Kebijakan 10% etanol pada BBM dikhawatirkan memperarah deforestasi dan konflik lahan

Photo of author

By AdminTekno

Pemerintah Indonesia berencana meningkatkan kandungan etanol dalam bensin menjadi 10% (E10) dalam tiga tahun mendatang. Namun, mandat ini menuai sorotan tajam dari para pegiat lingkungan yang mendesak agar produksi bahan baku etanol tidak menyebabkan deforestasi dan konflik dengan masyarakat adat.

Kebijakan E10 diperkirakan akan menjadi pendorong signifikan bagi pertumbuhan industri etanol nasional. Ini berarti akan terjadi perluasan besar-besaran lahan perkebunan tebu atau tanaman penghasil etanol lainnya. Salah satu area yang diprioritaskan untuk proyek swasembada gula dan bioetanol adalah Merauke, Papua Selatan, di mana saat ini masyarakat adat setempat tengah menghadapi berbagai konflik dengan perusahaan.

Wacana mengenai etanol ini mengemuka setelah beberapa Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) swasta menolak pembelian Base Fuel (bahan bakar dasar) dari Pertamina, lantaran bahan bakar tersebut sudah mengandung 3,5% etanol. Menanggapi hal ini, Kementerian ESDM baru-baru ini menyatakan bahwa Pertamina akan menyediakan base fuel tanpa campuran etanol bagi SPBU swasta.

Etanol diyakini sebagai komponen campuran yang efektif meningkatkan oktan (RON) bahan bakar minyak (BBM) serta lebih ramah lingkungan. Namun, para pemerhati energi menyoroti bahwa permasalahan utama bukanlah pada etanol itu sendiri, melainkan pada tahapan pencampurannya.

Apa yang dikatakan pemerintah soal campuran etanol ke bensin?

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengklaim bahwa Presiden Prabowo Subianto menyetujui mandatori campuran etanol 10% (E10) pada bensin. “Ke depan kita akan mendorong untuk ada E10. Kemarin malam sudah kami rapat dengan Bapak Presiden. Pak Presiden sudah menyetujui untuk direncanakan mandatori 10% etanol,” ujar Bahlil pada Selasa (08/10).

Saat ini, pencampuran etanol dalam bensin telah diterapkan pada produk Pertamax Green 95 dengan kadar 5% (E5) yang diluncurkan Juli 2023, namun statusnya masih bersifat opsional, bukan kewajiban. Bahlil menjelaskan, kebijakan mandatori E10 bertujuan “agar kita tidak impor banyak, dan juga untuk membuat minyak yang bersih, yang ramah lingkungan.”

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa pemanfaatan etanol dari bahan nabati seperti singkong, tebu, jagung, dan sorgum merupakan bagian dari upaya pemerintah mencapai kemandirian energi. Kendati demikian, pengembangan E10 membutuhkan waktu. “E10 masih dalam pembahasan, kita menguji coba dulu. Sudah dinyatakan clear, bagus, baru kita jalankan. Butuh 2-3 tahun terhitung dari sekarang. Jadi kita harus hitung baik-baik dulu,” jelasnya.

Pemerintah tengah mempersiapkan lahan untuk mendukung peningkatan produksi tanaman penghasil bahan baku etanol, yang akan disusul dengan pembangunan pabrik. Bahlil menyebutkan akan dibangun dua pabrik, yaitu pabrik etanol berbahan baku singkong dan tebu. “Tebu kemungkinan besar di Merauke, sementara singkong lagi dipetakan,” paparnya.

Bagaimana arah kebijakan bioetanol?

Kebijakan etanol sebagai campuran bensin bukanlah hal baru, melainkan bagian dari proyek swasembada gula dan penyediaan bioetanol yang telah dirancang sejak era pemerintahan Joko Widodo. Pada tahun 2023, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).

Satu bulan setelah aturan ini diteken, Jokowi melakukan penanaman tebu perdana di Merauke. “Dan pemerintahan Pak Prabowo ke depan sudah menyampaikan bahwa beliau akan berkonsentrasi di pangan dan energi, nah di sini (Merauke tempatnya),” kata Jokowi saat itu. Setahun kemudian, aturan tersebut diperkuat dengan pembentukan Satgas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol, dengan fokus spesifik di Kabupaten Merauke, Papua Selatan.

