Putri Presiden RI ke-2 Soeharto, Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana, atau akrab disapa Tutut Soeharto, secara resmi melayangkan gugatan terhadap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Gugatan ini terdaftar dengan nomor perkara 308/G/2025/PTUN.JKT di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada Jumat, 12 September 2025. Langkah hukum ini menarik perhatian publik mengingat statusnya sebagai salah satu figur penting di Indonesia.
Meskipun Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sempat menyatakan bahwa tuntutan tersebut telah dicabut, per 19 September 2025, perkara ini masih tercatat di laman resmi PTUN Jakarta. Status gugatan itu kini berada dalam tahapan pemeriksaan persiapan, yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada 23 September 2025, menunjukkan bahwa proses hukumnya masih berjalan.
Pokok sengketa dalam gugatan Tutut Soeharto tercantum jelas dalam laman internal Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta. Konflik ini berpusat pada Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 266/MK/KN/2025, yang diterbitkan pada 17 Juli 2025. Keputusan tersebut mengenai pencegahan bepergian ke luar wilayah Republik Indonesia terhadap Siti H. Hardiyanti Hastuti Rukmana dalam rangka pengurusan piutang negara. Menariknya, KMK ini diterbitkan saat Kementerian Keuangan masih di bawah kepemimpinan Sri Mulyani Indrawati.
Menurut gugatan yang diajukan Tutut Soeharto, dalam poin (2) disebutkan bahwa tergugat telah menyatakan penggugat sebagai penanggung utang PT Citra Mataram Satriamarga Persada dan PT Citra Bhakti Margatama Persada. Pernyataan ini didasarkan pada klaim bahwa Tutut memiliki utang kepada negara yang berkaitan dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), sebuah isu yang telah lama menjadi sorotan publik.
Akibat penerbitan Keputusan Menteri Keuangan tersebut, Tutut Soeharto tidak dapat bepergian ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia merasa bahwa larangan ini sangat merugikan dirinya secara pribadi dan secara fundamental mencederai kepentingan hukumnya sebagai warga negara, terutama karena aktivitasnya di luar negeri.
Menyikapi hal ini, dalam gugatannya, Tutut Soeharto secara tegas menyatakan bahwa klaim utang negara tersebut kepada penggugat adalah tidak berdasar atas hukum. Ia meyakini bahwa dasar hukum yang digunakan untuk menetapkannya sebagai penanggung utang tidak memiliki landasan yang kuat.
Oleh karena itu, Tutut Soeharto menilai Menteri Keuangan telah melakukan perbuatan pelanggaran hukum dengan menerbitkan KMK tersebut. Ia pun memohon kepada pengadilan untuk membatalkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 266 Tahun 2025 yang menjadi dasar pelarangan dirinya bepergian ke luar negeri, demi memulihkan hak-haknya.
Selain pembatalan, Tutut Soeharto juga secara spesifik memohon kepada PTUN Jakarta untuk mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 266 Tahun 2025 itu. Permohonan ini disertai dengan tuntutan agar proses yang memungkinkan dirinya untuk bepergian ke luar negeri dapat segera terealisasi.
Secara lebih lanjut, gugatan tersebut juga memuat permintaan agar pengadilan mewajibkan, menghukum, atau memerintahkan tergugat dalam hal ini Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan untuk mencabut, menghapus, atau mengeluarkan nama penggugat dari basis data pencegahan bepergian ke luar negeri paling lama 14 hari sejak putusan ini diucapkan atau berkekuatan hukum tetap. Tuntutan ini menunjukkan keseriusan Tutut Soeharto dalam memperjuangkan haknya untuk bebas bepergian.
Ringkasan
Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana (Tutut Soeharto) menggugat Menteri Keuangan terkait Keputusan Menteri Keuangan Nomor 266/MK/KN/2025 tentang pencegahan bepergian ke luar negeri. Gugatan ini terdaftar di PTUN Jakarta dengan nomor perkara 308/G/2025/PTUN.JKT dan kini dalam tahap pemeriksaan persiapan yang dijadwalkan pada 23 September 2025.
Inti gugatan adalah penolakan Tutut Soeharto atas klaim utang negara terkait Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjadikannya sebagai penanggung utang PT Citra Mataram Satriamarga Persada dan PT Citra Bhakti Margatama Persada. Ia merasa dirugikan dan menilai pelarangan bepergian ke luar negeri melanggar hukum serta meminta PTUN Jakarta membatalkan keputusan tersebut dan memerintahkan pencabutan namanya dari daftar pencegahan bepergian ke luar negeri.