Kita Tekno – JAKARTA – Kredit macet di perbankan terus meningkat sejak 2022. Kondisi ini dipicu oleh belum pulihnya sepenuhnya sektor usaha pasca pandemi dan tingginya suku bunga kredit. Fenomena ini dikenal sebagai undisbursed loan, atau kredit yang belum dicairkan oleh debitur.
Sunarsip, Chief Economist The Indonesia Economic Intelligence (IEI), mengungkapkan pertumbuhan undisbursed loan di bank-bank milik negara (BUMN) paling signifikan. Data per Juni 2025 menunjukkan pertumbuhan tahunan (YoY) mencapai 20,90%. “Bank BUMN mencatatkan pertumbuhan undisbursed loan tertinggi,” ujar Sunarsip dalam laporannya, Kamis (18/9/2025).
Pertumbuhan undisbursed loan di sektor perbankan lainnya bervariasi. Bank asing mencatatkan pertumbuhan 8,52% YoY, bank umum 7,07%, dan bank swasta 3,67% YoY. Sebaliknya, Bank Pembangunan Daerah (BPD) mengalami penurunan hingga 26,64% YoY pada periode yang sama.
Sunarsip menjelaskan, tingginya angka undisbursed loan disebabkan oleh lemahnya iklim usaha pasca pandemi dan suku bunga kredit yang masih relatif tinggi. Hal senada juga disampaikan dalam berbagai laporan lain. Kondisi ini mencerminkan sikap tunggu dan lihat (wait and see) dari pelaku usaha, yang juga turut memperlambat pencairan kredit perbankan, seperti yang diungkapkan Bank Indonesia (BI).
Data terbaru menunjukkan, rasio undisbursed loan pada Agustus 2025 mencapai angka fantastis: Rp2.372,11 triliun, atau setara dengan 22,71% dari total plafon kredit yang tersedia. Besarnya angka ini menjadi sorotan, termasuk dari Komisi XI DPR RI dalam rapat kerja bersama Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Wakil Ketua Komisi XI, Dolfie Othniel Frederic Palit, menyoroti penambahan dana pemerintah ke perbankan sebesar Rp200 triliun sebagai beban tambahan, mengingat tingginya angka undisbursed loan yang mencapai Rp2.300 triliun per Juni 2025. Dana tersebut, yang dialokasikan pada Jumat (12/9/2025) oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, dibagikan ke BRI, BNI, Bank Mandiri (masing-masing Rp55 triliun), BTN (Rp25 triliun), dan BSI (Rp10 triliun), ditujukan untuk mendorong pertumbuhan sektor riil.
Dolfie mengungkapkan kekhawatirannya: “Rp2.000 triliun belum bisa dimaksimalkan, masuk lagi Rp200 triliun, malah bikin beban.” Namun, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan bahwa pencairan kredit sangat bergantung pada kondisi makro ekonomi, kebutuhan debitur, dan siklus bisnis. Dia memperkirakan percepatan realisasi kredit akan terjadi pada kuartal IV, sejalan dengan tren historis peningkatan permintaan kredit menjelang akhir tahun.
Ringkasan
Kredit macet di Indonesia mencapai Rp2.372,11 triliun pada Agustus 2025, atau 22,71% dari total plafon kredit. Pertumbuhan undisbursed loan (kredit yang belum dicairkan) di bank BUMN paling tinggi, mencapai 20,90% YoY per Juni 2025, disebabkan oleh lemahnya iklim usaha pasca pandemi dan suku bunga kredit yang tinggi. Kondisi ini membuat pelaku usaha bersikap wait and see, sehingga memperlambat pencairan kredit.
Pemerintah telah memberikan tambahan dana Rp200 triliun kepada beberapa bank BUMN untuk mendorong pertumbuhan sektor riil. Namun, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI mengungkapkan kekhawatirannya karena dana tersebut dianggap menambah beban mengingat tingginya angka kredit macet. OJK memperkirakan percepatan realisasi kredit akan terjadi pada kuartal IV 2025.