  • ‘Kami diadu perusahaan’ – Penyerangan terhadap masyarakat adat penentang PSN Merauke
  • ‘Lihat langsung hutan, hak dan kehidupan kami direbut paksa’ – Masyarakat adat Merauke minta pelapor khusus PBB datang ke Papua
  • Warga asli Papua pesimistis pilkada bisa cegah potensi buruk food estate di Merauke – ‘Percuma kami mengadu ke calon kepala daerah’

Pemerintah menargetkan pengembangan satu juta hektare lahan di Merauke menjadi perkebunan tebu, sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN). Sekitar 600.000 hektare lahan, setara luasnya dengan Pulau Bali, telah dialokasikan dan akan dikelola oleh sembilan perusahaan perkebunan tebu. Sebagian lahan ini sudah mulai digarap, mengakibatkan penggusuran lahan, hutan, dan rawa. Wilayah perkebunan tebu ini tersebar di Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin, dan Muting.

Pemerintah memiliki target ambisius untuk memproduksi tiga juta ton gula per tahun di Merauke mulai 2027. Pada tahun yang sama, perkebunan tebu ini akan terintegrasi dengan pabrik bioetanol yang berkapasitas 300.000 kiloliter per tahun.

Mengapa dikaitkan dengan isu deforestasi dan konflik agraria?

Kekhawatiran akan deforestasi dan konflik agraria muncul karena proyek perkebunan tebu di Merauke, yang sedang dibangun, telah memicu gesekan dengan masyarakat adat. Konflik terbaru terjadi pada pertengahan September silam, ketika sebuah perusahaan perkebunan tebu diduga menerobos masuk lahan adat milik marga Kwipalo di Distrik Jagebob, dengan rencana membuka akses jalan untuk perkebunan.

Marga Kwipalo merespons tindakan ini dengan menghentikan operasional ekskavator dan buldoser. “Kami manusia, kau lihat. Kau punya tangan, kami juga punya tangan,” ucap Vincen, tetua adat marga Kwipalo, saat berdebat dengan pihak perusahaan yang membongkar lahannya. Adegan ini terekam dan dipublikasikan oleh media sosial Pusaka Bentala Rakyat. Vincen Kwipalo, didampingi kuasa hukumnya, kemudian melayangkan somasi kepada perusahaan atas dugaan penyerobotan tanah adat suku Yei.

Pada 6 Oktober, keluarga Vincen mengalami serangan dari sekelompok orang yang menggunakan panah, parang, kapak, bahkan senapan angin, disertai ancaman pembunuhan. “Mereka berteriak, ‘bongkar rumah, bakar rumah, bunuh orangnya’,” kata Vincen kepada BBC News Indonesia. Insiden ini bukanlah serangan pertama yang menimpa Vincen, yang dikenal gigih menolak perkebunan tebu dalam skema PSN Merauke.

Dalam wawancara terpisah, seorang warga lokal di Merauke mengaku terpaksa melepaskan sebagian tanah adatnya kepada perusahaan dengan harga Rp300.000 per hektare. “Karena kita juga berpikir jangan sampai ada hal-hal buruk yang terjadi pada keluarga kita orang,” ungkapnya. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mencatat bahwa proyek swasembada gula dan bioetanol di Merauke bukan hanya menimbulkan konflik agraria, tetapi juga merusak hutan.

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arga Siagian, menyatakan bahwa hilangnya hutan dan keanekaragaman hayati akan memperburuk kondisi ekologis. “Satu, banjir dan longsor akan semakin kerap terjadi, dan yang kedua, dalam konteks yang lebih besar, ini akan berkontribusi pada pelepasan emisi yang sangat besar dan kemudian membuat situasi iklim kita semakin kritis,” ujar Uli. Menurut Uli, kebijakan 10% etanol pada bensin, dengan dalih energi bersih, akan menjadi kontradiktif jika cara memperolehnya justru merusak lingkungan. “Sebenarnya dia juga kotor karena dia merusak ekosistem, dia merampas tanah atau wilayah milik masyarakat,” tambahnya.

Apa akar persoalannya?

