Tentara merampas tanah rakyat secara sistematis saat Tragedi 1965 – Dicap komunis, lahannya dipakai berbisnis

Photo of author

By AdminTekno

Peristiwa kekerasan 1965 yang menargetkan kelompok komunis dan yang terafiliasi dengannya kini genap 60 tahun. Tragedi yang merenggut banyak hal, termasuk kepemilikan tanah, masih meninggalkan trauma mendalam bagi para penyintas.

Wahid baru berusia tujuh tahun ketika Peristiwa 1965 meletus. Kala itu, dia dan keluarganya menempati satu rumah petak di kawasan Perkebunan Panigoran, Sumatra Utara. Dia mengingat masa kecilnya dengan begitu hangat.

Meski pendapatan orang tuanya terbilang kecil sebagai buruh perkebunan, Wahid dan saudara-saudaranya tidak pernah kekurangan sajian di meja makan. Jelang malam, keluarga kecilnya akan berkumpul dan berbagi keriaan.

Mereka menyantap masakan sang ibu yang bahan-bahannya diambil dari kebun kecil di belakang rumah.

Wahid paling suka jika ibunya sudah memasak sayur bayam lengkap dengan lauk-pauk macam tahu atau tempe goreng. Sesekali, Wahid meminta dibuatkan telur mata sapi, yang kelak disambut ibunya tanpa pikir panjang.

Wahid menyebut keluarganya sederhana, tapi itu telah membuatnya merasa penuh.

Sampai 1965 tiba.

Ayah Wahid dibawa dan ditangkap tentara tidak lama selepas Peristiwa 1965 meletus. Dia dituding bagian dari kelompok komunis lantaran, menurut Wahid, “sering berkumpul bersama buruh-buruh perkebunan yang lain.”

Nama ayah Wahid seketika masuk dalam daftar buru pemerintah. Penjara selama tujuh tahun lalu dijatuhkan kepadanya tanpa satu kali pun melewati proses hukum atau peradilan yang layak.

Kehidupan Wahid dan keluarganya langsung limbung.

Wahid berupaya mencerna apa yang terjadi. Ibunya tak henti mengungkapkan kekecewaan dan tak tahu mesti mengadu ke mana.

Bayangan hari-hari tanpa sosok ayah mengintai serta menjadi awan gelap yang seolah terus membuntuti kepalanya.

Meja makan keluarga setelah ini akan sunyi, pikir Wahid.

Belum selesai dia menuntaskan duka, keluarganya harus dihadapkan dengan pengusiran paksa dari kediaman yang mereka rawat sekaligus tempati selama kurang lebih 10 tahun.

“Pihak pemerintahan desa, ditemani tentara, datang ke rumah kami. Mereka meminta dokumen tanah dan kependudukan. Katanya mau diperbaharui,” tutur Wahid kepada BBC News Indonesia saat ditemui di Padang Halaban, Sumatra Utara, awal Agustus lalu.

Sang ibu, karena ketakutan, tidak punya pilihan selain menyerahkan dokumen resmi yang diminta kepada perwakilan desa dan militer, Wahid menambahkan.

Dokumen itu, nyatanya, tidak pernah kembali. Yang Wahid peroleh ialah perampasan lahan oleh negara.

Satu batalion berisikan tentara bersenjata lengkap lalu mendesak keluarga Wahid untuk segera angkat kaki dari lahan tempat rumahnya berdiri.

Luas lahan Wahid kurang lebih seukuran lapangan badminton, yang di dalamnya berisi satu bangunan rumah serta kebun kecil.

Sang ibu sempat melayangkan protes dan dibalas gertakan oleh para serdadu yang menyebut mereka tidak mempunyai hak mendiami rumah itu.

Alasannya: keluarga Wahid tidak memegang dokumen resmi apa pun.

Tak ketinggalan, berdasarkan penuturan Wahid, tentara mengeluarkan ancaman apabila instruksi mereka tidak dipatuhi, maka cap “komunis” bakal ditempelkan ke masing-masing anggota keluarga yang tersisa.

Dengan langkah gontai serta energi yang habis terkuras, dan hawa takut yang menyergap, keluarga Wahid terpaksa mengambil barang-barang yang sekiranya dapat dibawa tangan.

Berjarak sebentar, tentara langsung menghancurkan rumah Wahid.

“Yang digusur tidak hanya keluarga kami saja. Tapi, satu desa kena gusur juga,” kenang Wahid.

Rumah-rumah warga, lanjut Wahid, dirusak oleh tentara. Sementara kebun-kebun yang tumbuh dan dikelola secara mandiri, diratakan.

Situasi tersebut membuat Wahid dan keluarganya pindah ke Gerojokan Pulo, dekat Panigoran dan masih satu area di Labuhanbatu Utara, Sumatra Utara. Kehidupan di sana, Wahid mengakui, amat berat.

Demi menjaga napas nyawa, Wahid bekerja di ladang, kendati usianya kala itu masih sangat belia.

Demi tetap bisa makan sehari-hari, dia mengumpulkan hasil pertanian untuk dijual.

“Ya macam kami ini enggak sekolah lagi. Itulah beratnya. Kami harus bekerja untuk memberi makan kepada adik-adik kami,” tutur Wahid.

Walaupun sudah berpindah tempat tinggal, memori Wahid atas rumah yang dulu terbangun di Panigoran tertancap kuat, begitu pula dengan suasana di sekelilingnya.

Pohon-pohon nan hijau memberi keteduhan. Kebun-kebun kepunyaan warga ditanami berbagai benih buah-buahan.

Sekarang, ladang di Panigoran berubah menjadi perkebunan sawit. Tragedi 1965 membuka jalan bagi korporasi untuk mengeruk profit dari lahan yang dulunya melekat kepada warga.

Apa yang terjadi di Sumatra Utara, rupanya, bukan satu-satunya noktah yang dilahirkan akibat kekerasan 1965.

Bermula dari revolusi agraria

Dosen hukum tata negara dan HAM dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Perdana Wiratraman, menjelaskan penguasaan—okupasi—tanah oleh militer merupakan wajah bagaimana institusi tersebut, dengan peran politiknya, “telah menorobos dominasi politik negara” dalam risetnya bertajuk Politik Militer dalam Perampasan Tanah Rakyat (2008).

Menurut Herlambang, keterlibatan militer dalam persoalan tanah kerap berujung konflik lantaran dibarengi dengan kekerasan atau pemaksaan yang berpola.

Konflik agraria yang menonjolkan aksi militer, tambah Herlambang, tidak dapat disederhanakan sebagai “tindakan negara” lantaran karakter militer—struktur dan ideologi—memungkinkan mereka untuk menjadi entitas politik yang otonom.

Sebelum turun secara aktif di tragedi 1965, klaim Herlambang, militer sudah memiliki riwayat dalam perampasan tanah warga.

Hasil penelitian Herlambang membagi persinggungan militer dan penguasaan tanah menjadi tiga babak periodisasi.

Periode pertama muncul pada 1950 sampai 1958—yang dikenal dengan masa revolusi kemerdekaan dan perang darurat militer.

