Ponpes Al Khoziny sebut ambruknya musala sebagai ‘takdir dari Allah’, polisi janji lakukan upaya hukum – ‘Tidak bisa berlindung dengan dalih takdir’

Photo of author

By AdminTekno

Jumlah korban meninggal akibat ambruknya musala Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, terus bertambah menjadi 63 orang hingga Senin (06/10).

Namun, sejumlah wali santri mengatakan tidak akan menuntut secara hukum kepada pihak pesantren lantaran menganggap kejadian itu sebagai “takdir”, bukan kelalaian.

Narasi tersebut rupanya senada seperti yang diutarakan pengasuh pondok, Abdus Salam Mujib—dengan menyebutnya “takdir Allah sehingga semua pihak mesti bersabar”.

Terlepas dari semua itu, beberapa pengamat menilai penindakan hukum harus dilakukan oleh kepolisian agar peristiwa serupa tidak terulang di masa mendatang.

Kabid Humas Polda Jawa Timur, Jules Abraham Abast, berkata penyelidikan kasus ini akan dimulai setelah proses evakuasi korban dan pembersihan puing tuntas. Yang dimulai dari penyelidikan di lokasi kejadian perkara dan berlanjut ke penyidikan.

‘Kejadian ini takdir dan musibah’

Pada hari ketujuh peristiwa ambruknya musala Pondok Pesantren Al Khoziny, sejumlah alat berat masih bekerja memindahkan beton-beton yang runtuh.

Basarnas menyatakan pihaknya telah mengevakuasi setidaknya 63 jenazah, yang sebagian besar telah dibawa ke RS Bhayangkara Polda Jawa Timur untuk diidentifikasi.

Sejumlah orang yang merupakan keluarga korban meninggal tampak berada di sekitar posko SAR, menunggu informasi tentang anak mereka.

Beberapa dari orang tua santri mengaku sudah diambil sampel DNA untuk keperluan pencocokan identitas jenazah.

“Sudah diambil DNA, tapi masih menunggu dicocokan dengan yang di rumah sakit,” kata salah satu keluarga santri dari Sampang, Madura, Ahmad.

Mereka memutuskan bertahan di posko untuk memastikan sudah tidak ada lagi jenazah yang ditemukan.

Kepala Basarnas, Marsekal Madya TNI Mohammad Syafii, bilang operasi SAR masih akan dilakukan meski sudah tujuh hari waktu pencarian dan penyelamatan dilakukan.

“Kami tidak bisa memastikan berapa lama waktunya, setelah lokasi dinyatakan clear dan tidak ditemukan lagi jenazah atau potongan tubuh, maka operasi SAR masih akan dilanjutkan,” ucapnya.

Baca juga:

  • Kesaksian korban selamat Ponpes Al Khoziny: ‘Antara sadar dan mimpi dalam gelap’
  • Kesaksian santri ikut pengecoran Ponpes Al Khoziny – ‘Seandainya masih di atas bangunan, tentu ikut jatuh’

Salah satu orang tua santri, Lina, mengaku hanya bisa pasrah dengan musibah yang terjadi.

Dirinya tidak ingin menyalahkan siapa-siapa atas kejadian yang merenggut puluhan nyawa dan ratusan korban luka. Bahkan, kematian anaknya dianggap suci atau syahid, karena terjadi saat sedang menjalankan ibadah.

“Ini adalah musibah, tidak ada yang bisa menduga. Sudah jadi kehendak Allah,” ungkapnya.

Ia mengaku tidak ada keinginan menuntut secara hukum atas kejadian ini, dan mengikhlaskan peristiwa yang telah terjadi.

“Orang tua tidak ada yang berpikir ke sana,” lanjutnya.

Perempuan asal Jawa Barat ini berharap identifikasi jenazah yang ditemukan segera selesai, agar jenazah dapat dikembalikan kepada keluarga untuk dimakamkan.

“Kami berharap identifikasi anak-anak kami bisa cepat selesai, agar kami bisa bawa pulang untuk dimakamkan,” tandasnya.

