Cek Fakta: Keracunan MBG Harus Ditutupi,Surat Perjanjian Bocor

Photo of author

By AdminTekno

Kita Tekno – Beredar narasi jika keracunan akibat makanan bergizi gratis (MBG) harus ditutupi.

Bahkan disertai surat perjanjian larangan.

Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S. Deyang menyampaikan klarifikasi terkait surat perjanjian tersebut.

Kini beredar surat perjanjian, mewajibkan penerima manfaat merahasiakan informasi jika terjadi dugaan keracunan MBG.

MBG adalah program pemerintah Prabowo–Gibran untuk memberikan makanan sehat tiap hari bagi anak sekolah, santri, balita, dan ibu hamil guna cegah stunting dan meningkatkan kualitas SDM.

Surat perjanjian yang ditemukan di Kabupaten Blora, itu mencantumkan dua poin yang memicu polemik.

Setelah mengetahui hal tersebut, Nanik langsung berkoordinasi dengan Wakil Kepala BGN Brigjen Pol Sony Sanjaya untuk mengecek surat itu ke seluruh Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia.

Surat perjanjian ini dibongkar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Blora, Jawa Tengah.

DPRD Blora pertanyakan isi perjanjian kerja sama antara satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) dengan pihak penerima manfaat.

Dalam foto yang beredar, terdapat sembilan poin dari surat perjanjian kerja sama antara SPPG dengan pihak penerima manfaat.

Perjanjian juga dibubuhi meterai dan stempel instansi pendidikan.

Pada poin ketujuh, dituliskan kedua belah pihak sepakat apabila terjadi kejadian luar biasa atau force majeure, seperti keracunan, ketidaklengkapan paket makanan, atau kondisi lain yang dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan program ini, pihak kedua berkomitmen untuk menjaga kerahasiaan informasi hingga pihak pertama menemukan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Di Sleman, beredar foto surat perjanjian serupa yang mewajibkan penerima manfaat merahasiakan informasi jika terjadi dugaan keracunan.

Dokumen bertanggal 10 September 2025 itu disebut sebagai perjanjian kerja sama antara Kepala Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dengan penerima manfaat.

Di bagian atas surat tercantum kop resmi Badan Gizi Nasional (BGN). 

Nanik S. Deyang pun menanggapi kabar tersebut.

“Ternyata poin itu tidak ada, tulis yang besar, tidak ada (poin rahasiakan keracunan). Poin yang ada itu hanya bersifat koordinasi untuk distribusi dan pengawasan peralatan atau alat-alat untuk MBG,” tegas Nanik saat dihubungi Kompas.com, Minggu (21/9/2025).

Nanik menegaskan, BGN tidak pernah mengeluarkan surat perjanjian antara SPPG dengan pihak penerima manfaat dengan poin seperti itu.

“Surat itu enggak ada. Surat, poin, apalagi menutupi, enggak ada,” tuturnya.

Nanik menyampaikan, BGN justru sangat terbuka bagi masyarakat yang ingin melapor adanya temuan atau insiden lain yang membahayakan anak-anak.

“Kita terbuka, masa keracunan enggak boleh diberitakan? Boleh dong. Kan kalau ditutup-tutupi, kalau ada masalah bagaimana? Boleh (lapor), terbuka. Kita akan terbuka, transparan,” ucapnya.

Nanik menegaskan kembali bahwa BGN tidak pernah berniat untuk membungkam masyarakat yang ingin melapor apabila terjadi kejadian luar biasa atau force majeure dalam pelaksanaan MBG.

“Jadi bukan membungkam, bukan apa, sama sekali, saya jawab, tidak ada poin itu, dan tidak dilakukan oleh BGN,” imbuhnya.

Nanik berpesan kepada seluruh penerima manfaat untuk segera menghubungi SPPG daerah masing-masing jika ditemukan kasus keracunan.

“Maksudnya biar kita bantu untuk mengambil tindakan ke puskesmas, ke rumah sakit, semua ditanggung negara. Tapi kalau enggak menghubungi SPPG, SPPG enggak tahu,” ucapnya.