“Kalau pada 1950-an itu karena militer tidak suka dengan diplomasi sipil yang tunduk pada cara-cara berdiplomasi dengan pencuri, maksudnya Belanda, sehingga militer mengambil alih [lahan-lahan penduduk],” ujarnya saat diwawancarai BBC News Indonesia.

Ketidakcocokan militer dengan sipil beriak tidak lama setelah hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) disepakati pada 1949. Militer menggambarkan keputusan KMB sangat kompromistik.

Militer sendiri, pada dasarnya, tidak menghendaki upaya perundingan untuk mempertahankan kemerdekaan dari tangan Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. Dari situ, kecurigaan pun mengiringi langkah relasi antara dua kelompok ini.

Balik ke masalah pertanahan, pada masa ini, Herlambang mengutarakan, “banyak sekali tanah-tanah rakyat yang diserahkan kepada tentara” sebab “hubungan rakyat dan tentara cukup baik dan dipengaruhi semangat mempertahankan kemerdekaan.”

Tak hanya tanah, rakyat, terutama di wilayah pedesaan, berkontribusi dalam menyediakan akomodasi berupa makanan sampai jasa menjadi mata-mata untuk memberikan informasi posisi serdadu-serdadu Belanda.

Semua, mengutip riset Herlambang, dilakukan secara sukarela agar cita-cita revolusi 1945 tercapai.

“Dan [periode] yang kedua itu terjadi setelah 1958 menuju 1965. Konteksnya adalah nasionalisasi lewat Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958.”

“Dalam benak masyarakat, dengan nasionalisasi, mereka bisa menduduki tanah-tanah yang dulunya dikuasai Belanda. Karena warga merasa ini negara merdeka,” jelas Herlambang.

Nah, tiba-tiba undang-undang nasionalisasi justru membuat keadaan berbalik. Bukan warga yang mengklaim tanah itu, tapi perusahaan negara yang mengambilnya, termasuk militer.”

Harold Crouch, melalui bukunya, The Army and Politics in Indonesia (1978), memaparkan nasionalisasi yang dijalankan pemerintah telah menawarkan kesempatan bagi tentara untuk mengurusi sektor ekonomi.

Crouch menyebut para perwira Angkatan Darat mengelola perusahaan-perusahaan baru yang bergerak di sektor perkebunan, pertambangan, perbankan, hingga perdagangan.

Memasuki 1960, peran tentara diperluas dengan kewenangan mengawasi korporasi-korporasi asing yang masuk.

Dengan begitu, mengutip analisa Crouch, tidak sebatas fungsi militer yang semakin lebar, tapi juga kekuatan politik mereka yang menguat.

Pada masa ini, kepentingan tentara ditopang sistem politik yang berlaku, di bawah model Demokrasi Terpimpin yang ditancapkan Sukarno.

Tentara, ujar Crouch, cukup puas dengan pemberlakuan Demokrasi Terpimpin karena tidak mengusik garis batas yang mereka buat, tidak terkecuali dalam persoalan tanah.

Sementara bagi Sukarno, keberadaan tentara—Angkatan Darat—merupakan modal penting dalam memelihara keamanan dari berbagai gelombang kelompok pemberontak yang tidak puas dengan kemudi pemerintahannya, di samping alat mewujudkan tujuan politik luar negerinya.

Atas nama nasionalisasi, tentara seperti meraup legitimasi untuk menguasai tanah-tanah yang dinilai berpeluang menjadi aset mereka.

Herlambang memberi contoh dengan terbitnya aturan militer yang melarang pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya (1958). Pedoman ini lantas menjadi landasan dalam praktik perampasan lahan.

Konstelasi politik berubah memasuki dekade 1960-an, dengan tiga kekuatan utama berada dalam pusaran kekuasaan: Sukarno, militer, serta Partai Komunis Indonesia (PKI).

“Kemudian yang ketiga, gelombang yang ketiga ini gelombang yang saya sebut sejak 1965.”

“Peristiwa 1965 itu membuat tanah-tanah rakyat, dalam jumlah yang sangat besar itu, banyak beralih ke militer maupun diserahkan ke perusahaan negara maupun perusahaan swasta,” tandas Herlambang.

Setelah Peristiwa Madiun 1948, militer melihat PKI dengan penuh prasangka, apalagi kekuatan mereka cenderung mengalami peningkatan pada 1950-an saat masuk ke empat besar Pemilu 1955. Perolehan suara mereka hanya kalah dari PNI, Masyumi, serta NU.

Di bawah kepemimpinan D. N. Aidit, PKI fokus kepada pengorganisasian massa buruh—utamanya petani, merujuk pengamatan Ruth McVey yang tertuang dalam Nationalism, Revolution, and Organization in Indonesian Communism (1996).

Aidit berpandangan kelompok tani merupakan massa yang mendominasi di Indonesia sekaligus menjadi subjek utama sumber daya agraria: tanah.

Bersama kelas pekerja, Aidit percaya, eksistensi massa petani yang terorganisir adalah elemen krusial untuk partai dalam membangun ideologinya.

PKI, perlahan, mendekati Barisan Tani Indonesia (BTI), organisasi tani terbesar waktu itu, agar bersedia berpadu ke dalam satu gerbong yang sama. Keduanya lantas berjalan berdampingan, menyerukan “revolusi agraria.”

Revolusi agraria, kurang lebih, menginginkan para petani kecil dapat menguasai tanah untuk digarap.

Dengan semangat anti-feodalisme dan anti-imperialisme, tanah—baik perkebunan maupun kehutanan—tidak semestinya dimiliki perorangan atau pihak-pihak asing—para pemodal.

Negara, dalam perspektif revolusi agraria, wajib menyediakan tanah kepada petani dan kemudian melindunginya.

Apa yang dituntut PKI, sebetulnya, telah menjadi perhatian rezim Sukarno. Pada 1959, bertepatan peringatan 17 Agustus, dalam pidatonya, Sukarno berujar betapa petani harus dibebaskan dari segala bentuk penghisapan, selain menutup kehadiran para tuan tanah yang berlaku culas.

Implementasi dari gagasan tersebut dituangkan ke Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), setahun berselang, pada 1960.

Beleid ini, pendek kata, hendak mengukuhkan sekaligus memperluas akses kepemilikan tanah kepada seluruh rakyat Indonesia di bawah payung landreform—atau reforma agraria.

Namun, sejak pertama kali diberlakukan, program landreform tidak benar-benar terpenuhi sesuai tujuannya, demikian tulis sejarawan Andi Achdian dalam Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreform pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965 (1996).

Pemicunya yaitu resistensi dari pemilik tanah sampai lemahnya pengawasan dari negara.

Keadaan itu mendorong baik PKI maupun BTI mengerahkan massa untuk menempuh apa yang disebut sebagai “aksi sepihak,” sebuah gerakan merebut, mengambil, dan meminta lahan yang sudah disewakan, digadaikan, atau dijual para tuan tanah.

Di Kediri, Jawa Timur, PKI dan BTI memobilisasi massa untuk menolak pemindahan lahan perkebunan yang telah digarap para petani maupun buruh tebu.

