Sekitar 280 ibu-ibu menggelar aksi bertajuk “Kenduri Suara Ibu Yogyakarta” di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat (26/9) sore. Mereka membawa alat masak seperti panci, wajan, hingga centong nasi, lalu membunyikannya secara serentak.
Aksi ini diwarnai orasi, pertunjukan simbolik, hingga pernyataan sikap bersama. Beberapa ibu juga terlihat membawa anak mereka.
Poster dengan berbagai tulisan ikut dibentangkan, di antaranya “Kembalikan Daulat Pangan ke Dapur Ibu”, “Guru Itu Tugasnya Ngajar, Bukan Nyinom Dadakan”, “Masakan Ibuku Lebih Enak”, dan “Butuh Berapa Korban Agar MBG Dihentikan”.
Pegiat Suara Ibu Indonesia Yogyakarta, Kalis Mardiasih, menyatakan aksi ini digelar untuk menyuarakan penghentian program prioritas Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Kami berkumpul di Yogyakarta, para ibu yang terdiri dari sekumpulan ibu rumah tangga, akademisi, seniman, dan ibu-ibu dari berbagai elemen menyuarakan untuk hentikan program prioritas makan bergizi gratis,” kata Kalis di lokasi aksi, Jumat (26/9).
Salah satu peserta aksi, Wasingatu Zakiyah, turut menyampaikan penolakannya. Ia menuturkan para wali murid di sekolah anaknya sepakat tidak menerima distribusi MBG.
“Anak saya yang kelas 6 SD sudah mengerti mengenai proyek makan bergizi gratis ini, belum terima dan kami para wali bersepakat untuk tidak terima (menerima MBG), karena kami sudah terbiasa pihak sekolah kami beri kepercayaan untuk memasak makan bergizi untuk anak,” ujarnya.
Tuntutan Massa Aksi
Dalam pernyataan sikap, massa aksi menyampaikan lima tuntutan:
Menghentikan program prioritas MBG yang dianggap sentralistik dan militeristik.
Meminta pertanggungjawaban presiden, Badan Gizi Nasional (BGN), SPPG, dan dapur penyelenggara MBG atas kasus keracunan yang menimpa ribuan anak sepanjang Januari–September 2025.
Mendesak BGN membentuk tim pencari fakta, menuntut transparansi pengungkapan kasus sesuai mandat UU Kesehatan, serta memberikan hak pemulihan kepada korban.
Pemerintah diminta mengusut praktik rente dan korupsi dalam program MBG yang didanai negara serta menghentikannya.
Mengembalikan peran pemenuhan gizi anak kepada komunitas dan pemerintah daerah.