Kepala Bidang Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Benni Wijaya, belum melihat terobosan berarti dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini. Hal ini membuatnya yakin bahwa proyek bioetanol di Merauke akan mengulang pola masalah yang sama seperti proyek-proyek energi ramah lingkungan lainnya.

Berdasarkan pemantauan KPA, proyek energi ramah lingkungan lainnya seperti biomassa dan nikel—untuk kebutuhan baterai—yang sudah beroperasi, masih diwarnai masalah konflik lahan. “Praktiknya di lapangan, industrinya tetap saja masih menggunakan cara-cara lama. Enggak ada perubahan. Pasti saja merampas tanah masyarakat, pasti saja merusak lingkungan,” tegas Benni.

Analisis KPA menunjukkan bahwa industri nikel tidak jauh lebih bersih dari industri tambang lainnya. Industri ini terbukti memicu penggusuran, merusak lingkungan, dan melanggengkan praktik perbudakan di dalam industrinya. KPA melaporkan bahwa pada tahun 2024 terjadi 41 letusan konflik agraria di sektor pertambangan, dengan 11 kasus di antaranya terkait operasi industri nikel. Konflik ini, di antaranya, terjadi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, di mana 32 warga desa dikriminalisasi perusahaan dengan tuduhan menghalangi aktivitas pertambangan. Di Morowali, Sulawesi Tengah, terjadi pula konflik horizontal antara buruh lokal dan TKA.

  • Bahlil izinkan tambang nikel beroperasi kembali di Raja Ampat, Greenpeace sebut ‘pemerintah dan korporasi serakah’
  • Di balik tambang mineral milik China yang menggurita di Indonesia, Argentina, dan Kongo
  • Masyarakat adat O’Hongana Manyawa kian terjepit tambang nikel

Selain itu, di Kabupaten Buru, Maluku, wilayah masyarakat adat yang telah memiliki 62 sertifikat komunal dicaplok perusahaan untuk proyek energi biomassa yang telah dimulai sejak 2022. Akar persoalan konflik agraria yang menahun ini, menurut Benni, adalah ketiadaan pengakuan hukum dari pemerintah atas kepemilikan tanah masyarakat adat. Akibatnya, saat proyek datang, masyarakat adat dengan mudah disingkirkan. “Tidak pernah diakui hak atas tanah masyarakat yang sudah bermukim 90-an tahun di sana, menggarap tanah yang seharusnya dia menjadi pemilik atas tanah itu,” kritiknya. KPA melaporkan terjadi peningkatan letusan konflik agraria dalam lima tahun terakhir, dengan data tahun 2024 mencatat 295 kasus, naik 21% dari tahun sebelumnya.

KPA: ‘Tanam paksa model baru’

Benni Wijaya juga menilai program ketahanan energi berbasis nabati ini akan mengubah pola pertanian masyarakat. Pembukaan perkebunan akan berfokus pada jenis-jenis tanaman tertentu. “Itu menghancurkan keragaman pangan-pangan lokal, menggantikannya dengan pangan-pangan yang memang bernilai tinggi secara industri,” jelasnya.

Lahan, hutan, rawa, dan sungai yang semula menjadi sumber penghidupan masyarakat adat, perlahan akan lenyap, tambah Uli Arga Siagian. “Pemerintah membangun sebuah proyek pangan besar yang melibatkan korporasi, lalu mengusur tanaman-tanaman masyarakat, dan masyarakat disuruh masuk menjadi pekerja di dalamnya. Nah, ini kan yang kita katakan sebagai sistem tanam paksa model baru,” tambahnya.

Rencana pembangunan pabrik bioetanol hanyalah satu bagian dari PSN di Merauke. Proyek lain mencakup pencetakan sawah dan perkebunan tanaman adaptif. PSN Merauke direncanakan akan memanfaatkan lebih dari dua juta hektare lahan, terbagi dalam lima klaster dan tersebar di 13 distrik. PSN Merauke juga melibatkan banyak personel militer, yang dirasakan warga sebagai “teror”. Namun, pihak militer menyatakan pengerahan personel pada proyek ini hanya sebatas “untuk membantu membuka lahan pertanian”.

Pemerintah menjadikan Papua Selatan sebagai salah satu Kawasan Swasembada Pangan, Energi, dan Air Nasional—sebuah program utama di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Wilayah lain yang ditetapkan sebagai kawasan serupa meliputi Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatra Selatan.