Demonstrasi ini berlangsung cukup masif dan dibarengi dengan kekerasan: sekitar enam orang tewas serta belasan lainnya luka-luka. Publik mengingatnya, kelak, sebagai “Peristiwa Djengkol”—merujuk pada lokasi aksi sepihak di Perkebunan Djengkol.

Pindah ke Sumatra Utara, tepatnya di Bandar Betsy, PKI dan BTI juga tercatat melakukan aksi sepihak untuk merebut lahan perkebunan karet.

Sedangkan di Sulawesi Selatan, seruan menguasai lahan-lahan yang menempel kepada tuan tanah disambut oleh para petani. Tidak sedikit efek aksi sepihak ini berujung saling serang antara petani—BTI—dan tuan tanah.

Aksi sepihak menambah pelik penerapan landreform di lapangan. Di sisi yang lain, militer kian terganggu oleh kelompok komunis sebab aksi sepihak turut menyenggol kepentingan-kepentingan lahan yang bertalian dengan tentara.

PKI, di mata tentara, menjelma sebagai ancaman politik lantaran basis massa di pedesaan serta perkotaan yang berkembang menanjak dan signifikan.

Kedekatan dengan Sukarno selepas ideologi Nasakom—Nasionalis, Agama, dan Komunis—dicetuskan membuat posisi PKI sangat menguntungkan, klaim tentara.

Kecenderungan militer untuk tidak menyukai PKI terpupuk sejak Peristiwa Madiun 1948, ketika kelompok Kiri berusaha menggoyang republik yang baru saja merdeka, papar profesor sejarah di University of Amsterdam, Saskia Wieringa.

Usai Peristiwa Madiun 1948, militer menganggap PKI pengkhianat.

Saskia menambahkan hubungan tajam antara dua front itu, militer dan PKI, dipengaruhi pula oleh situasi geopolitik saat Perang Dingin bergejolak.

Amerika Serikat tidak ingin komunisme menancapkan pasak kuasanya di Indonesia. Mereka kemudian membangun sekutu bersama militer guna mencegah komunisme berkembang.

“Dengan memperkuat tentara, Amerika Serikat, diwakili CIA, organ intelijennya, berharap tentara tersebut akan menjadi kekuatan penyeimbang yang sangat kuat terhadap Sukarno, yang didukung oleh PKI,” terang Saskia.

“Karena mereka khawatir Sukarno akan membawa Indonesia ke blok komunis. Itu ketakutan besar mereka dan menjadi latar belakang dari banyak peristiwa kemudian,” ujar Saskia.

“Dan itu adalah awal dan dasar, fondasi, kebencian antara kedua kelompok tersebut.”

Pada Agustus 1965, sebagaimana ditulis akademisi Jess Melvin dalam The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (2018), Sukarno mengungkapkan pembentukan “Angkatan Kelima” atau tentara rakyat—berdasarkan versi PKI ialah buruh dan tani yang dipersenjatai.

Tujuan “Angkatan Kelima” adalah penambahan kekuatan guna menunjang kampanye konfrontasi dengan Malaysia. Militer tak sepakat dengan inisiatif ini karena dirasa tidak akan efektif.

Kegelisahan lainnya, apabila kelompok PKI diberi wewenang mengangkat senjata, maka jalan kekuasaan sangat mungkin terbangun begitu mulus—lalu melumatkan daya gebrak tentara.

Alhasil, ketegangan antara PKI dan tentara dalam hubungan meraih pengaruh bertambah tajam dan berpuncak pada 1965 lewat pembunuhan para perwira Angkatan Darat.

Militer memainkan narasi bahwa PKI menjadi dalang atas peristiwa itu sehingga tidak ada langkah balasan selain pemberangusan semua yang berkaitan dengan komunisme.

Melvin menyatakan sebetulnya militer adalah aktor di balik prahara 1965.

Rencana mengudeta pemerintahan Sukarno, menurut Melvin, telah disiapkan jauh-jauh hari dengan, misalnya, konsolidasi struktur komando teritorial dan khusus—seperti Kostrad atau RPKAD.

Lalu, tentara terbukti pula melakukan pelatihan kepada warga dalam rangka mengganyang PKI.

“Para pimpinan TNI tak ingin terlihat sebagai aktor yang memulai kudeta. Sukarno dan PKI terlalu populer pada masa itu,” jelas Melvin.

“Sebaliknya, seperti dijelaskan John Roosa [penulis Pretext for Mass Murder, 2006] TNI berharap mampu menciptakan sebuah keadaan yang dapat dimanfaatkan sebagai ‘dalih’ agar militer bisa membungkus tindakan-tindakannya sebagai pertahanan diri.”

Dalih yang dimaksud berupa penculikan dan penghilangan nyawa jenderal-jenderal kunci di TNI, termasuk Ahmad Yani yang kala itu menjabat Panglima Angkatan Darat.

Yang terjadi berikutnya, seperti kita tahu, adalah naiknya Soeharto ke pucuk kekuasaan sekaligus menandai dimulainya rezim yang dia beri identitas: Orde Baru.

Di tangan Orde Baru, operasi perburuan terhadap orang-orang Kiri—dan simpatisannya—digalakkan secara masif melalui rantai komando yang diturunkan dari pusat ke daerah, tutur Melvin.

Empat wilayah, mulai dari Sumatra, Jawa, Kalimantan, serta Indonesia Timur, menjadi saksi operasi penumpasan.

Melvin menambahkan militer membunuh dan menangkapi orang-orang yang punya keterkaitan dengan PKI, baik secara langsung atau tidak.

Tak jarang, militer melibatkan elemen sipil atau organisasi masyarakat (ormas) dalam menyelesaikan misi yang nantinya tercatat sebagai genosida politik terburuk abad 20 itu.

Tidak cuma nyawa, militer ternyata juga menargetkan tanah.

Merebut tanah dari tangan-tangan ‘merah’

Kebijakan landreform pada 1960-an diterapkan supaya ketimpangan penguasaan tanah mampu diperbaiki.

Petani-petani kecil, yang dianggap tergusur oleh para tuan tanah maupun perusahaan asing, diharapkan—dengan landreform—bisa “berdiri di atas kaki sendiri,” seperti yang senantiasa digaungkan Sukarno.

Tragedi 1965, menurut antropolog dan peneliti senior dari Agrarian Resource Center (ARC), Dianto Bachriadi, mengubah peta yang ada.

Tanah, sebagai objek landreform, dinilai militer merupakan bagian dari ideologi PKI yang sudah dipersepsikan antagonis, pembangkang, atau momok pemerintah.

Oleh sebabnya, negara, dalam hal ini diwakili militer, memiliki keleluasaan untuk “menarik kembali”—atau dengan kata lain merampasnya dari penduduk.

“Kepentingan tentara untuk menguasai tanah-tanah, sebenarnya, sudah muncul sejak era 1950-an, bertepatan kebijakan nasionalisasi,” ujar Dianto.

“Pada 1965, ada satu kesempatan politik yang besar sekali untuk tentara menguasai lebih banyak lagi tanah itu, baik tentara per individu atau kesatuan.”