Dinilai janggal

Dalam tangkapan layar yang viral di media sosial itu, sejumlah poin dalam surat dirasa janggal.

Satu di antaranya adalah meminta pihak sekolah untuk merahasiakan jika terjadi keracunan dalam program MBG tersebut.

Dalam foto yang viral di media sosial tersebut, ada beberapa poin dalam surat tersebut yang dinilai janggal, salah satunya adalah meminta merahasiakan jika terjadi keracunan.

Total, ada dua dari sembilan poin dalam surat perjanjian ini yang disorot, yakni poin 5 dan 7: 

5. Apabila terdapat kerusakan dan atau kehilangan alat makan (tutup, dan tray tempat makan) Pihak Kedua diwajibkan untuk mengganti atau membayar seharga satu paket tempat makan (Rp80.000,-/pcs) sesuai dengan jumlah kerusakan atau kehilangan.

7. Apabila terjadi Kejadian Luar Biasa/force majeure, seperti keracunan, ketidaklengkapan paket makanan, atau kondisi lain yang dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan program ini, Pihak Kedua berkomitmen untuk menjaga kerahasiaan informasi hingga Pihak Pertama menemukan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kedua belah pihak sepakat untuk saling berkomunikasi dan bekerja sama dengan mencari solusi terbaik demi kelangsungan program ini.

Kedua poin tersebut pun mendapat kritikan tajam dari Ketua Komisi D DPRD Blora, Subroto.

Untuk poin lima terkait ganti rugi alat makan yang hilang, Subroto menilai hal tersebut tidak wajar, apalagi misalnya, disuruh ganti rugi seharga Rp80 ribu per piece meski yang hilang hanya sendok.

Menurutnya, hal tersebut akan memberatkan pihak sekolah.

“Poin lima terkait pergantian piring (ompreng), kalau hilang. Lah, untuk ganti rugi ya ini juga tidak wajar. Misal, ada sendok yang hilang atau peralatan yang hilang itu dendanya sampai Rp80 ribu,” jelas Subroto dalam rapat audiensi pembahasan permasalahan MBG di Kantor DPRD Blora, Kamis (18/9/2025), dilansir TribunJateng.com.

Ompreng MBG adalah wadah makan yang digunakan dalam program Makan Bergizi Gratis untuk membagikan makanan sehat kepada anak sekolah, santri, balita, dan ibu hamil. Penggunaan ompreng dipilih karena praktis, higienis, serta dapat dipakai berulang sehingga lebih ramah lingkungan dibanding kemasan sekali pakai.

Selain menjadi sarana distribusi, ompreng juga menjadi simbol dari program MBG, yang menekankan kebersamaan, kesehatan, dan keberlanjutan dalam upaya meningkatkan gizi masyarakat serta mencegah stunting.

“Bagaimana pihak sekolah yang tetap ngurusi anak-anak sebanyak itu? Andaikan ada (tempat makan) yang hilang, terus (diminta) ganti Rp80 ribu (per ompreng),” tambahnya.

Kemudian, Subroto mengkritik poin nomor 7 di mana pihak sekolah diminta untuk merahasiakan atau tidak diunggah di media sosial, jika ada kejadian luar biasa, seperti keracunan.

Menurutnya, jika dirahasiakan dan harus dibicarakan langsung secara kekeluargaan dengan pihak SPPG, Subroto mempertanyakan siapa yang punya andil untuk berbicara.

Bahkan, ia menyebut program MBG tidak ada pengawasan.

“Kemudian perjanjian yang nomor tujuh, apabila ada semacam komplain, ada keracunan, ada makanan basi, ada makanan yang tidak dimakan dan tidak layak itu tidak diperbolehkan diunggah di medsos, kasarnya seperti itu, tidak boleh difoto. Cukup dibicarakan secara kekeluargaan dengan SPPG,” tutur Subroto.

“Terus kemudian yang bicara itu harus siapa? Ini pertanyaannya. Karena di situ di SPPG tidak ada pengawasannya. Hampir tidak ada karena mereka SPPG itu seolah-olah dia bertanggung jawab langsung kepada BGN pusat,” jelasnya.

