Pasal Overkriminalisasi? 18 Akademisi Desak MK Batasi UU Tipikor

Photo of author

By AdminTekno

Sebanyak delapan belas akademisi hukum pidana dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia telah menyerahkan dokumen amicus curiae atau “sahabat pengadilan” kepada Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Langkah ini merupakan bagian dari upaya mereka untuk memberikan pandangan ahli dalam perkara uji materi yang sedang berlangsung.

Dokumen amicus curiae tersebut secara khusus diajukan terkait permohonan uji materi Pasal 21 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal ini mengatur tentang delik obstruction of justice atau tindakan menghalang-halangi proses hukum, yang permohonannya diajukan oleh Hasto Kristiyanto. Menurut para akademisi, pasal kontroversial ini memiliki norma yang kabur, secara fundamental melanggar asas legalitas, dan berisiko tinggi menyebabkan kriminalisasi berlebihan.

Dalam pandangan ahli mereka, para akademisi menyoroti frasa kunci “mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung” dalam Pasal 21 UU Tipikor. Frasa ini dinilai tidak memiliki batasan hukum yang tegas dan jelas, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian. Ketidakjelasan semacam ini dianggap secara nyata bertentangan dengan prinsip dasar asas kepastian hukum yang dijunjung tinggi dalam sistem peradilan.

Prof. Deni Setya Bagus Yuherawan dari Universitas Trunojoyo Madura menegaskan dalam keterangan tertulisnya, “Tidak ada parameter yang pasti mengenai perbuatan apa yang tergolong ‘tidak langsung’.” Beliau menambahkan bahwa kekaburan ini membuka ruang bagi aparat penegak hukum untuk menafsirkan norma secara bebas. Akibatnya, tindakan yang pada dasarnya sah dan dilindungi hukum, seperti pengajuan praperadilan, pemberian nasihat oleh advokat, atau bahkan sikap diam, dapat berpotensi dianggap sebagai bentuk penghalangan proses hukum.

Penyerahan dokumen amicus curiae ini telah dilakukan ke Mahkamah Konstitusi pada Kamis (9/10), menandai langkah formal para akademisi dalam menyuarakan keprihatinan mereka.

Lebih lanjut, para akademisi hukum pidana ini menegaskan bahwa penafsiran bebas yang dimungkinkan oleh norma yang kabur tersebut tidak hanya melanggar konstitusi, tetapi juga secara langsung memicu praktik over-kriminalisasi yang tidak semestinya. Mereka juga menyoroti ketiadaan unsur “melawan hukum” dalam rumusan pasal ini, sebuah kelalaian fatal yang memungkinkan tindakan legal seperti pembelaan diri di pengadilan justru dapat diinterpretasikan sebagai upaya menghalangi penyidikan.

Selain permasalahan kekaburan norma, ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor juga dinilai sangat tidak proporsional. Prof. Deni Setya Bagus Yuherawan kembali menekankan, “Pasal 21 bukanlah tindak pidana korupsi pokok, melainkan delik umum. Namun ancamannya justru paling berat, sehingga tidak proporsional.” Pernyataan ini menggarisbawahi kejanggalan dalam bobot hukuman yang diberikan.

Menyikapi berbagai kelemahan tersebut, para ahli hukum terkemuka, termasuk Prof. Tongat dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Prof. Mahmutarom HR dari Universitas Wahid Hasyim (Unwahas), dan Prof. Rena Yulia dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), secara kolektif meminta Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsir pembatasan terhadap Pasal 21. Mereka mengusulkan agar pasal ini secara eksplisit hanya menjerat perbuatan dengan niat jahat yang dilakukan melalui metode tertentu, seperti kekerasan, intimidasi, atau pemberian keuntungan tidak semestinya, sejalan dengan semangat Konvensi PBB Antikorupsi.

Dalam dokumen amicus curiae mereka, para pakar dengan tegas menyatakan, “Pemberantasan korupsi harus berjalan dalam koridor hukum yang pasti, adil, dan proporsional.” Mereka memperingatkan bahwa “Norma yang kabur justru melemahkan keadilan dan membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan,” sebuah pandangan kritis terhadap potensi penyimpangan hukum.

Sebagai penutup, para akademisi juga mengingatkan bahwa kekaburan dalam rumusan hukum secara inheren dapat mengakibatkan penafsiran sepihak dan otoriter. Mereka menyimpulkan dengan pernyataan tajam: “Ketika aparat penegak hukum memiliki posisi dominan dalam menafsirkan bahasa norma pidana, peluang kriminalisasi akan terbuka lebar.” Peringatan ini menegaskan urgensi bagi Mahkamah Konstitusi untuk memberikan kejelasan hukum yang sangat dibutuhkan. (antara/jpnn)

Daftar Isi

Ringkasan

Delapan belas akademisi hukum pidana menyerahkan amicus curiae ke Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Pasal 21 UU Tipikor tentang obstruction of justice. Mereka menilai pasal tersebut memiliki norma yang kabur dan melanggar asas legalitas, berpotensi menyebabkan overkriminalisasi. Kekaburan ini terletak pada frasa “mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung” yang dinilai membuka ruang bagi penafsiran bebas oleh aparat penegak hukum.

Para akademisi menekankan bahwa pasal ini, sebagai delik umum, memiliki ancaman pidana yang tidak proporsional dan tidak memiliki unsur “melawan hukum.” Mereka meminta Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir pembatasan agar pasal ini hanya menjerat perbuatan dengan niat jahat melalui metode tertentu seperti kekerasan atau intimidasi. Mereka mengingatkan bahwa pemberantasan korupsi harus berjalan dalam koridor hukum yang pasti dan adil, dan norma yang kabur melemahkan keadilan serta membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.

Leave a Comment