100 Tahun Pramoedya Ananta Toer: Menyalakan Minke: Dari Blora ke Köln

Photo of author

By AdminTekno

Dari sel sunyi Pulau Buru hingga panggung sastra di Köln, suara Pramoedya Ananta Toer tak pernah padam. Di Jerman, karya-karyanya masih dianggap relevan dengan siuasi terkini. Ia dianggap pembuka jalan sastra ke Jerman.

”Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barang kali buta huruf pula ? God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri. Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat semacam itu terhadapku. Mengapa harus aku lakukan untuk orang lain? Sambar geledek!”

Pekikan kata-kata Minke, tokoh utama karya Pramoedya Ananta Toer, dalam buku Bumi Manusia, menggema dalam ruangan Melanchthon-Akademie di Köln, Jerman, pada tanggal 27 September 2025.

Dalam acara literatur “Die Feder ist stärker als das Schwert” (Pena Bulu Lebih Kuat dari Pedang), untaian percakapan Minke dengan tokoh-tokoh lain dalam buku itu dibacakan dengan penuh penghayatan oleh Albert Klütsch, seorang aktivis HAM Jerman sekaligus pegiat literatur.

Albert membawa hadirin menengok kembali realitas keras yang melingkupi masyarakat Indonesia di masa lampau, yang masih terasa hingga kini. Ia memaparkan, “Tulisan-tulisan Pramoedya mampu menangkap atmosfer tradisi yang masih menggambarkan masyarakat patriarki pada pergantian abad, namun masih relevan hingga sekarang.”

Misalnya suara Minke yang merasa terhina dan dipermalukan oleh ayahnya sendiri, menurut Albert, “adalah sesuatu yang sebenarnya biasa terjadi di mana-mana dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia di bawah pemerintahan militer.”

Karl Mertes dari Deutsch-Indonesische Gesellschaft (DIG) Köln, organisasi yang menyelenggarakan acara ini, menambahkan, “Karya-karya yang ditulis oleh Pramoedya masih sangat relevan hingga sekarang, karena mengangkat begitu banyak sisi kemanusiaan yang dituangkan lewat tulisan.” Ia mengingatkan bahwa karya Pramoedya bukan hanya sastra, melainkan refleksi mendalam atas sejarah dan kehidupan bangsa Indonesia. Secara hati-hati pada tahun 1980-an saat masih bekerja sebagai editor dan pegawai pemerintahan yang melatih produksi televisi, ia mewawancarai Pramoedya.

Sementara, perjumpaan Albert Klütsch dengan Pramoedya bermula dari pekerjaan di Amnesty International (AI) yang membawanya melakukan investigasi pelanggaran hak asasi manusia terhadap tahanan politik di Pulau Buru. “Setelah Pramoedya dibebaskan pada tahun 1979, saya berkesempatan bertemu dengannya secara langsung pada 1981,” ujarnya, “dan pertemuan itu membuka jalan bagi penerbitan terjemahan karya-karya Pramoedya ke bahasa Jerman.”

Penulis pertama Indonesia yang diterbitkan ke bahasa Jerman

Sabine Müller, penerjemah sekaligus pengkaji sastra Indonesia, menegaskan pentingnya peran Pramoedya dalam memperkenalkan sastra Indonesia ke Jerman. “Bumi Manusia diterjemahkan ke bahasa Jerman dengan judul Garten der Menschheit,” katanya. “Ia penulis pertama Indonesia yang bukunya diterjemahkan ke bahasa Jerman. Tulisan-tulisannya selalu dekat dengan kemanusiaan. Menurut saya, lewat kalimat-kalimatnya, ia bisa menciptakan dunia yang sangat hidup.”

Namun kehadiran Pramoedya di tanah air saja masih sering terabaikan, ujar Isrol Medialegal, seniman mural asal Indonesia yang ikut hadir dalam acara, berbagi pengalaman dan keprihatinannya. “Di Blora sendiri sebagai tanah kelahirannya Pram, masyarakat pun juga banyak yang belum tahu,” ujarnya. “Saat kami melukis mural dengan kutipan-kutipannya di dinding, mereka bahkan bertanya, ‘Siapa itu Pram?’” Isrol percaya bahwa melalui mural, “orang mendapat pengetahuan dan berlangsung percakapan atau diskusi informal dengan seniman, mengapa karya-karya Pram itu penting.”

Martina Heinschke, pegiat literatur yang menjadi pembicara kunci dalam acara literatur di Köln menyoroti bahwa buku-buku Pramoedya adalah “refleksi mendalam mengenai kejadian-kejadian sejarah di Indonesia.” Namun, ia menggarisbawahi ironi pendidikan di Indonesia saat ini: “Di Indonesia, ketertarikan terhadap sejarah agak kurang. Chairil Anwar mungkin masih dikenal, tapi pada umumnya para pelajar hanya tahu nama penulis dan judul buku, tanpa membaca untuk mendiskusikannya.” Di Jerman, anak-anak sekolah kini bukan hanya diminta untukk mendiskusikan karya-karya sastrawan Jerman saja, melainkan juga buku-buku dari para penulis asing.

