Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan adanya peningkatan signifikan dalam likuiditas perbankan nasional, menyusul kucuran dana sebesar Rp 200 triliun kepada bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan Bank Syariah Indonesia (BSI). Peningkatan likuiditas ini terindikasi jelas dari kenaikan rasio Alat Likuid (AL) terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) serta rasio Alat Likuid terhadap Non-Core Deposit (AL/NCD).
Dana segar senilai Rp 200 triliun tersebut secara spesifik dialokasikan kepada empat bank Himbara utama, yaitu Bank Mandiri, BNI, BTN, dan BRI, di samping Bank Syariah Indonesia (BSI). Inisiatif strategis ini bertujuan untuk memperkuat fondasi keuangan perbankan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan dampak positif dari langkah tersebut. “Setelah adanya penambahan DPK pada bank-bank BUMN pada 12 September, likuiditas perbankan tercatat meningkat,” ungkap Dian dalam Rapat Kerja OJK bersama Komisi XI DPR RI di Gedung DPR RI, Jakarta Pusat, pada Rabu (17/9).
Data terkini menunjukkan bahwa hingga 12 September 2025, rasio AL/DPK telah merangkak naik menjadi 25,57 persen, sebuah peningkatan dari 24,01 persen yang tercatat pada 4 September 2025. Senada, rasio AL/NCD juga menguat dari 106,92 persen menjadi 113,73 persen dalam periode yang sama. Angka-angka ini secara gamblang merefleksikan posisi likuiditas perbankan yang semakin solid.
Lebih lanjut, Dian turut menyoroti performa positif sektor perbankan pada Agustus 2025. Pertumbuhan kredit mencatat kenaikan sebesar 7,56 persen secara tahunan (YoY), sementara Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh lebih tinggi, yaitu 8,51 persen YoY. Dengan capaian ini, Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan nasional berada di angka 86,03 persen. Angka LDR ini mengindikasikan bahwa perbankan masih memiliki kapabilitas besar untuk terus menyalurkan kredit di masa mendatang, mendukung aktivitas ekonomi secara luas.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah menyampaikan keyakinannya bahwa penempatan dana Rp 200 triliun ini akan memicu efek berganda yang signifikan terhadap perekonomian. Ia mengibaratkan suntikan dana tersebut sebagai “bahan bakar” yang akan mendorong sistem perbankan untuk bekerja lebih agresif dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat dan sektor usaha.
Purbaya juga menarik perbandingan dengan pengalaman serupa di tahun 2021, di mana pemerintah mengambil langkah serupa saat pertumbuhan kredit masih lemah. “Waktu itu pemerintah nambah uang ke sistem kreditnya bisa tumbuh juga,” ujar Purbaya kepada wartawan di Kantor Pusat Dirjen Pajak, Selasa (16/9), menunjukkan pola keberhasilan yang pernah terjadi.
Menurut Purbaya, masuknya dana besar ke sistem perbankan berpotensi menyebabkan penurunan suku bunga simpanan, yang pada gilirannya akan mendorong masyarakat untuk lebih memilih berbelanja atau berinvestasi daripada menabung. Di sisi lain, penurunan potensi suku bunga kredit juga akan memotivasi perusahaan untuk lebih berani mengajukan pinjaman, sehingga siklus ekonomi dapat berputar lebih cepat dan memberikan dorongan kuat bagi pertumbuhan.
Ringkasan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan peningkatan likuiditas perbankan setelah mengucurkan Rp 200 triliun kepada bank Himbara dan BSI. Kenaikan rasio Alat Likuid (AL) terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) dan rasio Alat Likuid terhadap Non-Core Deposit (AL/NCD) mengindikasikan peningkatan tersebut. Dana ini bertujuan memperkuat fondasi keuangan perbankan dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Rasio AL/DPK naik menjadi 25,57 persen dari 24,01 persen, sementara rasio AL/NCD menguat menjadi 113,73 persen dari 106,92 persen. Pertumbuhan kredit tercatat 7,56 persen (YoY) dan Dana Pihak Ketiga (DPK) tumbuh 8,51 persen (YoY), dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) di angka 86,03 persen. Menteri Keuangan meyakini penempatan dana ini akan memicu efek berganda terhadap perekonomian.