Muhammad Sukron, wali santri asal Sampang, Jawa Timur, juga menganggap ambruknya musala Al Khoziny sebagai takdir, bukan karena kelalaian pihak pengelola pondok pesantren.

Ia meyakini pembangunan ruang ibadah itu dilakukan dengan perhitungan yang matang dan tidak ada unsur kecerobohan.

“Saya lebih ini menganggap takdir dan mudah-mudahan dengan kejadian atau peristiwa ini menjadi pelajaran buat pondok dalam membangun itu harus lebih ekstra hati-hati,” kata Sukron.

Karena itu, Sukron menilai peristiwa tersebut tidak perlu dibawa ke ranah hukum sebab baginya tidak ada unsur kesengajaan dari pengasuh pondok.

Ia hanya menuntut perbaikan dalam proses pembangunan ke depannya.

Baca juga:

  • Kisah tim penyelamat mengevakuasi korban reruntuhan Ponpes Al Khoziny
  • Gedung Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo runtuh – Korban meninggal mencapai 60 orang

“Dunia pesantren itu sami’na wa atho’na [kami mendengar dan kami patuh] kepada kiai, dan saya yakin hal semacam ini bukan faktor kesengajaan dari pengasuh, tidak ada faktor kesengajaan,” sambung pria 46 tahun ini.

“Jadi saya tidak ada, tidak minta apa-apa. Mudah-mudahan ini menjadi bahan koreksi saja untuk pondok.”

Sukron juga memastikan tidak ada bujukan atau rayuan dari pihak pondok pesantren agar kasus ini tidak dibawa ke ranah hukum. Namun, murni kesadaran wali santri.

“Tidak ada bujukan, rayuan dari pengasuh, pesantren enggak ada. Semuanya sesuai dengan keyakinan dari masing-masing wali santri,” aku bapak dari santri Muhamad Ya’dan Rakasahud yang berhasil selamat dari reruntuhan.

‘Tidak bisa berlindung dengan dalih takdir’

Ismail Al-A’lam, peneliti dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, menjelaskan takdir dalam Islam adalah hukum dan ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah atas segala hal.

Sehingga, tidak ada yang meleset sedikit pun.

Tetapi, meskipun takdir sudah ditetapkan oleh Allah, manusia tidak tahu apa yang menjadi takdirnya. Maka dari itulah, manusia diperintahkan untuk bertawakal dan berikhtiar; serta beriman dan beramal saleh.

Tawakal adalah penyerahan diri dan keyakinan bahwa hasil akhir hanya milik Allah. Sedangkan ikhtiar atau usaha merupakan upaya aktif manusia mencapai tujuan.

Kedua konsep itu, kata Ismail, tak bisa terpisahkan alias harus dijalani bersamaan oleh seorang muslim dalam melakukan segala hal.

“Karena ketika seseorang cenderung ke salah satu jalan dan mengabaikan yang lain, pasti akan berkonsekuensi pada sikap keberagamaannya,” ujar Ismail Al-A’lam kepada BBC News Indonesia, Senin (06/10).

“Orang yang mengutamakan tawakal saja, tapi ikhtiar sekenanya… atau bahkan tidak punya ikhtiar sama sekali, dia fatalis [menyerah pada nasib], malas untuk maju,” sambungnya.

“Jadi, sekalipun takdir sudah ditentukan, ya kita harus tetap ikhtiar, berusaha.”

Baca juga:

  • Belasan santri diduga jadi korban kekerasan seksual pimpinan pesantren di Sumenep – Doktrin agama membuat korban tak berdaya
  • Kronologi kasus dugaan kekerasan seksual terhadap 43 santri di Agam – Korban mengalami ‘trauma mendalam’ dan stigma

Hanya saja, ada kalanya, orang-orang yang disebutnya “punya kuasa atas agama” kerap mencomot konsep “takdir” yang tidak utuh itu demi kepentingan pribadi. Semisal, untuk menghindari kritik.

Dalam peristiwa yang terjadi di Pondok Pesantren Al Khoziny, Ismail mengkritik perkataan pengasuh pondok yang menyebut insiden ambruknya bangunan musala itu sebagai “takdir Allah” semata.

