Rencana pemerintah untuk menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam pembangunan ulang Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, yang ambruk pada 29 September 2025 dan menewaskan 63 santri, menuai sorotan tajam. Langkah ini secara tegas dikritisi oleh Achmad Nur Hidayat, seorang Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, yang menilai keputusan tersebut kurang bijak di tengah mencuatnya dugaan kelalaian konstruksi dalam insiden tragis tersebut.
“Publik tentu bertanya, apakah patut dana APBN dialokasikan untuk membangun kembali Pesantren Al-Khoziny yang roboh, padahal ada indikasi awal kuat mengenai kelalaian dalam pembangunannya? Pertanyaan ini menyentuh garis batas antara empati sosial yang mendalam dan tanggung jawab fiskal yang harus dijaga,” ujar Achmad dalam keterangannya, seperti dikutip pada Jumat (10/10/2025).
Achmad tidak menampik kewajiban negara untuk hadir dan memberikan pertolongan kepada para korban. Namun, ia menekankan bahwa tanggung jawab kemanusiaan tidak boleh serta-merta mengesampingkan prinsip akuntabilitas. Kebenaran, menurut Achmad, harus ditegakkan dan empati tidak boleh menjadi tabir yang menutupi potensi kelalaian yang ada.
Ia melanjutkan, “Jika keruntuhan bangunan terjadi akibat bencana alam, adalah hal yang logis jika negara menyalurkan dana darurat. Namun, jika pemicunya adalah kesalahan manusia—misalnya kelalaian kontraktor, pelanggaran standar bangunan, atau pengawasan yang lemah—maka negara tidak bisa serta-merta bertindak sebagai ‘penebus dosa’ atas kesalahan tersebut.”
Oleh karena itu, Achmad berpendapat bahwa langkah prioritas yang seharusnya dilakukan adalah sebuah investigasi menyeluruh, bukan langsung pembangunan ulang. Apabila hasil investigasi menunjukkan adanya unsur kelalaian, maka proses hukum wajib dijalankan. Setelah semua kejelasan terungkap, barulah pemerintah dapat memberikan bantuan dengan mengedepankan prinsip reconstruction with responsibility, atau membangun kembali sambil membenahi tata kelola yang ada.
Lebih jauh, Achmad menjelaskan bahwa APBN bukanlah sekadar dana sosial yang dapat digunakan hanya berdasarkan rasa belas kasihan. APBN merupakan amanah konstitusi yang diatur dalam Pasal 23 UUD 1945, yang tujuannya adalah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, setiap penggunaannya harus memenuhi asas efisiensi, keadilan, dan keterbukaan.
Penggunaan APBN tanpa audit penyebab yang jelas, menurut Achmad, bisa menciptakan preseden berbahaya. Ini seolah memberikan sinyal bahwa setiap kesalahan dapat dimaafkan dengan gelontoran uang negara. Padahal, salah satu fungsi utama APBN adalah menjaga disiplin fiskal dan mendorong tata kelola yang baik. Jika negara terlalu mudah menalangi akibat kelalaian, publik bisa kehilangan kepercayaan terhadap prinsip keadilan fiskal.
“Bantuan negara sah diberikan bila tujuannya adalah untuk kepentingan publik secara luas, seperti peningkatan mutu pendidikan, sanitasi, atau digitalisasi. Namun, untuk pembangunan fisik yang diakibatkan oleh kelalaian internal sebuah institusi, logika fiskalnya jelas berbeda,” tegas Achmad.
Ia menegaskan, meskipun pesantren memiliki peran besar dalam bidang pendidikan dan sosial, secara hukum tetap merupakan lembaga privat. Penting bagi pemerintah untuk memastikan ada batas yang jelas antara bentuk solidaritas publik dan penyelamatan institusi privat. “Ketika alasan yang digunakan adalah ‘kondisi darurat nasional’, maka harus ada dasar hukum yang kuat yang mendasarinya. Kondisi darurat tidak boleh menjadi dalih untuk melangkahi prosedur yang seharusnya,” imbuhnya.
Achmad juga menambahkan bahwa apabila pihak pesantren belum melakukan pertanggungjawaban dana atau belum diaudit, penggunaan APBN justru berpotensi melanggar asas kehati-hatian dan menimbulkan moral hazard institusional. Situasi ini dapat memicu lembaga lain merasa aman untuk berbuat lalai karena keyakinan akan diselamatkan oleh negara.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum (PU) telah mengumumkan rencana pembangunan ulang Gedung Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo. Menteri PU, Dody Hanggodo, menjelaskan bahwa langkah yang akan diambil bukan sekadar revitalisasi, melainkan pembangunan kembali seluruh gedung pesantren dari awal. “Perkiraan saya, saat kunjungan ke lokasi kemarin, bangunan yang berwarna hijau itu justru lebih efisien jika dirobohkan dan dibangun baru dari nol, daripada kita hanya menambal sulam bagian yang rusak,” ungkap Dody di Kantor Kementerian PU, Jakarta, pada Selasa (7/10/2025).
Terkait besaran anggaran, Kementerian PU masih melakukan perhitungan bersama pihak terkait. Dody memastikan bahwa pembangunan akan menggunakan dana dari APBN, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya dukungan dari pihak swasta. “Kalau soal anggaran, insya Allah cukup dari APBN. Tapi tidak menutup kemungkinan ada bantuan dari swasta,” kata Dody.
Dody juga menjelaskan bahwa anggaran untuk pondok pesantren seharusnya berada di bawah Kementerian Agama. Namun, karena musibah ini tergolong kondisi darurat, Kementerian PU mengambil alih tanggung jawab pelaksanaan pembangunan. “Biasanya anggaran ponpes ada di Kementerian Agama. Tapi karena ini darurat, yang di Sidoarjo kami tangani,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Abdul Muhaimin Iskandar, yang turut hadir dalam kesempatan itu, menyampaikan bahwa pemerintah akan membuka layanan hotline bagi masyarakat untuk melaporkan kondisi bangunan sekolah atau pondok pesantren yang rawan ambruk. “Kami akan membuka layanan hotline, nomornya akan segera diumumkan. Mohon disampaikan kepada masyarakat, pesantren-pesantren yang merasa bangunannya rawan bisa berkonsultasi melalui layanan itu,” tutup Muhaimin.
Ringkasan
Rencana penggunaan APBN untuk membangun ulang Pesantren Al-Khoziny yang roboh dan menewaskan santri menuai kritik. Ekonom Achmad Nur Hidayat mempertanyakan kelayakan alokasi dana APBN di tengah dugaan kelalaian konstruksi. Ia menekankan pentingnya investigasi menyeluruh sebelum pembangunan ulang dan menuntut akuntabilitas atas insiden tersebut.
Achmad Nur Hidayat berpendapat bahwa APBN harus digunakan secara efisien, adil, dan transparan. Penggunaan APBN tanpa audit yang jelas berpotensi menciptakan preseden berbahaya dan merusak kepercayaan publik terhadap keadilan fiskal. Ia menekankan perlunya batas yang jelas antara solidaritas publik dan penyelamatan institusi privat, serta dasar hukum yang kuat untuk penggunaan dana darurat.