 Selain itu, Subroto juga membahas hal lain yang masih terkait dengan program MBG, yakni tugas tambahan guru di sekolah berupa membersihkan alat makan dan mengimbau siswa untuk membawa kotak bekal dengan tujuan membawa pulang sisa sajian MBG yang tidak habis.

Menurutnya, hal tersebut mengesankan seolah pihak SPPG ingin beresnya saja,

“Ini sekolah pihak guru ya diinstruksikan piring atau ompreng harus bersih. Makanya ketika SPPG berdalih bahwa ‘oh makanan selalu habis’ ya habis memang karena dibersihkan oleh guru-guru kelas masing-masing, yang kedua anak-anak diperintahkan oleh wali murid atau guru untuk membawa tempat bekal, untuk membawa sisa-sisa makanan tersebut,” ujar Subroto.

“Sehingga, pihak SPPG seolah-olah tidak punya dosa. Karena makanan habis dan bersih,” paparnya.

Diakui Pihak SPPG

Seusai rapat audiensi ini, Koordinator SPPG Blora Artika Diannita memang mengakui adanya poin-poin dalam surat perjanjian kerja sama tersebut.

Namun, ia menyebut bahwa isi surat perjanjian sudah diperbaiki.

 “Ya, memang dulu awalnya poinnya seperti itu, tapi sekarang sudah ada perbaikan atau revisi dari isi perjanjian sesuai dengan juknis yang terbaru juga,” kata Artika, Kamis, diwartakan Kompas.com.

Artika juga meluruskan soal poin kerahasiaan apabila terjadi kejadian luar biasa dalam pelaksanaan program MBG di sekolah.

“Sebetulnya bukan merahasiakan, tapi kita lapor ke SPPG, lalu SPPG ibaratnya langsung ke pelayanan kesehatan. Ya, kita langsung selesaikan secara internal, salah satunya dengan membawanya ke pelayanan kesehatan,” papar dia.

Dindik Blora Akui Tak Tahu Surat Perjanjian SPPG dengan Sekolah

Sementara itu, Sekretaris Dinas Pendidikan (Dindik) Blora Nuril Huda menyebut bahwa pihaknya (Dindik Blora) mengaku tak tahu soal surat perjanjian kerja sama antara SPPG dengan sekolah.

Ia menyampaikan tidak mengetahui adanya surat perjanjian antara SPPG dengan pihak sekolah tersebut.

“Terkait perjanjian itu kan langsung dengan satuan penerima manfaat. Itu kita belum tahu itu,” kata Nuril, saat ditemui usai rapat audiensi, Kamis.

Lebih lanjut, Nuril menjelaskan beberapa bentuk dukungan terhadap jalannya program MBG.

“Jadi Dinas Pendidikan di sini bentuk dukungan ke MBG itu, satu supporting data di Dapodik. Yang kedua memastikan anak-anak penerima manfaat itu melaksanakan hal-hal yang baik sebelum makan. Contohnya, memastikan bahwa anak-anak sebelum makan, cuci tangan, berdoa dan sebagainya,” jelasnya.

Nuril menyebut Dindik Blora tidak ikut mengawasi terkait jalannya program MBG.

“Enggak mengawasi kita,” ujarnya.

Soal surat perjanjian SPPG dan pihak sekolah ini, kata Nuril, Dindik Blora tidak bisa memberi tanggapan lebih mendalam lantaran belum tahu,

“Kita belum tahu, setelah ini nanti coba kita koordinasikan ke teman-teman satuan, kepala sekolah. Karena selama ini kita memang kaitan MBG itu kepala sekolah,” jelasnya.

Menurut Nuril, perjanjian itu merupakan kesepakatan langsung antara SPPG dan pihak sekolah, tidak melalui Dinas Pendidikan.

“Fungsi kita, supporting data memastikan data anak-anak kita di Dapodik, yang kedua tadi. Kalau terkait perjanjian, itu langsung dengan penerima manfaat,” tegas Nuril.

Leave a Comment