Sejak FIFA merilis daftar harga tiket untuk Piala Dunia 2026, gelombang protes keras langsung menggema di kalangan penggemar sepak bola global. Meski turnamen akbar yang akan diselenggarakan di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko ini masih jauh dari kick-off, atmosfer panas sudah menyelimuti, bukan di atas lapangan hijau, melainkan di balik loket penjualan tiket yang memicu kontroversi.
Kecaman paling vokal datang dari kelompok suporter Inggris, yang dengan tegas menyebut harga tiket FIFA itu sebagai angka yang “mencengangkan”. Mereka menuduh badan sepak bola dunia tersebut mengabaikan realitas ekonomi jutaan penggemar yang bersemangat untuk menyaksikan langsung tim kesayangan mereka. Laporan ESPN bahkan mengungkap bahwa tiket seharga $60, yang diklaim FIFA sebagai opsi termurah, hampir mustahil ditemukan dalam skema penjualan awal.
Kondisi ini semakin diperparah dengan perhitungan biaya yang fantastis. Seorang penggemar yang berniat mengikuti perjalanan penuh timnas Inggris hingga laga final Piala Dunia 2026, bahkan dengan memilih kategori tiket paling ekonomis, diperkirakan harus merogoh kocek hingga $3.180. Angka ini melonjak tajam, lebih dari dua kali lipat dibandingkan biaya yang harus ditanggung penggemar pada gelaran di Qatar dua tahun sebelumnya.
Thomas Concannon dari Football Supporters’ Embassy England menyuarakan kekecewaan, menyebut $2.000 untuk tiket final termurah sebagai “sangat tidak dapat diterima”. Ia memperingatkan, “Jika ditambahkan dengan biaya perjalanan dan akomodasi di Amerika, Piala Dunia 2026 ini berpotensi menjadi yang termahal sepanjang sejarah bagi para suporter.” Oleh karena itu, kelompok suporter mendesak FIFA untuk segera meninjau ulang alokasi tiket kategori rendah. Mereka menuntut agar penggemar dari negara peserta memperoleh kuota yang memadai di area strategis stadion, bukan justru terpojok di tribun dengan skema harga dinamis yang sulit dijangkau. “Kami mendesak FA dan federasi lainnya untuk menekan FIFA agar turnamen ini tetap terjangkau,” tegas Concannon.
Menanggapi gelombang kritik tersebut, FIFA tidak tinggal diam. Dalam pernyataan resmi yang dirilis Jumat, badan sepak bola dunia itu membela strategi penetapan harga tiket mereka. Mereka beralasan bahwa sistem variable pricing adalah praktik pasar yang lumrah, di mana harga tiket dapat berfluktuasi naik atau turun sesuai dengan tingkat permintaan. Model ini, menurut FIFA, serupa dengan yang diterapkan pada konser musik skala besar dan ajang olahraga populer di Amerika Serikat.
FIFA menekankan komitmennya untuk “memastikan akses yang adil bagi penggemar lama maupun baru”. Mereka mengklaim bahwa penawaran tiket babak penyisihan mulai dari $60 merupakan “angka yang sangat kompetitif” untuk sebuah ajang olahraga global berskala besar di Amerika Serikat. Lebih lanjut, FIFA mengonfirmasi alokasi khusus beberapa tiket dengan harga tetap untuk kategori penggemar tertentu, demi menjaga keseimbangan akses. Mereka juga menegaskan bahwa 90% dari seluruh pendapatan Piala Dunia akan diinvestasikan kembali untuk pengembangan sepak bola di 211 asosiasi anggota di seluruh dunia.
Namun, di tengah pembelaan tersebut, FIFA justru menerapkan komisi 15% untuk setiap transaksi jual-beli di platform resmi penjualan kembali tiket. Fakta ini diperparah dengan munculnya beberapa tiket yang diperdagangkan di pasar sekunder dengan harga mencapai “puluhan ribu dolar”, semakin memperkuat kesan bahwa Piala Dunia 2026 ini kian menjauh dari jangkauan suporter kebanyakan dan berubah menjadi tontonan mewah yang eksklusif.
Piala Dunia 2026 memang akan menjadi edisi terbesar sepanjang sejarah, melibatkan 48 tim dan 104 pertandingan yang tersebar di tiga negara. Namun, bagi sebagian besar penggemar sepak bola, pesta akbar ini kini terasa seperti kemewahan yang sulit, bahkan mustahil, untuk digapai.
Ketika FIFA gencar menggaungkan narasi “akses dan nilai global”, para suporter justru menyaksikan jurang pemisah antara idealisme dan realitas ekonomi kian menganga. Di balik slogan kebanggaan mereka, “For the Game. For the World.”, muncul pertanyaan reflektif yang sederhana namun menusuk: Untuk dunia yang mana, sebenarnya?
Ringkasan
Harga tiket Piala Dunia 2026 menuai protes dari penggemar sepak bola, terutama dari kelompok suporter Inggris yang menganggap harga tersebut “mencengangkan.” Mereka menilai FIFA mengabaikan realitas ekonomi penggemar dan menyoroti mahalnya biaya untuk mengikuti timnas hingga final, yang bisa mencapai ribuan dolar, jauh lebih mahal dari Piala Dunia sebelumnya. Kelompok suporter mendesak FIFA untuk meninjau ulang alokasi tiket murah dan memberikan kuota yang memadai bagi penggemar dari negara peserta.
FIFA membela diri dengan menyatakan bahwa sistem harga yang fluktuatif adalah praktik pasar yang umum dan mengklaim telah mengalokasikan tiket dengan harga tetap untuk kategori penggemar tertentu. FIFA juga menegaskan bahwa sebagian besar pendapatan Piala Dunia akan diinvestasikan kembali untuk pengembangan sepak bola. Meskipun demikian, FIFA menerapkan komisi untuk setiap transaksi jual-beli tiket di platform resminya, dan tiket di pasar sekunder diperdagangkan dengan harga yang sangat tinggi, sehingga semakin memperburuk kesan bahwa Piala Dunia 2026 menjadi eksklusif dan sulit dijangkau oleh suporter biasa.