Sasaran tentara, Dianto meneruskan, ialah tanah-tanah yang berlokasi di lahan landreform, atau justru objek landreform itu sendiri. Bentuknya dapat berwujud tanah milik individu, hasil redistribusi agraria, atau skala besar seperti perkebunan.

Dalam praktiknya, tentara—bekerja sama dengan aparat pemerintahan desa—meminta penduduk menyerahkan dokumen kepemilikan tanah dari landreform. Jika tidak bersedia, mereka akan diberi label PKI.

Kerja tentara lebih mudah ketika tanah-tanah tersebut sudah berada pada keadaan kosong setelah pemiliknya diringkus aparat lantaran dituduh bagian dari kelompok komunis.

“Yang tanah kosong ini karena pemiliknya sudah dikirim ke Pulau Buru [penjara dan pengasingan] atau sudah menghilang karena, sebagai contoh, terlibat BTI [Barisan Tani Indonesia],” tutur Dianto.

Riset dosen hukum tata negara dan HAM dari Universitas Gadjah Mada, Herlambang Perdana Wiratraman, menjelaskan militer yang disokong organisasi teritorialnya di daerah membagi mereka yang bersinggungan secara langsung atau tidak dengan PKI ke dalam tiga klasifikasi.

Klasifikasi pertama, Golongan A, berisikan mereka yang dituding di balik Gerakan 30 September 1965. Kelompok kedua, atau Golongan B, memuat orang-orang yang dituduh aktif mendukung PKI. Sementara yang terakhir, Golongan C, merupakan anggota organisasi massa PKI.

Dari ketiga golongan ini, mengutip penelitian Herlambang, klasifikasi Golongan C berdampak hebat kepada para petani di pedesaan karena mereka dipandang militer beririsan dengan BTI.

Banyak petani, baik anggota BTI maupun bukan, yang ditahan, disiksa, dibunuh, dan diambil paksa tanahnya.

Setelah dirampas, tanah-tanah milik petani dan penduduk desa yang sebagian besar hasil landreform ini disertifikasi ulang oleh militer. Pola-pola demikian muncul di banyak daerah, merentang dari Sumatra hingga Jawa.

Penelitian bertajuk Kekerasan Kemanusiaan dan Perampasan Tanah Pasca-1965 di Banyuwangi (2018) yang disusun Ahmad Nashih Luthfi memperlihatkan perampasan lahan di Banyuwangi terjadi dan berpusat di tanah-tanah yang sebelumnya dibagikan untuk landreform.

Di Kecamatan Gambiran, misalnya, tanah objek landreform yang dirampas tentara dan pemerintahan desa luasnya mencapai lebih dari 300 hektare.

Hal yang sama dapat disaksikan di Kecamatan Pesanggrahan dengan tanah sebesar hampir 400 hektare.

Aksi perampasan tanah dibarengi penciptaan teror oleh militer, pejabat desa, sampai pemerintah daerah, tulis Luthfi.

Tidak sedikit pula penguasaan tanah landreform di Banyuwangi juga disertai pemenjaraan dan pembunuhan massal.

Di Kecamatan Pesanggaran, ambil contoh, sebanyak 111 orang meninggal dalam operasi penghancuran PKI oleh militer pada akhir 1965. Luas lahan yang diambil tentara, di kecamatan ini, adalah lebih dari 300 hektare.

Pembantaian ratusan orang yang dituduh mendukung PKI didorong pula faktor bahwa pemilih PKI di Pesanggaran merupakan yang terbesar se-Banyuwangi (hampir 20 ribu orang).

Bergeser ke Kecamatan Gambiran, sekitar 2.500 warga dituding bagian dari PKI. Jumlah korban tewas, menurut penelitian Luthfi, tidak ditemukan datanya, tapi diyakini tidak sedikit.

Pasalnya, analisis Luthfi, militer menyisir Gambiran untuk mencari serta membalas aksi sepihak yang beberapa waktu sebelumnya ditempuh massa PKI maupun BTI.

Luas tanah yang dicaplok militer di Gambiran mencapai 317 hektare, mengutip penelitian Luthfi.

Pemandangan tidak jauh berbeda ditemukan di Kalibaru. Di daerah ini, ribuan orang—di atas 1.500—ditangkap dan dibunuh, selain “sejumlah besar tanah objek landreform yang dirampas,” Luthfi menerangkan.

Menurut riset Luthfi, Banyuwangi adalah salah satu titik “merah” di Pulau Jawa karena banyak warga yang bersimpati dan mendukung PKI.

Pada 1964, posisi PKI di Banyuwangi termasuk mentereng, berjejer di tiga besar partai politik dengan massa yang militan—bersama PNI dan NU.

Dari segi implementasi landreform, Banyuwangi, masih merujuk makalah Luthfi, menyumbang 1,6% terhadap angka nasional—atau 4,8% di Jawa Timur.

Secara kuantitatif, landreform di Banyuwangi dijalankan terhadap kepemilikan tanah kelebihan maksimum sebesar lebih dari 1.000 hektare, disusul setelahnya tanah absentee (tanpa tuan) di angka 153,5 hektare serta tanah bekas perkebunan atau tanah negara seluas 3.681,6 hektare.

Sampai 1964, tanah yang berhasil didistribusikan ulang di Banyuwangi hampir 5.000 hektare dengan petani yang menerimanya berjumlah 13.781 orang.

Catatan itu, agaknya, sudah cukup bagi militer untuk menjadikan Banyuwangi sebagai salah satu daerah utama di Jawa yang harus dibersihkan dari kelompok komunis beserta anasir-anasirnya.

Peristiwa aksi sepihak yang digerakkan massa terafiliasi PKI dan BTI guna menuntut kelancaran landreform semakin memantapkan militer dalam upaya memburu orang-orang Kiri—dan kemudian merampas tanah mereka.

Militer bergerak dengan mendatangkan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Operasi dilangsungkan tidak sebatas menerjunkan pasukan, melainkan menggandeng kelompok sipil yang dilatih serta dipersenjatai—dikenal sebagai paramiliter.

Perampasan tanah secara terstruktur meletus juga di Indramayu, Jawa Barat. Mengacu pada penelitian Hilma Safitri, Pro dan Kontra Pelaksanaan Program Land Reform dan Peristiwa 1965 di Desa Soge, Indramayu (2018), tanah milik 130 warga diambil paksa oleh otoritas.

Menurut penelitian tersebut, pemerintah desa, beserta aparat, merupakan kelompok yang tidak menyukai kebijakan redistribusi tanah. Pasca-1965, mereka memperoleh momentum untuk menggasak tanah hasil landreform.

Puluhan warga, setiap harinya, dipanggil ke kantor pemerintahan desa. Di sana, aparat militer telah menunggu. Warga diminta memberikan surat kepemilikan tanah. Yang menolak, ditahan selama tiga hari dan dihajar.

Di Desa Soge, Indramayu, aparat, tidak ketinggalan, menyebarkan ketakutan kepada warga. Cara yang dipakai ialah penekanan narasi “anggota PKI” dengan tujuan mereka bersedia menyerahkan tanahnya.