Bagaimana industri menyambut E10?

Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO) mencatat saat ini terdapat sekitar 13 pabrik pengolahan etanol yang beroperasi di Indonesia. Pabrik-pabrik ini terintegrasi dengan perkebunan tebu seluas 500.000 hektare yang tersebar di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Mayoritas produksi etanol dari pabrik-pabrik ini disalurkan ke sektor non-energi.

“Itu semua existing, itu sebenarnya bukan dari daerah hutan yang kita tebangin, bukan. Itu sudah ada dari zaman Belanda dulu. Dengan total giling tebu sekitar 35 juta ton,” kata Ketua Umum APSENDO, Izmirta Rachman. Ia menegaskan bahwa pabrik-pabrik yang sudah ada ini siap mendukung kebijakan E10. “Karena multiplier effect ekonomi maupun multiplier effect terhadap pengurangan impor fosil maupun multiplier effect terhadap penurunan emisi itu sangat menguntungkan negara kita,” tambahnya.

Untuk meningkatkan kapasitas produksi tebu guna mengejar target mandatori E10, Izmirta tidak menampik bahwa industri akan membutuhkan pembukaan lahan baru dan pendirian pabrik baru. Ketika ditanya bagaimana industri akan memastikan hal tersebut tidak berdampak pada hutan dan lahan masyarakat adat, Izmirta menyerahkan tanggung jawab ini kepada pemerintah. “Itu adalah koridornya dari kementerian terkait, bagaimana memastikan semua lahan tebu itu perizinannya legal, konversinya benar-benar bukan hutan lindung. Makanya saya katakan enggak bisa satu sektor saja,” jelasnya.

Izmirta menambahkan bahwa industri etanol yang telah berjalan saat ini akan mengikuti regulasi pemerintah. “Silakan nanti molasenya [bahan baku etanol], mau ada sertifikasi silakan. Bahwa molasenya memang berasal dari tanaman tebu yang ditanam bukan di areal yang merupakan deforestasi,” imbuhnya.

Berapa kapasitas etanol yang dimiliki saat ini?

Industri etanol yang sudah ada memiliki kapasitas produksi siap pakai sebagai campuran bensin sebesar 60.000 kiloliter (kl) per tahun, yang dapat ditingkatkan hingga 330.000 kl, menurut Izmirta. Pada tahun 2024, konsumsi Pertalite—bensin subsidi—di Indonesia diperkirakan mencapai 29,7 juta kl, sementara konsumsi bensin non-subsidi diestimasi APSENDO sebesar 8 juta kl.

Dengan asumsi angka konsumsi BBM dan ketersediaan etanol di Indonesia, untuk memenuhi target E10 (pada bensin subsidi dan non-subsidi), dibutuhkan setidaknya 3,8 juta kl etanol per tahun. Angka ini mengindikasikan perlunya perluasan lahan perkebunan tebu hingga jutaan hektare. Namun, APSENDO mengklaim bahwa pabrik yang sudah ada mampu memenuhi produksi etanol 5% (E5) pada bensin non-subsidi sebagai tahap awal, dengan jumlah yang dapat digenjot sekitar 400.000 kl.

Izmirta menyatakan bahwa kalangan industri pasti akan merevitalisasi produknya ke arah tersebut asalkan program ini serius dan mendapat dukungan pemerintah. “Yang tadinya tidak tertarik sama fuel grade [etanol yang memenuhi persyaratan sebagai campuran bahan bakar], kemudian dengan melihat program ini jalan, mereka akan menambah destilasi kolom, sehingga mereka bisa memurnikan dan menaikkan dia punya etil alkohol menjadi 99,9%,” jelas Izmirta. Ia menambahkan, revitalisasi produk etanol agar bisa dicampur dengan bensin ini tidak memerlukan “teknologi yang canggih, tapi bisa investasi yang tidak terlalu besar”.