Baginya, pernyataan tersebut seperti ingin melepas tanggung jawab atas meninggalnya puluhan santrinya.

“Padahal dalam Islam tidak bisa begitu, kita bertawakal dan berikhtiar. Kita menerima takdir, tapi juga mengambil tanggung jawab sebagai subjek,” imbuhnya.

“Dan dia [pengasuh pondok Al Khoziny] enggak bisa berlindung sama takdir untuk melepas tanggung jawabnya.”

“Jadi, dia [pengasuh pondok] harus bertanggung jawab, mengakui karena kelalaiannya itu.”

Mengakui kelalaian, menurut Ismail, bisa dibaca sebagai upaya perbaikan bagi pondok pesantren tersebut. Bukan dipandang sebagai merongrong kewibawaan pesantren.

Karenanya, bagi dia, tak ada yang keliru jika wali santri ada yang menagih pertanggungjawaban dari pengurus pondok pesantren. Sebab bagaimanapun, mereka telah mempercayakan anak mereka diasuh dengan baik oleh mereka.

Kalaupun ada keluarga santri yang cenderung pasrah dan menganggapnya sebagai takdir, Ismail menilai itu karena “adanya relasi kuasa yang timpang” antara mereka dan pengasuh pondok pesantren.

“Banyak orang tua santri itu dari desa, secara pendidikan kurang, secara ekonomi juga lemah, jadi ada relasi kuasa yang timpang.”

“Penyadaran atas kondisi itu memang harus dilakukan oleh para santri yang terdidik, supaya relasi yang timpang tidak terus terjadi.”

Selain itu, dalam Islam juga diajari bahwa semua manusia sama derajatnya di mata hukum. Artinya, tidak ada pengecualian atau pengistimewaan.

“Itu mungkin yang berat diakui, apalagi diterima oleh kalangan pesantren, terutama pesantren yang punya karisma dan diakui masyarakatnya…”

“Dan dari perspektif orang luar [mengakui lalai] bukan masalah, justru gentle.”

‘Harus dibawa ke ranah pidana, agar tidak terulang’

Meski belum diketahui pasti apa penyebab ambruknya bangunan empat lantai itu, tapi beberapa pengamat menilai ada unsur kelalaian dalam proses konstruksinya.

Kelalaian pertama, karena diduga tidak ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB) musala.

Kedua, fondasi bangunan yang diduga tidak kuat menahan beban.

Ketiga, adanya dugaan pembangunan musala tidak terencana dan tak sesuai kaidah teknis. Hal itu merujuk pada sejarah gedung yang mulanya hanya diperuntukkan untuk satu lantai.

Keempat, muncul dugaan faktor kegagalan struktur kolom sebagai penyebab ambruknya musala.

Kolom adalah elemen struktural vertikal dalam sebuah bangunan yang berfungsi menyalurkan beban dari lantai, atap, dan dinding ke fondasi.

Pakar hukum pidana dari Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, mengatakan dugaan-dugaan kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa puluhan santri itu harus dipertanggungjawabkan secara hukum lewat penindakan oleh kepolisian—terlepas ada atau tidak adanya aduan dari keluarga korban.

“Sebab ini bukan delik aduan,” kata Agustinus kepada BBC News Indonesia. “Apalagi korbannya lebih dari 50 orang, ini jelas kasus luar biasa.”

Agustinus juga bilang penindakan hukum pidana diperlukan supaya kasus serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang.

Dan, tambahnya, bisa dilihat sebagai bentuk pencegahan bagi siapapun yang mendirikan bangunan tanpa izin dan mengabaikan kaidah konstruksi yang benar.

“Jadi menurut saya, polisi wajib melakukan penyelidikan. Sekali lagi, bukan ingin menghukum walaupun akhirnya barangkali ada pihak yang dihukum, tapi bukan itu tujuannya.”

“Tujuannya agar tidak terjadi lagi,” tegasnya. “Justru, kalau polisi tidak menindak, salah.”

Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Eva Achjani Zulfa, juga sependapat.

