Kulit ikan arapaima dari Amazon dijadikan tas seharga belasan juta rupiah – Siapa yang diuntungkan?

Photo of author

By AdminTekno

Beberapa tahun lalu, nelayan Pedro Canízio pergi ke Rio de Janeiro, Brasil. Ia terkejut melihat sebuah tas tangan yang terbuat dari kulit ikan hasil tangkapannya dijual seharga lebih dari 5.000 reais atau setara Rp15 juta.

Ikan hasil tangkapannya yang dimaksud adalah pirarucu, atau arapaima, ikan raksasa yang hidup di sungai Amazon. Ikan ini bisa tumbuh hingga lebih dari dua meter dan beratnya bisa mencapai 200 kg. Kulitnya yang tebal dan berpola kini menjadi bahan buruan bagi industri mode internasional.

Dulu ikan ini dianggap terancam punah, tapi spesies eksotis itu kini dianggap sebagai model untuk penangkapan ikan berkelanjutan di Brasil.

Sebagai nelayan yang menangkap, Canízio hanya mendapat sekitar 11 reais atau setara Rp33 ribu untuk tiap kilogram ikan pirarucu. Menurut Canízio, nelayan sepertinya bisa mengumpulkan 3.000 hingga 5.000 reais —setara dengan satu tas tangan di Rio De Janeiro— dari hasil penjualan ikan selama musim tangkap.

Musim tangkap ikan jenis ini berkisar pada Desember hingga Maret atau sekitar empat bulan. Dengan harga jual per kilogram yang disebut Canízio, seorang nelayan baru bisa memperoleh pendapatan setara harga tas mewah tersebut jika berhasil menangkap ikan tersebut dengan berat melebihi 450 kg.

Namun, Canízio menjelaskan, kebanyakan warga di wilayahnya bekerja sebagai nelayan sebagai tambahan dari hasil pertanian. Apabila profesinya sebagai nelayan pun, penangkapan ikan pirarucu ini sebagai tambahan dari jenis tangkapan ikan lainnya.

“Orang-orang di sini hidup sehari-hari, hanya untuk bertahan. Tidak ada yang kaya,” ujarnya.

Meski industri mode telah mengklaim penggunaannya sesuai dengan semangat keberlanjutan lingkungan, persoalannya kini: apakah keberlanjutan lingkungan yang dimaksud juga mencakup keadilan bagi para nelayan atau pekerja yang ada dalam rantai produksinya?

‘Masyarakat pantas mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik’

Beberapa dekade lalu, pirarucu sempat terancam punah karena penangkapan ikan yang berlebihan. Pemerintah Brasil kemudian melarang penangkapan ikan ini pada akhir 1990-an.

Pada 1999, larangan itu dicabut dengan syarat-syarat ketat dari badan lingkungan hidup Brasil, Ibama. Saat ini, hanya 30% dari populasi ikan dewasa yang boleh ditangkap setiap tahun di area tertentu. Sisanya dibiarkan berkembang biak.

Masyarakat lokal diberi izin untuk menangkap pirarucu dengan ketentuan mereka harus berpatroli di danau-danau dan melaporkan penangkapan ikan ilegal.

Pemantauan di area penangkapan yang dilakukan para nelayan ini tidak dibayar atau menerima ganti rugi untuk biaya bahan bakar.

“Dengan penghasilan kecil yang kami dapatkan, kami juga melakukan pengawasan itu,” kata Canízio.

“Manajemen untuk keberlangsungan hidup pirarucu ini berhasil. Yang kurang adalah pengakuan bagi para nelayan. Masyarakat layak mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik,” tambahnya.

Baca juga:

  • Ikan araipama: Predator yang dikhawatirkan jadi ‘monster penguasa’ Sungai Brantas
  • Ikan gabus sangat rakus dan bisa bertahan tiga hari di darat bikin repot pemerintah AS
  • Fenomena alam: Belut listrik di Amazon ‘menyetrum’ mangsa dengan cara mengeroyok

Ana Alice Oliveira de Britto, dari Asosiasi Produsen Pedesaan Carauari (Asproc), yang mewakili 800 keluarga di 55 komunitas tepi sungai menyampaikan sudah sepatutnya masyarakat mulai berlatih mengolah kulit ikan juga selain menjual daging ikannya.

Ia mengakui ada ketidakadilan terkait upah bagi masyarakat di sekitar Amazon tersebut. Apabila tidak diatasi, ia khawatir upaya untuk menjaga lingkungan bisa berubah arah karena penduduk juga butuh biaya untuk hidup.