Pena lebih kuat daripada pedang

Diskusi dalam acara literatur “Die Feder ist stärker als das Schwert” kemudian mengalir pada sosok-sosok penting lainnya dalam sastra Indonesia, yakni Sutan Takdir Alisjahbana, Mochtar Lubis, dan Sitor Situmorang. Keempatnya menjadi pilar penting dalam membangun khazanah sastra Indonesia di tengah pergolakan politik.

Tahun 1933 Sutan Takdir Alisjahbana mendirikan dan menerbitkan majalah Poedjangga Baroe bersama-sama dengan Amir Hamzah dan Armijn Pane. Ia menampilkan beberapa tulisan yang berorientasi pembaruan ala Barat, sebuah pemikiran yang menjadi kontroversial karena dianggap “elitis” dan agak jauh dari akar budaya tradisional.

Sedangkan Mochtar Lubis dalam karya-karyanya menolak ideologi yang mengekang kebebasan berpikir. Karya-karyanya, seperti “Senja di Jakarta” dan “Harimau! Harimau!”, bukan cuma kritik sosial tapi juga peringatan ideologis agar sebuah bangsa tidak terjebak dalam siklus penindasan dan ketidakadilan. Pada masa Orde Lama di bawah Presiden Sukarno, dia sempat dipenjara karena dianggap mengancam stabilitas politik lewat tulisan-tulisannya yang kritis. Dia juga mengalami tekanan dan penahanan selama Orde Baru, terutama karena keberaniannya mempertahankan kebebasan pers dan melawan sensor.

Dikutip dari ragam literatur, pada periode 1950–1965, terjadi perttentangan dalam dunia kebudayaan Indonesia antara kubu Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) dan penandatangan Manifes Kebudayaan (yang kerap dijadikan ejekan oleh kaum LEKRA dengan sebutan Manikebu- kotoran kerbau). LEKRA mendorong apa yang mereka sebut sebagai politik kebudayaan revolusioner, yakni gagasan bahwa semua seniman dan sastrawan harus berpihak kepada rakyat, proletariat, dan cita-cita revolusi sosial. Bagi mereka, seni bukanlah sesuatu yang netral atau bebas nilai — namun harus menjadi alat perjuangan kelas. Di sisi lain, Manikebu menolak gagasan ini. Mereka menyatakan bahwa seniman harus memiliki kebebasan moral dan intelektual, dan menolak subordinasi sastra terhadap ideologi politik. Kelompok Manikebu percaya bahwa seni harus merdeka, otonom, dan tidak dijadikan alat kekuasaan atau partai. Konflik ini memuncak dalam berbagai saling kritik terbuka.

Baik Sitor Situmorang maupun Pramoedya Ananta Toer memiliki kedekatan dengan LEKRA. Setelah peristiwa G30S tahun1965, dan pembubaran Partia Komunis Indonesia (PKI,) Sitor ditangkap oleh rezim Orde Baru karena kedekatannya dengan LEKRA dan posisi ideologis kirinya. Dia dipenjara tanpa pengadilan, sebagai bagian dari pembersihan besar-besaran terhadap kaum intelektual kiri. Sedangkan Pramoedya dipenjara dan dibuang ke Pulau Buru selama belasan tahun. Selama di penjara, dia tetap menulis dan menghasilkan karya-karya besar. Tetraloginya terdiri dari: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca.

Pramoedya Ananta Toer, meski banyak karyanya dibungkam di dalam negeri, justru mendapat pengakuan luas di dunia internasional. Di antaranya, menerima Ramon Magsaysay Award (1995) dari Filipina—yang kerap dijuluki “Hadiah Nobel Asia”—untuk kontribusinya dalam jurnalisme dan sastra, serta Freedom to Write Award dari PEN American Center (1988) karena keberaniannya menyuarakan kebenaran. Dari Prancis, ia dianugerahi gelar Chevalier de l’Ordre des Arts et des Lettres (1999), dan dari Jepang menerima Fukuoka Asian Culture Prize (2000). Di Indonesia sendiri, ia tidak pernah menerima penghargaan negara secara resmi. Dalam perayaan 100 tahun Pramoedya pada tahun 2025, karya-karyanya diperingati lewat mural, diskusi, dan pameran di berbagai kota.

Secara umum, acara literatur yang diselenggarakan di Kota Köln ini bukan sekadar jadi peringatan literatur sastra Indonesia, tapi juga membuka ruang bagi dialog kontemporer tentang makna sastra, kemanusiaan, dan kebebasan berekspresi. Dalam era di mana pena benar-benar masih lebih kuat dari pedang, warisan para sastrawan Indonesia terus menginspirasi perjalanan Indonesia dan dunia. Sabine mengingatkan, hingga kini buku yang diterjemahkan ke bahasa Jerman masih terbats, padahal Indonesia pernah menjadi tamu kehormatan pameran buku internasional Frankfurter Buchmesse tahun 2015.

Editor: Yuniman Farid

ind:content_author: Ayu Purwaningsih

Leave a Comment