Dia berkata, terlepas dari pandangan pengasuh pondok pesantren yang menyebut bahwa insiden itu sebagai takdir, tetapi menurutnya perbuatan lalai sehingga menyebabkan orang lain meninggal merupakan suatu tindak pidana.

Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 359 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.”

Kalau merujuk pada kasus ambruknya musala, dugaan kelalaian itu terlihat dari kegagalan konstruksi bangunan.

Sama seperti Agustinus Pohan, ia menilai penindakan secara hukum diperlukan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di kemudian hari.

“Saya melihat bahwa pesantren itu lembaga yang tidak bergantung pada subsidi pemerintah, sehingga kerap bergotong royong dalam pembangunan, itu kita hargai,” paparnya.

“Tapi, kita bisa pertanyakan apakah ketika membangun sudah sesuai dengan izin pendirian bangunan? Bagaimana pengawasan dari kementerian agama?” tanyanya.

“Maka dari itu harus ada koreksi melalui peradilan pidana, agar jangan sampai anak-anak santri jadi korban atas peristiwa yang sama.”

Untuk mendudukkan konstruksi hukumnya dan mencari siapa saja yang mesti bertanggung jawab atas kejadian tersebut, sambung Eva, polisi mesti meneliti dari awal berdirinya bangunan itu.

Kemudian, menelisik soal seperti apa rancangan bangunan yang dibuat dan apakah memakai jasa kontraktor atau tidak. Termasuk, pengawasan dari pemerintah dijalankan atau tidak.

Namun begitu, Eva menyadari proses penindakan hukum terhadap ulama berpotensi memicu gejolak sosial. Apalagi kalau menyasar orang terpandang atau panutan di masyarakat.

Baca juga:

  • Kekerasan seksual di pesantren terjadi lagi, mengapa selalu terulang?
  • Kekerasan di lingkup pesantren – ‘fenomena gunung es’, ‘tangan saya dipukul pakai rantai besi’

Dalam situasi seperti itu, aparat polisi biasanya bakal memperhitungkan segala hal.

“Artinya sikap-sikap konfrontasi harus dihindari. Kalau menurut saya, karena keluarga korban juga tidak ada komplain, pendekatannya adalah restorative justice,” kata Eva.

Restorative justice yang dimaksud Eva yakni penegakan hukum dengan menggunakan jalur damai. Semisal, menjatuhkan sanksi administratif berupa penutupan sementara pondok pesantren sampai bisa dipastikan bangunannya memiliki izin dan terjamin keamanannya.

“Kan itu juga semacam hukuman bagi penyelenggara pesantren,” ungkapnya.

“Itu bisa dilakukan sebagai alternatif buat kepolisian untuk mencari jalan tengah, supaya potensi konflik tidak terjadi di masyarakat.”

Apa kata polisi?

Kabid Humas Polda Jawa Timur, Jules Abraham Abast, mengatakan penyelidikan perkara ambruknya musala Pondok Pesantren Al Khoziny akan dimulai setelah proses evakuasi korban dan pembersihan puing-puing tuntas.

Untuk itu, polda telah mengerahkan personelnya bersama tim SAR melakukan pembersihan.

“Proses penegakan hukum tentu nanti akan kami lakukan setelah proses pembersihan, setelah proses pembongkaran material yang tersisa benar-benar selesai, benar-benar bersih,” katanya di Polda Jatim, Senin (06/10).

“Dan ketika tidak ada aktivitas yang diperlukan lagi dan tidak ada sisa korban dalam bentuk jenazah ataupun body part yang dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk dilakukan identifikasi.”

Apabila seluruh proses evakuasi hingga pembersihan rampung, Abast menegaskan polisi akan memulai penyelidikan dari tempat kejadian perkara, lalu dilanjutkan ke proses penyidikan.

Hingga saat ini, sambungnya, belum ada saksi yang diminta keterangan.

Tapi, begitu proses evakuasi selesai, dia bilang penyidik akan mulai memanggil pihak-pihak yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Wartawan Petrus Riski di Surabaya dan Mustofa di Pamekasan berkontribusi untuk laporan ini.

Leave a Comment