“Jika aktivitas selama ini tidak memberikan upah yang adil, masyarakat bisa kehilangan sekutu penting dalam konservasi Amazon. Penduduk lokal mungkin beralih ke aktivitas yang merusak lingkungan untuk mendukung keluarga mereka,” ujar de Britto.

Konsultan Fernanda Alvarenga yang merupakan salah satu penulis studi pada 2020 menyimpulkan bahwa keuntungan dari penjualan kulit pirarucu “biasanya tidak menguntungkan para nelayan di garis depan”.

Ia berkata penting untuk menyoroti masalah ini “bukan untuk menghancurkan hubungan komersial, tetapi untuk melihat dengan lebih hati-hati dan sadar pentingnya aktivitas ekonomi ini sebagai strategi konservasi”.

“Kami pernah bergurau, jika pengelolaan pirarucu tidak berhasil sebagai strategi konservasi untuk Amazon, maka tidak ada yang akan berhasil,” ujar Alvarenga.

Bagaimana klaim peduli lingkungan dari para pemilik merek mode?

Dulu, pirarucu adalah makanan pokok dan kulitnya dibuang sebagai limbah. Namun, hal itu berubah ketika para perancang busana mulai menggunakannya sebagai alternatif pengganti kulit sapi. Ini berkaitan dengan kekhawatiran mengenai dampak lingkungan dari produksi kulit sapi.

Langkah alternatif ini membuat beberapa jenama melabeli diri peduli pada isu keberlanjutan dengan melahirkan produk dari kulit pirarucu.

Jenama Brasil, Osklen, yang menjual tas tangan dan sepatu dari kulit pirarucu, mengklaim mereka “menciptakan pendapatan bagi masyarakat di tepi sungai dan membantu melestarikan Amazon”.

Begitu pula dengan jenama asal Kanada, Piper & Skye, yang juga menjual produk serupa. Jenama ini menyatakan misinya adalah “menciptakan produk-produk berkualitas yang dibuat secara berkelanjutan dan etis”.

Perusahaan yang terlibat dalam pembelian dan penjualan kulit pirarucu secara legal mengatakan kepada BBC News Brasil bahwa mereka bertujuan untuk mendukung komunitas nelayan.

Salah satu perusahaan Brasil, Nova Kaeru, bertanggung jawab atas sekitar 70% ekspor pirarucu dan produk turunannya dari negara tersebut.

Perusahaan ini memasok kepada banyak produsen mode, termasuk jenama mewah seperti Giorgio Armani, Dolce & Gabbana, dan Givenchy.

Sebagian besar produksinya juga diekspor ke AS dan Meksiko untuk bahan pembuatan sepatu koboi. Perusahaan tersebut menyatakan barang mewah hanya menyumbang 5% dari penjualan.

Baca juga:

  • Punahnya pari Jawa, spesies ikan laut pertama yang musnah akibat ulah manusia
  • Ikan air tawar di dunia terancam punah, populasinya turun drastis
  • Jantung tertua di dunia ditemukan di dalam fosil ikan prasejarah

Dalam pernyataan kepada BBC, Nova Kaeru mengatakan bahwa perusahaan tidak menetapkan harga material yang diperolehnya, termasuk kulit ikan pirarucu. Harga-harga ini “dinegosiasikan secara lokal antara asosiasi nelayan dan pabrik pengolahan”.

Perusahaan tersebut juga menyatakan harga kulit, per kilogram, lebih tinggi daripada harga daging, Perusahaan itu juga mengklaim jual beli kulit ikan ini “mewakili peningkatan pendapatan nyata bagi komunitas yang terlibat”.

Direktur Komersial José Leal Marques mengatakan bahwa perusahaan berharap di masa depan dapat membantu komunitas mengembangkan kapasitas teknis untuk memisahkan kulit ikan dari daging.

“Peran kami bukan hanya membeli kulit, tetapi berinvestasi di Amazon, melatih pekerja, dan mendukung penangkapan ikan yang berkelanjutan,” katanya.

Mengapa harga produk mode berbahan kulit hewan mahal?

Pendiri jenama Brasil Yara Couro, Bruna Freitas, mengatakan bahwa pirarucu menonjol karena pola uniknya yang sulit ditiru. Selain itu, ikan pirarucu ini merupakan simbol Amazon. “Ini adalah ikan yang telah bertahan dari berbagai tantangan lingkungan.”

Freitas juga mengatakan bahwa perusahaan tersebut bertanggung jawab, saat membeli material ini. Ia menjelaskan pihaknya memperhatikan detil “untuk memahami berapa banyak yang ditangkap, kapan diproses” dan berkomunikasi dengan perusahaan, komunitas, dan koperasi.