Di samping menargetkan mereka yang tergabung dalam PKI, aparat turut menyasar orang-orang yang tidak memiliki garis hubungan dengan kelompok Kiri. Belasan orang tercatat dikriminalisasi membawa embel-embel organ massa PKI seperti Pemuda Rakyat serta BTI.

Hasilnya “cukup efektif,” tulis Hilma dalam penelitiannya. Provokasi dan pemaksaan aparat membikin warga tidak mempunyai banyak ruang kecuali memberikan pegangan legal mereka atas tanah ke otoritas.

Penyematan label “komunis,” dalam pandangan peneliti senior dari Agrarian Resource Center (ARC), Dianto Bachriadi, selalu diproduksi ketika militer merampas tanah-tanah rakyat pada 1965.

Propaganda militer yang menempatkan PKI sebagai dalang di balik kudeta terhadap pemerintah membuat posisi mereka tak ubahnya “musuh negara.”

Pemberian label komunis kerap diikuti dengan penguasaan tanah.

Dosen hukum tata negara dan HAM dari UGM, Herlambang Perdana Wiratraman, menyebutkan bahwa setidaknya ada tiga cara atau model yang digunakan untuk memanfaatkan tanah-tanah yang disita tersebut.

Pertama, militer menyerahkan tanah yang dirampas kepada negara—dalam hal ini BUMN—untuk dikelola sebagai aset perkebunan negara.

“Misalnya, kasus di Ngerangkas Pawon, Badeg, Bapatan, dan Sata, ini empat desa di Kediri, itu [tanahnya] diserahkan ke PT Perkebunan Nusantara XII di Kediri, Jawa Timur,” ucap Herlambang.

Kedua, tanah hasil perampasan dipakai militer untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, baik untuk kepentingan bisnis maupun fasilitas penunjang kesatuan.

Herlambang menjelaskan bahwa di wilayah pesisir selatan Pulau Jawa, termasuk Lumajang, Blitar, dan Ponorogo, tanah sitaan sering kali dimanfaatkan untuk tujuan bisnis.

Lahan-lahan tersebut diubah menjadi perkebunan tebu yang pengelolaannya diserahkan kepada koperasi-koperasi militer.

Nah, kalau fasilitas militer itu tergantung [luas lahan]. Kalau kecil, rumah, itu jadi markas koramil. Ada juga [tanah] yang dipakai untuk pusat latihan tempur,” imbuh Herlambang.

Ketiga, tanah-tanah rakyat yang diambil militer dilepaskan kepada perusahaan swasta melalui pemberian fasilitas Hak Guna Usaha (HGU).

Modus operandi semacam ini ditemukan di Padang Halaban, Sumatra Utara.

Usai Peristiwa 1965 meletus, militer, menurut penelitian Dianto, melakukan operasi penyisiran sekaligus penguasaan tanah-tanah warga yang berada di area perkebunan setempat. Militer menangkapi warga, menuding mereka sebagai anggota BTI, serta mengambil paksa tanahnya.

Bagi warga yang tidak terlibat aktivitas politik, militer memanipulasi mereka dengan meminta dokumen kepemilikan tanah; berdalih bahwa pemerintah desa membutuhkannya untuk pembaharuan. Kenyataannya, dokumen warga tidak pernah kembali.

Tanah warga seketika diklaim, dan bagi yang melawan tentara mempunyai amunisi berwujud pelabelan komunis sehingga menyiutkan nyali mereka yang memberontak—karena kekerasan merupakan reaksi yang dapat timbul setelahnya.

Tidak lama usai tanah berhasil dicaplok, tentara dan negara menyerahkannya kepada perusahaan kelapa sawit dan karet bernama Plantagen Aktiengeschllschaft (Plantagen AG).

Totalnya menyentuh 5.000 hektare—dengan 3.000 hektare, sebelumnya, diurus dan ditempati warga.

Penyerahan tanah ini bisa dibaca sebagai upaya rezim militer Soeharto mewujudkan agenda-agenda pembangunan yang propasar.

Salah satu titik balik yang fundamental adalah saat Orde Baru menandatangani Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) Tahun 1967—hanya berjarak kurang dari lima tahun pasca-1965.

Undang-undang tersebut, akhirnya, menggeser corak ekonomi Indonesia sekaligus membuka pintu bagi korporasi besar, pemodal, bahkan pemburu rente untuk saling berebut peluang profit yang ditawarkan Soeharto.

Profesor sejarah di University of Amsterdam, Saskia Wieringa, bilang pencaplokan lahan—atau kapital—oleh militer pada 1965 sangat berkelindan dengan bagaimana kekuasaan Soeharto dan Orde Baru disusun.

Tanah yang direbut paksa dari rakyat memanfaatkan propaganda komunis merupakan bekal Soeharto dalam memasang tali ikat kepada para pemodal penopang imperiumnya.

Setelah militer melapangkan karpet baginya untuk merebut kekuatan dari Sukarno (Orde Lama), rencana Soeharto berikutnya ialah mengatur ekonomi, papar Saskia.

Ketika dia sudah memegang perekonomian, “masyarakat mampu dikendalikan,” tambahnya.

“Soeharto sendiri sangat menyadari bahwa jika dia ingin mempertahankan kekuasaan, dia harus membangun sekelompok pengusaha kaya raya di sekitarnya yang nantinya akan membiayai proyek-proyeknya sekaligus memastikan tentara tetap kuat,” tegas Saskia yang terlibat dalam penulisan buku Propaganda and the Genocide in Indonesia: Imagined Evil (2018).

“Jadi, kekuasaan ekonomi dan politik telah, setidaknya sejak saat itu, sangat erat terjalin di Indonesia.”

Herlambang menambahkan perampasan lahan oleh militer setelah tragedi 1965 berjalan begitu dahsyat sebab, menurutnya, “militer punya posisi yang sangat kuat di masa rezim otoritarian Orde Baru.”

Posisi yang superior itu “membuat terjadinya akselerasi proses perampasan,” tegas Herlambang.

“Tidak mungkin di masa itu melakukan perlawanan terhadap institusi-institusi militer, bahkan terhadap personal-personal militer secara individu.”

“Karena saya temukan juga sejumlah kasus bahwa rumah [warga] itu bisa berganti hanya karena pemilik rumahnya dituduh PKI. Selanjutnya diambil sama militer.”

Warisan 1965: Cap komunis terhadap warga yang memprotes kepemilikan lahan

Seniman, warga pesisir Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah, berusia 52 tahun, mempercayai tanah yang dia tinggali sekarang merupakan warisan keluarga yang diturunkan temurun. Prinsip ini diyakini juga oleh mayoritas masyarakat yang hidup di 15 desa lainnya.

Walaupun peninggalan keluarga, upaya untuk melindungi lahan secara hukum turut dilangsungkan sejak 1950-an dengan harapan di masa depan tidak terjadi konflik yang tidak diinginkan.

Namun, warga di Urut Sewu keliru.