Namun, Izmirta juga menggarisbawahi beberapa syarat yang harus dipenuhi agar industri etanol dapat terlibat aktif dalam kebijakan E10. Pertama, harga etanol harus lebih tinggi dari harga base fuel, yang berarti pencampuran etanol akan membuat harga jual bensin lebih tinggi. Oleh karena itu, industri menginginkan adanya insentif agar harga tetap terjangkau. “Kedua, ketersediaan bahan baku, bagaimana mengatur tata niaga molase agar supaya diprioritaskan untuk kepentingan hilirisasi dan blending mandatori ini,” ujarnya. “Dan ketiga, bagaimana segera melakukan percepatan pertumbuhan swasembada gula dan pencapaian perluasan area tanam dan produktivitas,” tambah Izmirta. Selain itu, ia juga melihat potensi pengolahan etanol dari molase sebesar 1,6 juta ton per tahun, yang jika diolah bisa menghasilkan 400.000 kl etanol.

Bagaimana respons pemerintah?

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) di Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menegaskan bahwa etanol untuk mandatori E10 harus berasal dari dalam negeri. “Menurut Perpres Nomor 40 Tahun 2023, itu kan swasembada gula dan bioetanol. Jadi kalau kita makin produksi gula, maka otomatis bioetanolnya makin banyak, karena apa? Bioetanol itu dibuat dari ampas tebunya yang disebut molase,” paparnya.

Dalam rangka mencapai swasembada pangan yang diikuti dengan produksi bioetanol, ke depannya akan ada klaster wilayah-wilayah di Indonesia yang dikembangkan. Misalnya, Lampung dengan ketela, Gorontalo dengan jagung, dan sagu di Indonesia bagian timur, kata Eniya. “Jadi semua didorong untuk bisa menghasilkan bioetanol, dan itu enggak langsung dengan pangan ya, karena yang dipakai adalah ampasnya,” lanjutnya.

Saat ditanya apakah pemerintah akan memastikan sumber bahan baku bioetanol ini tidak berasal dari lahan deforestasi dan konflik, Eniya menjawab, “Lahan tidak ada kaitannya dengan isu clean and sustainable.” Terkait persoalan konflik PSN di Merauke, dalam beberapa kesempatan Menteri HAM, Natalius Pigai menjelaskan, “Kami sedang mendorong pembangunan dan pengelolaan usaha berbasis HAM melalui berbagai kebijakan dan regulasi.” Upaya yang dilakukan, kata Natalius, yakni dengan menyiapkan instrumen hukum tentang bisnis dan HAM yang antara lain dalam bentuk Perpres, Inpres, Permen, serta petunjuk teknis dan pelaksanaan.

Apa itu etanol dan dampaknya jika dicampur pada bensin?

Etanol adalah alkohol murni yang bahan dasarnya berasal dari fermentasi molase. Namun, di negara-negara yang mengalami surplus tebu, seringkali menggunakan nira tebu (sugarcane juice). Molase, yang dikenal sebagai tetes tebu, merupakan produk sampingan dari pengolahan tebu menjadi gula. Dalam proses pembuatan gula, molase adalah cairan cokelat hingga kehitaman yang tidak dapat mengkristal dan seringkali dianggap sebagai limbah.

Etanol hasil fermentasi nabati ini memiliki kadar oktan yang sangat tinggi, bisa lebih dari 110. Jika dicampur dengan bensin, etanol dapat secara signifikan mendongkrak nilai RON pada bensin tersebut. Berikut adalah rangkuman riset mengenai efek penggunaan campuran etanol pada bensin:

  • Meningkatkan oktan dan kualitas pembakaran.
  • Mengurangi impor bahan bakar.
  • Peningkatan kualitas udara karena campuran etanol mampu mengurangi emisi karbon.
  • Kandungan energi lebih rendah, sehingga konsumsi bahan bakar lebih banyak dibutuhkan.
  • Menimbulkan kendala teknis pada mesin karena campuran etanol dapat menyerap air. Pada mesin tua, penyesuaian suku cadang mungkin diperlukan.
  • Memengaruhi biaya karena harga etanol lebih tinggi dari bahan bakar dasar, namun hal ini sangat bergantung pada kebijakan subsidi.
  • Berpotensi pada perluasan lahan. Jika lahan yang digunakan adalah hutan dan gambut, justru akan menyebabkan emisi besar dan hilangnya keanekaragaman hayati, serta memicu konflik agraria dengan masyarakat.

