Makan Bergizi Gratis: Niat Baik, Hasil Buruk? Ini Faktanya!

Photo of author

By AdminTekno

Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang diluncurkan pemerintah pada awal tahun 2025, hadir membawa harapan besar dalam agenda pembangunan sumber daya manusia di Indonesia. Sebagai salah satu kebijakan prioritas nasional, MBG dicanangkan untuk secara signifikan menurunkan angka stunting dan meningkatkan status gizi anak-anak sekolah di seluruh negeri. Dengan sokongan anggaran masif dari APBN, pemerintah menargetkan jutaan penerima manfaat, selaras dengan visi Indonesia Emas 2045 yang menekankan pentingnya gizi dan kesehatan sebagai fondasi generasi muda yang unggul (Bappenas, 2025).

Namun, di balik narasi positif yang gencar digaungkan pemerintah, implementasi program di lapangan justru menyajikan realitas yang miris dan penuh persoalan serius. Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat adanya 4.700 hingga 5.000 kasus keracunan makanan yang terindikasi kuat terkait distribusi MBG. Situasi kian memburuk dengan laporan CISDI (19 September 2025) yang mengungkap 5.626 korban siswa di 17 provinsi, sementara Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI, 21 September 2025) mencatat total 6.452 siswa mengalami keracunan. Data-data ini terang benderang menunjukkan kesenjangan yang sangat serius antara tujuan mulia program dengan kenyataan pahit di lapangan.

Kondisi ini sontak memicu pertanyaan kritis yang menggantung di benak publik: Apakah Program Makan Bergizi Gratis yang lahir dari ambisi luhur pemerintah ini benar-benar menjadi solusi gizi nasional, atau justru perlahan menjelma menjadi eksekusi kebijakan yang celaka, yang berpotensi mengancam kesehatan ribuan anak-anak penerus generasi bangsa?

Akar masalah utama terletak pada persoalan keamanan pangan. Sebuah program berskala nasional yang melibatkan jutaan penerima manfaat seharusnya secara ketat mengikuti standar internasional seperti Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP). Standar ini menuntut kontrol tanpa kompromi, mulai dari pemilihan bahan baku, proses pengolahan, penyimpanan, hingga tahap distribusi akhir. Sayangnya, banyak Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang ditunjuk pemerintah disinyalir tidak memiliki pengalaman maupun kapasitas memadai dalam pengolahan makanan massal. Ini menciptakan celah risiko fatal yang pada akhirnya berujung pada insiden keracunan massal di berbagai daerah, yang tak bisa dianggap remeh.

Respons dan pengawasan pemerintah terhadap insiden ini cenderung minimalis, bahkan terkesan menyepelekan. Kepala BGN, Dadan Hindayana, pernah menyatakan bahwa “Kasus keracunan yang saat ini terjadi masih dalam batas wajar,” dengan argumen bahwa total sajian makanan terindikasi keracunan hanya 4.711 porsi dari 1 miliar porsi yang telah disajikan selama sembilan bulan program MBG berjalan (Tempo, 2025). Pernyataan ini menuai gelombang kritik dan mempertanyakan empati serta objektivitas pemerintah.

Jelas, pernyataan yang berusaha membungkus ribuan kasus keracunan siswa dalam bingkai statistik semata tidaklah sebanding dengan skala permasalahan yang sebenarnya. Keracunan ribuan siswa bukanlah insiden kecil yang bisa diabaikan; sebaliknya, ini adalah bukti nyata adanya kegagalan sistemik dalam manajemen pangan, lemahnya pengawasan mutu, dan cacat dalam kebijakan publik yang seharusnya secara mutlak mengutamakan keselamatan masyarakat di atas segalanya.

Lebih jauh, tata kelola kebijakan MBG memperlihatkan kelemahan serius di berbagai lini. CISDI menilai program ini membutuhkan evaluasi total yang komprehensif. JPPI bahkan menyebut kebijakan ini kontraproduktif terhadap upaya perbaikan gizi, sementara ICW dan KPAI secara terang-terangan menyoroti lemahnya pengawasan serta potensi masalah dalam mekanisme pengadaan yang rawan manipulasi. Kritik-kritik ini secara kolektif mengindikasikan bahwa program dijalankan secara terburu-buru, lebih menonjolkan aspek pencitraan politik ketimbang kesiapan teknis yang matang dan perlindungan konsumen yang seharusnya menjadi prioritas utama.