“Kalau kami lihat, mereka, pada 1998, mengklaim 500 meter dari bibir pantai. Pada 2007, mereka mengklaim 1.000 meter dari bibir pantai,” jelas Seniman.

“Kemudian pada 2009, mereka balik lagi ke 500 meter dari bibir pantai.”

“Mereka” yang dimaksud Seniman di sini bukan sembarang pihak: tentara TNI Angkatan Darat (AD).

Hubungan TNI AD dan tanah di Urut Sewu dapat dilacak setidaknya mulai 1970 dan 1980-an tatkala mereka membangun sejumlah fasilitas seperti kantor koramil (komando rayon militer) sampai lokasi uji coba senjata.

Waktu itu, warga di Urut Sewu tak keberatan berbagi tempat lantaran TNI meminjam tanah dari masyarakat.

Akan tetapi, pada 1998, TNI AD disebut melakukan pemetaan secara sepihak terhadap tanah seluas 500 meter dari bibir pantai—memanjang 22 kilometer dan melewati 15 desa—untuk lokasi latihan. TNI AD menyatakan area tersebut adalah milik mereka.

Rencana pembangunan infrastruktur penghubung bernama Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) kian menguntungkan militer.

Dalam rencana itu, Seniman mengungkapkan, “tidak boleh ada bangunan dan kegiatan apa pun kecuali yang dilakukan TNI.”

“Padahal, di selatan dan utara rencana JJLS itu adalah sumber penghasilan petani di Urut Sewu,” tutur Seniman.

Pemanfaatan lahan di Urut Sewu oleh TNI AD tidak cuma untuk latihan. Pada 2008, Kodam IV/Diponegoro menerbitkan surat persetujuan pengelolaan tanah untuk penambangan pasir besi. Izin diberikan kepada satu perusahaan yang kursi komisarisnya diisi jenderal TNI berbintang.

Warga di Urut Sewu semakin kecewa dan menolak klaim kepemilikan TNI maupun rencana penambangan pasir besi. Masyarakat mendesak TNI AD menunjukkan dokumen yang menyatakan TNI AD berhak atas tanah di Urut Sewu.

Izin persetujuan pemanfaatan untuk tambang pasir besi sendiri pada akhirnya dicabut. Tapi, penghapusan izin itu tak serta merta menghalau konflik TNI AD dan warga Urut Sewu.

Aksi tentara yang memagari lahan sepanjang 2013 sampai 2019, sebagai contoh, dikritik masyarakat setempat lantaran menjauhkan upaya pencarian solusi terhadap masalah yang ada.

Belum reda betul, per 2021, Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah mengeluarkan sertifikat hak pakai untuk TNI AD di sembilan desa.

Pihak Kodam IV/Diponegoro membantah kalau tanah di Urut Sewu milik warga. Mereka menegaskan lahan yang dikelola untuk fasilitas militer adalah peninggalan kolonial yang diserahkan kepada negara—sebelum diturunkan ke TNI.

Kodam IV/Diponegoro berdalih pertikaian di antara warga dan TNI mengenai lahan di Urut Sewu merupakan hasil dari provokasi dan berita hoaks.

Perjuangan warga Urut Sewu mempertahankan tanahnya tidaklah mudah, dan tidak jarang mesti beradu dengan kekerasan.

Organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu HAM, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), mencatat dugaan adanya tindakan represif tentara terhadap warga di Urut Sewu pada 2011.

Dalam insiden tersebut, sebanyak 14 orang dilaporkan mengalami luka-luka.

Empat tahun berselang, pada 2015, peristiwa serupa terulang dengan empat warga terluka akibat dugaan kekerasan oleh personel TNI AD. Kesamaan dari dua kejadian itu, sebut ELSAM, terduga pelaku tidak pernah diusut.

Selain kekerasan fisik, warga mendapat tekanan berupa intimidasi narasi “komunis.” Menurut Seniman, banyak warga Urut Sewu diancam sebagai “anggota PKI” agar tidak memprotes kepemilikan lahan oleh tentara.

“Mereka [tentara] bilang kepada warga bahwa kalau mempertahankan tanah itu seperti [anggota] PKI,” kenang Seniman.

Seniman menambahkan bahwa tentara juga menyebarkan narasi yang menuding PKI sebagai partai yang “tidak nasionalis dan religius.”

Propaganda dan “serangan” semacam ini, kata Seniman, tak bisa dimungkiri membuat sebagian warga ketakutan. Akibatnya, mereka yang tadinya gigih menolak klaim kepemilikan lahan oleh tentara akhirnya memilih bungkam.

Pemberian label komunis menjadi taktik umum untuk membungkam masyarakat yang terlibat dalam konflik agraria. Pasca-1965, militer secara konsisten menggunakan pendekatan ini untuk mengamankan kepentingan dan hegemoni mereka, termasuk di isu pertanahan.

Bahkan setelah Orde Baru runtuh, taktik “antek komunis” masih digunakan untuk mencap warga yang dianggap “membangkang.”

Apa yang dialami warga Urut Sewu dirasakan pula oleh warga Banyuwangi, kendati tak bersinggungan langsung dengan militer.

Delapan tahun yang lalu, rencana eksplorasi dan penambangan emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, mendapat penolakan dari warga setempat.

Mereka cemas aktivitas pertambangan berpotensi melahirkan bencana ekologi—satu di antaranya adalah banjir.

Demonstrasi pun ditempuh, meminta izin pertambangan dicabut demi keberlangsungan kehidupan masyarakat Tumpang Pitu. Salah satu pemimpin aksi penolakan ini adalah Budi Pego, yang sangat vokal menentang tambang emas.

Budi Pego kemudian ditangkap dengan tuduhan menyebarkan ajaran komunisme di muka umum setelah aparat menemukan spanduk berlogo palu arit saat dia sedang aksi.

Keberadaan spanduk tersebut, bagi kelompok sipil dan lingkungan, dianggap sebagai salah satu bentuk framing atau pembentukan opini publik.

Keberadaan spanduk itu, menurut kelompok sipil dan lingkungan, merupakan bentuk framing.

Budi Pego lalu dijerat pasal tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Usaha pengajuan banding sempat dilaksanakan hingga tahap kasasi dan ditolak Mahkamah Agung.

Vonisnya diperberat menjadi empat tahun penjara—dari semula 10 bulan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Banyuwangi. Eksekusi kepada Budi Pego baru dilakukan pada Maret 2023.

“Saya bilang [Tragedi] 1965 itu mengubah lanskap. Maksudnya karena dipelihara oleh rezim stigma PKI-nya itu. Itu yang membuat konflik tanah atau konflik agraria hari ini itu mewarisi situasi perampasan tanah di masa 1965,” terang dosen hukum tata negara dan HAM dari UGM, Herlambang Perdana Wiratraman.

Pengalaman pahit serupa dihadapi oleh masyarakat adat Nangahale di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sejak 1990-an berjuang merebut kembali tanah adat yang diklaim keuskupan gereja Katolik di Maumere.

Perusahaan milik Keuskupan Maumere diberikan izin Hak Guna Usaha (HGU), mencakup tanah ulayat yang diyakini terikat dengan masyarakat adat Nangahale.