Lalu, mengapa industri di Indonesia cenderung menggunakan molase sebagai bahan dasar etanol? “Karena molase itu gula sederhana, sukrosa gula sederhana. Itu [bisa] langsung fermentasi,” jelas Ketua Umum Asosiasi Produsen Spiritus dan Ethanol Indonesia (APSENDO), Izmirta Rachman. Menurut Izmirta, bahan nabati lain seperti jagung dan singkong memerlukan proses “pemecahan” terlebih dahulu sebelum masuk ke tahapan fermentasi. “Dia perlu pre-treatment,” katanya.

‘Bukan soal etanol tapi kualitas’

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin, mengklaim bahwa lembaganya telah mendorong penggunaan campuran etanol sejak isu bensin bertimbal muncul, hingga Indonesia akhirnya bebas dari bensin bertimbal pada tahun 2003. Menurutnya, pemanfaatan etanol sebagai campuran bensin dapat meningkatkan efisiensi pembakaran di ruang bakar mesin kendaraan, sehingga berpotensi menghemat energi sekaligus menekan emisi gas buang kendaraan, baik emisi pencemaran udara (PM10, PM2.5, HC, CO, SOx, NOx) maupun emisi Gas Rumah Kaca (CO2).

“Tahun 2001 kami sudah mengusulkan pakai etanol, karena etanol itu oktan number-nya tinggi antara 110 sampai 130. Jadi untuk octane booster sangat efektif,” kata Puput, sapaan Ahmad Safrudin. Namun, yang ia persoalkan saat ini adalah tahapan pencampuran etanol. Menurutnya, Pertamina seharusnya membeli base fuel yang belum dicampur etanol dari hulu. “Keberadaan etanol pada base fuel telah mengaburkan sifat kimia dan fisika base fuel sebagai raw material [bahan dasar] utama pada proses produksi BBM dengan spesifikasi tertentu,” kritiknya.

Selain itu, Puput menjelaskan, karena sifat etanol yang dapat menyerap air, proses distribusi yang panjang akan memengaruhi kualitas bensin sebelum dicampur dengan unsur-unsur lain dan disalurkan ke konsumen. Air yang diserap etanol ini bisa berasal dari berbagai sumber selama perjalanan, mulai dari pengapalan hingga pengiriman ke depo, seperti air laut, embun, atau hujan. “Sehingga oktannya turun, kemudian kualitas bensinnya juga relatif turun,” jelasnya, sambil menambahkan bahwa hal ini akan menjadi biaya tambahan bagi pihak SPBU, khususnya swasta. “Jadi blending etanol seharusnya memang belakangan, setelah siap dikirim ke SPBU.”

Dari lahan yang bersih

Kebijakan pencampuran etanol pada bensin telah menjadi tren global, dengan banyak negara menerapkan campuran etanol bahkan menargetkan hingga E30. Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin, mendukung kebijakan campuran etanol di Indonesia, tetapi ia menekankan pentingnya menjaga mutu dengan tidak membeli base fuel yang sudah tercampur etanol.

Lebih dari itu, ia juga menegaskan bahwa bahan baku etanol harus berasal dari lahan yang bebas deforestasi dan konflik dengan masyarakat. “Kalau mau serius, etanol ini manfaatkan saja lahan-lahan terlantar, yang ada di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, jangan mengambil lahan yang masih hutan alam,” sarannya. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi, Uli Arga Siagian, berpendapat bahwa untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah seharusnya “mengontrol pola konsumsi [BBM] secara nasional” dengan membuat kebijakan yang mendorong masyarakat beralih ke transportasi publik.

“Jadi percuma kita mau mengurangi ketergantungan terhadap fosil, terhadap bioetanol terhadap biodiesel, kalau kemudahan membeli jauh lebih banyak kendaraan pribadi itu masih tersedia, sementara akses dan perbaikan kendaraan atau fasilitas umum itu tidak kunjung membaik,” kritiknya.

  • ‘Orang dalam’ diduga muluskan bisnis biodiesel dan sawit para konglomerat
  • Militer dilibatkan dalam proyek Food Estate di Merauke, masyarakat adat ‘ketakutan’ – ‘Kehadiran tentara begitu besar seperti zona perang’
  • Mengapa rencana pembukaan 20 juta hektare hutan untuk lahan pangan ‘untungkan korporasi dan rugikan warga’? – Kesaksian Orang Rimba yang tersisih dari hutan leluhur

Leave a Comment