“Kami mengenal pemasok kami secara langsung, dan kami berusaha untuk menjaga kehadiran yang sangat aktif,” katanya.

Upaya semacam ini, menurut para ahli, berdampak pada nilai tambah yang berhubungan dengan penentuan harga. Selain itu, pemrosesan yang dilakukan yakni proses pemisahan dan pengolahan kulit ikan juga memberikan sebagian besar nilai tambah.

Sebuah studi pada 2018 oleh organisasi nirlaba Operação Amazônia Nativa (Opan) mencatat bahwa proses pengolahan kulit ikan ini cukup kompleks, yakni melibatkan pencucian, perendaman, pewarnaan, dan pengeringan.

Studi tersebut menemukan sebanyak 95% penjualan kulit pirarucu berasal hanya dari tujuh pabrik pengolahan. Kemudian, hanya 5% melibatkan asosiasi komunitas.

“Bekerja dengan kulit ikan ini sulit dipelajari. Ada banyak teknologi yang digunakan,” kata Cristina Isis Buck Silva, yang mengawasi penggunaan keanekaragaman hayati di Ibama.

Baca juga:

  • ‘Jika sebulan ada 31 hari, maka kami akan bekerja 31 hari’ – Kesaksian para pekerja China di balik merek fesyen Shein
  • Impor pakaian bekas ilegal: Indonesia ‘menjadi penampung sampah’ dan dianggap ‘tidak punya martabat’
  • ‘Instagram rich kid’ dihukum di London karena impor aksesori piton dari Indonesia yang ‘dikuliti hidup-hidup’

Ketika dihubungi oleh BBC, Osklen dan mitra nirlabanya, Instituto-E, mengatakan bahwa “tantangan signifikan” berada pada rantai produksi. Mereka berupaya untuk “memperkuat proyek-proyek yang mempromosikan transparansi dalam rantai ini”.

Desain, manufaktur khusus, logistik, dan biaya lainnya mendorong kenaikan harga produk akhir, kata mereka.

“Masih ada kesenjangan yang signifikan yang hanya dapat diatasi secara efektif melalui kebijakan publik agar rantai awalnya berjalan lancar,” tambah mereka.

Piper & Skye menyatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam penetapan harga atau negosiasi dalam rantai pasokan. Mereka hanya bekerja dengan pemasok tepercaya “yang praktiknya diawasi oleh badan lingkungan Brasil dan yang telah lama mendukung penangkapan ikan berkelanjutan dan komunitas lokal”.

Mereka mengatakan komitmen mitra mereka terhadap sumber daya yang bertanggung jawab “merefleksikan jenis kolaborasi yang kami yakini yaitu yang menghormati baik manusia maupun planet”.

Masalah lain adalah pemantauan penangkapan ikan ilegal dan penjualan pirarucu.

Data Ibama menunjukkan lebih dari 1.000 denda terkait penangkapan ikan dan pengangkutan ilegal ikan tersebut sejak 2000,

Bagaimana membangun industri mode ramah lingkungan dan berkeadilan?

Penggunaan material dari kulit hewan sudah lama dilawan oleh para aktivis. Sejumlah jenama dan desainer ternama seperti Chanel, Stella McCartney, dan Gabriella Hearst telah berupaya mereduksi praktik penggunaan berbagai bagian dari hewan, termasuk kulit ikan, untuk produknya.

Hal ini juga diikuti oleh banyak perancang busana dan jenama. Persoalannya, klaim mode berkelanjutan ini bukan hanya semata-mata menolak penggunaan material dari hewan, pengolahan limbah, dan penggunaan warna alami.

Melampaui teknik produksi, mode berkelanjutan sedang mempertimbangkan kembali ekonomi dasar yang mendasari industri ini. “Hal terbaik yang dapat dilakukan konsumen adalah benar-benar membatasi konsumsi mereka,” jelas Anna Brismar, konsultan mode berkelanjutan dari Green Strategy.

Kendati demikian, Brismar juga menekankan pentingnya jenama memahami mode berkelanjutan ini juga berkaitan dengan ekonomi sirkular yang mendasar. Untuk itu, harus ada jaminan upah yang adil dan waktu kerja yang manusiawi bagi para pekerja di balik produk tersebut. Ini juga termasuk rantai awal dari industri mode, seperti para penyedia bahan atau material yang kemudian diolah menjadi produk mode.

  • Bagaimana kita bisa memperbaiki efek buruk ‘fast fashion’?
  • Tren ‘thrifting’ menjamur, bagaimana dengan dampak lingkungannya?
  • Harga tersembunyi pakaian murah: Eksploitasi buruh dan biaya lingkungan produksi tekstil

Leave a Comment