalam proses penyusunan UU TNI. Namun, Isnur menyayangkan bahwa seluruh fakta tersebut diabaikan oleh para hakim konstitusi. “Kami melihat MK gagal menjadi majelis yang dengan jelas dan jernih melihat permasalahan bahwa sangat banyak fakta-fakta tentang tindakan DPR yang tidak partisipatif dan pemerintah dalam penyusunan UU TNI itu diabaikan oleh MK,” ujarnya kepada KONTAN, Rabu (17/9/2025), menggarisbawahi kegagalan MK dalam meninjau proses legislasi yang esensial.
Isnur juga menyoroti adanya empat hakim konstitusi yang menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Menurutnya, hal ini merupakan indikasi kuat adanya diskusi yang sangat alot dan perdebatan sengit di antara para hakim MK.
MK Tolak Empat Permohonan Uji Formil UU TNI, Apa Saja?
“Empat hakim MK pun melakukan dissenting opinion, ini sebuah pertanda di mana terjadi diskusi yang alot antara hakim-hakim MK dan kami memandang justru empat hakim MK lah yang benar,” ungkap Isnur, menunjukkan keyakinan YLBHI terhadap argumen yang diwakili oleh hakim-hakim tersebut.
Lebih lanjut, Isnur menyampaikan kekecewaan mendalam atas klaim dalam putusan MK yang menyebut YLBHI diundang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). YLBHI secara tegas membantah telah menerima undangan resmi. “Kami jelas menyatakan kami tidak pernah diundang, diundang pun secara informal bersama koalisi dan kami menyatakan tidak bersedia hadir karena diundangnya sehari sebelum pengesahan,” terang Isnur. Ia menilai kejadian ini sebagai bentuk manipulasi dalam proses penyusunan undang-undang. Isnur juga menambahkan bahwa MK dinilai gagal dalam menerapkan prinsip dasar yang mereka sendiri tetapkan, yaitu meaningful participation atau partisipasi bermakna. “MK tidak bisa menjelaskan bahwa dalam putusan UU ini itu terjadi meaningful participation,” imbuhnya, menekankan absennya keterlibatan publik yang substansial.
Revisi UU TNI Digugat ke MK, Begini Isi Gugatannya
Isnur kemudian memaparkan bahwa dampak serius dari UU TNI ini sudah mulai terasa di lapangan. Ia mengamati bahwa TNI kini merasa memiliki legitimasi untuk menjalankan berbagai tindakan di luar ranah pertahanan, seperti menjaga Kejaksaan hingga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). “Jelas sekali undang-undang ini tidak sesuai dengan semangat konstitusi, tidak sesuai dengan semangat reformasi bertentangan dengan reformasi TNI dan juga berdampak serius kepada demokrasi ke depan,” pungkasnya, mengkhawatirkan implikasi jangka panjang terhadap tatanan demokrasi dan reformasi militer di Indonesia.
Sebagai informasi, penolakan gugatan uji formil Undang-Undang TNI (UU TNI) Nomor 3 Tahun 2025 oleh MK didasari pertimbangan bahwa proses perancangan UU TNI telah melibatkan partisipasi publik yang dinilai cukup terbuka. Gugatan yang ditolak ini terdaftar dengan nomor 81/PUU-XXIII/2025 dan diajukan oleh gabungan lembaga, yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipasif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), dan Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Sebelum putusan ini, Mahkamah Konstitusi juga telah menolak empat perkara gugatan uji formil UU TNI lainnya. Adapun keempat perkara yang ditolak tersebut meliputi nomor 45/PUU-XXIII/2025, nomor 56/PUU-XXIII/2025, nomor 69/PUU-XXIII/2025, dan nomor 75/PUU-XIII/2025.
MK Tolak Uji Formil UU TNI, Perancangan Disebut Sudah Membuka Partisipasi Publik
Rangkaian penolakan ini mengukuhkan posisi MK terkait keabsahan proses pembentukan UU TNI.