Ironisnya, dimensi hukum terkait keamanan pangan jelas-jelas dilanggar. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan secara eksplisit menegaskan bahwa pemerintah wajib menjamin tersedianya pangan yang aman, bermutu, bergizi, dan beragam (Pasal 60 & 68). Bahkan, Pasal 86 lebih jauh mengatur bahwa setiap distribusi pangan harus memperhatikan aspek keamanan guna melindungi kesehatan masyarakat dari risiko yang tidak diinginkan. Ini adalah mandat hukum yang tidak bisa dinegosiasikan.

Tidak hanya itu, Peraturan BPOM Nomor 22 Tahun 2018 tentang CPPOB (Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik) juga mewajibkan setiap produsen untuk memenuhi standar higienis yang ketat dalam setiap tahapan produksi. Fakta maraknya keracunan massal yang terjadi di berbagai daerah membuktikan adanya ketidakpatuhan serius terhadap mandat hukum dan regulasi ini, menandakan kegagalan implementasi di tingkat operasional.

Dampak jangka panjang dari kegagalan implementasi MBG ini sangat merugikan dan multi-dimensi. Dari sisi kesehatan, ribuan siswa yang keracunan memperberat beban layanan kesehatan daerah yang sudah ada. Dari sisi pendidikan, siswa tidak hanya kehilangan waktu belajar, tetapi juga berisiko menanggung trauma psikologis yang bisa berdampak jangka panjang. Sementara itu, dari sisi sosial-politik, kegagalan ini secara progresif mengikis kepercayaan publik terhadap program-program pemerintah, sekaligus mengancam legitimasi negara dalam melindungi warganya. Jika tidak segera dievaluasi dan diperbaiki secara serius, MBG berpotensi besar berubah haluan: dari proyek unggulan yang diagung-agungkan menjadi bencana kebijakan publik yang memilukan.

Meskipun Program Makan Bergizi Gratis lahir dari niat mulia untuk memperbaiki gizi anak bangsa dan menurunkan stunting, namun tanpa kesiapan teknis yang memadai, pengawasan yang ketat, regulasi yang jelas, serta penerapan standar keamanan pangan yang sesuai dengan amanat UU No. 18 Tahun 2012 dan pedoman BPOM, program ini justru berubah menjadi “makan berisiko gratis” yang membahayakan. Situasi ini menuntut perhatian serius dari semua pihak.

Solusi yang dibutuhkan tidak bisa lagi sekadar tambal sulam prosedur atau perbaikan minor. Pemerintah harus berani mengambil langkah berani dengan melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap program, mempertimbangkan penghentian sementara di daerah-daerah rawan, melakukan audit independen terhadap seluruh rantai pasok, dan memastikan penerapan standar HACCP serta CPPOB yang ketat di semua lini penyediaan pangan. Dengan cara ini, tujuan mulia dari program ini dapat tercapai secara efektif dan kepercayaan publik dapat dipulihkan. Jika tidak, alih-alih memberikan kesehatan dan masa depan cerah bagi anak generasi penerus bangsa, program MBG ini justru berisiko meracuni masa depan mereka.

Daftar Isi

Ringkasan

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang bertujuan menurunkan stunting dan meningkatkan gizi anak sekolah, justru menuai masalah serius. Laporan dari berbagai sumber mencatat ribuan kasus keracunan makanan yang diduga kuat terkait dengan program ini, menunjukkan adanya kesenjangan antara tujuan mulia dan realitas di lapangan.

Akar masalah utama terletak pada kurangnya keamanan pangan dan pengawasan yang memadai. Tata kelola kebijakan MBG dinilai memiliki kelemahan serius, dan berpotensi melanggar Undang-Undang terkait keamanan pangan. Kondisi ini mengancam kesehatan siswa, serta mengikis kepercayaan publik terhadap program pemerintah.

Leave a Comment