Sejarah perlawanan masyarakat adat Nangahale diwarnai reaksi berwatak peminggiran, melingkupi kekerasan, persekusi, sampai penyematan “orang komunis.”

Kini, pelabelan komunis kepada warga, dalam konteks konflik agraria, cenderung ditinggalkan pemerintah, menurut Herlambang.

Dia menyebut arus informasi yang jauh lebih mudah diakses ketimbang, katakanlah, era Orde Baru berkontribusi atas referensi sejarah yang beragam dengan substansi melawan narasi utama dari pemegang kekuasaan.

“Juga karena memang PKI sudah dihabisi, dan secara kultur, secara sosial, memang [masyarakat sekarang] enggak terhubung,” tandasnya.

Kedaulatan tanah di bawah kekuatan militer

Dominasi militer yang begitu gagah pada masa rezim Orde Baru turut kena tebas bertepatan dengan jatuhnya Soeharto, 1998.

Tuntutan agar tentara dikembalikan ke barak—sesuai fungsinya, pertahanan—mencuat sebagai jantung transisi dari otoritarianisme ke demokrasi, dikenal sebagai Reformasi.

Langkah mengurangi kekuatan militer tidak sepenuhnya enteng ditempuh dan kerap terbentur kebutuhan politik para aktor yang memangku jabatan, menurut sejumlah riset.

Pada masa pemerintahan Joko Widodo—pemegang tongkat eksekutif selama 10 tahun hingga 2024—peran militer diangkat kembali, bersanding dengan kepolisian, mengacu kajian berjudul “Jokowi consolidates influence over TNI as elections loom” (2023) yang digarap Muhammad Haripin dan Adhi Priamarizki.

Jokowi, yang berambisi menggenjot perekonomian melalui serangkaian agenda pembangunan, memerlukan “stabilitas,” dan tentara—bersama polisi—dianggap mampu menyediakan hal tersebut.

Potret pembangunan era Jokowi bertumpu pada Proyek Strategis Nasional (PSN). Visi dari kebijakan ini ialah mengatasi ketimpangan infrastruktur supaya tidak terpusat. Sayangnya, implementasi PSN dikritik karena justru melahirkan konflik dengan warga.

Data yang dihimpun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengekspos terjadinya 154 konflik akibat PSN sepanjang 2020 sampai 2024. Sebanyak 103.000 keluarga terdampak.

Konflik PSN disumbang dengan perampasan lahan, di samping pelibatan aparat keamanan—tentara dan polisi—dalam meredam gejolak penolakan di masyarakat, menurut KPA.

Akademisi dari UGM, Herlambang Perdana Wiratraman, beranggapan konflik PSN kurang lebih bernuansa sama dengan perampasan lahan pasca-1965. Yang membedakan, menurutnya, cuma alat gebuknya.

“Kalau sekarang, enggak perlu PKI, cukup PSN. PSN itu sama saja; sama-sama menghajar dan merepresi,” ucapnya.

Lebih jauh, Herlambang mengatakan, dalam konfigurasi politik agraria, tidak terkecuali PSN, militer memainkan peran yang sentral sebagai representasi negara.

Peran militer sebagai kepanjangan tangan struktur besar ini membuat relasi kuasa tentara dengan objek di hadapannya seperti timpang, menurut Herlambang.

Konsekuensinya, militer seolah diberi karpet merah untuk melakukan “pengamanan” atau “penertiban” yang kemudian termanifestasi lewat berbagai tindakan kekerasan demi kelancaran PSN.

Perampasan lahan yang diiringi parade kekerasan oleh militer adalah cermin pantulan hasil turunan sejarah panjang dari perjalanan militer itu sendiri, ucap antropolog dan peneliti senior Agrarian Resource Center (ARC), Dianto Bachriadi.

“Kalau ada konflik agraria, konflik tanah, tentara pasti paling depan karena itu sudah menjadi pattern mereka. Mereka punya sejarah, mereka punya kepentingan,” tutur Dianto.

Mengutip data KPA, militer muncul di 37 kasus kriminalisasi dan kekerasan dalam konflik agraria selama 2024. Di luar itu, militer bersemuka secara terang-terangan dengan warga terkait klaim kepemilikan tanah.

Pada periode yang sama, klaim-klaim militer terhadap lahan pertanian dan permukiman masyarakat telah berandil dalam menetaskan letupan konflik sebanyak enam kali, merujuk laporan KPA.

Konflik berlangsung di atas lahan seluas lebih dari 1.000 hektare dan menyeret ratusan kepala keluarga.

Pemerintahan Jokowi sudah tutup buku dan estafet diteruskan Prabowo Subianto—yang berlatar belakang militer.

Belum genap setahun pemerintahannya berlangsung, peran militer dipandang publik begitu menjalar. Dari sektor pangan, merembet ke obat-obatan, hingga menggagas rencana penempatan personel di area perkebunan—utamanya mengamankan kelapa sawit.

Tidak berhenti di situ, kekuatan militer juga ditambah dengan lahirnya kodam-kodam (komando daerah militer) baru.

“Ini yang dilakukan Soeharto, bukan? Saat ini, kekuatan birokrasi, kekuatan ekonomi, kekuatan politik, dan kekuatan militer semuanya digabungkan saat ini, dan mereka saling memperkuat,” tutur profesor sejarah di University of Amsterdam, Saskia Wieringa.

Sementara antropolog Dianto Bachriadi berpandangan perjuangan warga untuk membentengi tanah mereka dari praktik perampasan berpeluang terjal. Pasalnya, di era Prabowo, pengerahan militer kian menyeluruh.

“Ada kelonggaran-kelonggaran tertentu untuk militer dalam menghadang upaya-upaya masyarakat merebut kembali hak-hak mereka [soal tanah]. Ini juga, di waktu yang sama, sebagai bentuk, cara, menyeimbangan kekuatan polisi,” ucap Dianto.

BBC News Indonesia telah menghubungi Pusat Penerangan (Puspen) TNI untuk meminta konfirmasi terkait sejarah perampasan lahan pasca-1965 dan konflik agraria yang melibatkan militer sebagai aktor.

Hingga liputan ini diterbitkan, mereka belum memberi balasan.

Pada kesempatan terpisah, TNI, dalam merespons konflik agraria, pernah mengaku bakal mengedepankan penanganan yang bersifat kolaboratif, yang direalisasikan dengan menggandeng partisipasi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Di Urut Sewu, Kebumen, Jawa Tengah, yang jauh dari hiruk pikuk kekuasaan, Seniman, warga yang melawan pencaplokan lahan oleh militer, meminta komitmen seutuhnya dari pemegang wewenang.

Berkaca dari pengalaman warga, Seniman mengaku lebih banyak menyimpan keresahan daripada kepastian.

“Masyarakat ini terlihat lemah ketika berhadapan dengan kebijakan pemerintah,” jelasnya.

“Masyarakat ini lemah di hadapan alat negara.”

Ini adalah seri pertama “Konflik lahan dan Tragedi 65”. Seri kedua berjudul Tragedi 1965 dan perampasan tanah di Padang Halaban – ‘Tanah rakyat diambil tentara dengan memanfaatkan sentimen PKI’ bisa Anda simak Selasa, 29 September 2025.

  • ‘Rumah kami dirampas paksa’ – Korban Peristiwa 1965 menuntut pemulihan aset keluarga
  • Suara-suara keluarga korban pembantaian massal 1965-1966 di Bali – ‘Jika bapak saya PKI, tetap saja dia tidak boleh dibunuh’
  • Pembantaian massal 1965-1966 dan kuburan-kuburan tanpa nama di Bali
  • Hantu-hantu ‘Toko Wong’ dan pembantaian massal 1965-1966 di Bali – ‘Ratusan orang ditembak senapan mesin’
  • Pengakuan anak-anak ‘algojo’ pembantaian 1965-1966 di Bali – ‘Bapak membunuh pentolan komunis, tapi adiknya dibantai karena dukung PKI’
  • Tarian Genjer-Genjer kembali ditampilkan – ‘Saya mengenalkan Genjer-Genjer bukan pada politik, tapi seni yang sebenarnya’
  • Penantian panjang keluarga korban Peristiwa 65 di Palu – ‘Ayah dituduh PKI, langsung ditangkap dan dipenjara’
  • ‘Pikiran saya tak bisa beranjak dari petaka 1965’ – Anak petinggi PKI menanti jawaban di mana ayahnya dikuburkan
  • 1965: Pemerintah Indonesia didesak ‘menulis ulang sejarah’ peristiwa kekerasan 1965-1966 – ‘Beri tempat kepada suara korban yang selama ini dibungkam’
  • Peristiwa G30S 1965, penumpasan PKI, dan hari-hari sesudahnya
  • ‘Saya selalu berdoa, kapan bertemu ibu’, kisah Francisca Fanggidaej dan tujuh anaknya ‘terpisah’ sejak G30S
  • Dokumen rahasia AS soal Peristiwa 1965 diungkap, TNI ‘tak akan ubah sejarah’
  • Soeharto ‘koordinir’ operasi pembantaian 1965-1966, sebut dokumen
  • ‘Sebagai Muslim, kami tidak boleh memelihara dendam’, kisah cucu Musso dan kerabat kiai ‘korban PKI Madiun 1948’
  • Tragedi 65 dalam lagu, film dan ‘berbagi ingatan’ lewat media sosial – ‘Kita semua korban propaganda Orde Baru’
  • Dokumen rahasia Amerika: AS mengetahui skala pembantaian tragedi 1965
  • Peristiwa 65: Mengapa pernyataan eksil ‘bukan pengkhianat negara’ diprotes dan picu kemarahan sejumlah eksil?
  • ‘Kakek saya disembelih, dan kepalanya diarak di Takengon’ – Jejak kekerasan 1965 di Tanah Gayo dan ikhtiar penyembuhan
  • Seni tradisional Sandur yang distigma PKI, tapi dirindukan dan diperjuangkan – ‘Melihat Sandur, ya melihat diri kita’
  • ‘Tembak dan kuburkan saya, supaya anak-anak bisa berziarah’ — Thaib Adamy dan pembunuhan massal 1965 di Aceh
  • ‘Dosa turunan’ dicap PKI, keluarga penyintas 65 masih mengalami diskriminasi: ‘Jangan bedakan kami’
  • Perempuan dan propaganda terhadap Gerwani, ‘Stigma belum hilang sekalipun mereka sudah tidak memberi label lagi’
  • Cerita empat penyintas 1965 yang ‘diasingkan’ di kamp khusus tapol perempuan Plantungan
  • ‘Madiun 1948 adalah tragedi, saya minta maaf’, upaya rekonsiliasi ‘tokoh PKI’ dan kerabat pesantren di Magetan
  • Kisah anak algojo PKI di Blitar selatan yang mendampingi penyintas kasus 1965: ‘Saya minta maaf’
  • Peristiwa G30S 1965, penumpasan PKI, dan hari-hari sesudahnya
  • Tionghoa Indonesia dalam pusaran peristiwa 65: Pengalaman, kenangan dan optimisme generasi muda
  • Penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR dan wacana gelar pahlawan nasional, penyintas HAM berat: ‘Itu sebuah penghinaan. Dia bukan pahlawan tapi penjahat’
  • G30S: Sandur, seni tradisional yang distigma PKI kini bangkit setelah sempat terkubur
  • Seni tradisional Sandur yang distigma PKI, tapi dirindukan dan diperjuangkan – ‘Melihat Sandur, ya melihat diri kita’
  • Bertemu tiga penyintas Tragedi 1965 saat Indonesia memilih presiden baru
  • Eksil korban peristiwa 1965: Apa kaitan mereka dengan label PKI sehingga tidak diakui sebagai WNI?
  • Eksil ditawari kembali menjadi warga negara Indonesia – ‘Kalau ditawari dwikewarganegaraan saya mau’
  • Propaganda Orde Baru di balik acara Cerdas Cermat dan Kelompencapir?
  • Tentara duduki kampus, mahasiswa dikirim ke Nusakambangan, hingga larangan baca buku Pramoedya – Tujuh hal yang perlu diketahui tentang NKK/BKK pada era Orde Baru
  • Pasang surut gerakan mahasiswa dan kebijakan depolitisasi kampus pada masa Orde Baru
  • Aktivis menolak tambang emas di Banyuwangi ‘dicap komunis’, dipenjara setelah kasusnya ‘digantung’ empat tahun – mengapa pegiat lingkungan ‘harus dilindungi’?
  • Mahasiswa dihukum karena buku kiri: ‘Paranoid akibat ketidaktahuan’
  • Razia buku: Mengapa buku-buku berhaluan kiri menjadi sasaran?
  • G30S: Sejarah Gerwani, propaganda dan stigma yang melekat padanya
  • Apakah relevan mengaitkan Peristiwa 65 dan Pemberontakan PKI di Madiun 1948?
  • ‘Tembak dan kuburkan saya, supaya anak-anak bisa berziarah’ — Thaib Adamy dan pembunuhan massal 1965 di Aceh
  • ‘Mereka adu domba kami’ – Masyarakat adat Solidaritas Merauke deklarasi menolak Proyek Strategis Nasional
  • Militer dilibatkan dalam proyek Food Estate di Merauke, masyarakat adat ‘ketakutan’ – ‘Kehadiran tentara begitu besar seperti zona perang’
  • ‘Lihat langsung hutan, hak dan kehidupan kami direbut paksa’ – Masyarakat adat Merauke minta pelapor khusus PBB datang ke Papua
  • ‘Pemerintah gadaikan keselamatan masyarakat’ – Prabowo perluas peran TNI di ranah sipil, tanda kembalinya ‘dwifungsi ABRI’ ala Orde Baru?
  • Siapa Prabowo Subianto, politisi ‘darah biru’ dengan masa lalu kelam yang bakal memimpin Indonesia?
  • Di balik retorika ‘waspadai kekuatan asing’ ala Presiden Prabowo Subianto – ‘Prabowo adu domba warga dengan warga’

Leave a Comment