Utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, atau yang kini dikenal sebagai Whoosh, yang telah membengkak hingga Rp118 triliun, kini menjadi perhatian serius. Para pengamat ekonomi secara kolektif melabelinya sebagai “bom waktu” yang berpotensi membahayakan keuangan negara, terutama di tengah bayang-bayang krisis fiskal yang semakin nyata. Untuk meredakan persoalan ini, para ekonom menyoroti satu-satunya langkah paling realistis, yaitu mengajukan restrukturisasi utang kepada bank-bank Tiongkok, meskipun diakui bahwa upaya tersebut tidak akan berjalan mulus.
Sebelumnya, Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria, telah mengajukan tawaran kepada pemerintah terkait penyelesaian beban utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Tawaran tersebut meliputi permintaan agar pemerintah menambah penyertaan modal kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) selaku pemimpin konsorsium kereta cepat. Sebagai gantinya, infrastruktur proyek tersebut akan diambil alih oleh pemerintah.
Namun, usulan dari Danantara tersebut secara tegas ditolak oleh Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa. Purbaya berpendapat bahwa Danantara, yang selama ini telah menerima dividen dari berbagai BUMN, semestinya mampu menangani masalah utang proyek ini tanpa harus membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pertanyaan besar pun muncul: apakah keputusan Menteri Purbaya ini merupakan langkah yang tepat?
Danantara Usulkan Dua Skema Solusi Utang Kereta Cepat
Isu utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh kembali memanas setelah Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria, secara terbuka mengajukan beberapa skema penyelesaian utang yang krusial. Dua skema utama yang diusulkan adalah penyuntikan dana tambahan kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) atau penyerahan kepemilikan infrastruktur kereta cepat kepada pemerintah.
Jika skema kedua disetujui, ini berarti PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) sebagai pengelola operasional Whoosh, akan mengubah model bisnisnya menjadi operator murni tanpa memiliki kepemilikan atas infrastruktur. Dony Oskaria mengklaim bahwa usulan ini telah disampaikan kepada pemerintah pusat, melalui Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Kementerian Perhubungan, dan kini tinggal menunggu keputusan final.
“Nah ini apakah [pemerintah] menambah equity [modal] sehingga kemudian perusahaan ini menjadi self sustain [mandiri] karena secara operasional mereka kan sudah sudah cukup,” ujar Dony kepada awak media di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta. Ia menambahkan, “Kemudian kita serahkan infrastrukturnya sebagaimana industri kereta api lain, infrastrukturnya [menjadi] milik pemerintah. Ini dua opsi yang kita coba tawarkan.”
Menteri Keuangan Purbaya Tolak Tegas Usulan Danantara
Ketika dimintai tanggapan mengenai tawaran tersebut, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku belum menerima informasi resmi. Namun, secara prinsip, ia menyatakan menolak skema yang diajukan Danantara. Menurut Purbaya, Danantara, sebagai pengelola badan investasi BUMN, seharusnya memiliki kapabilitas untuk menyelesaikan masalah keuangannya sendiri, termasuk beban utang.
“Yang jelas sekarang saya belum dihubungi tentang masalah itu, tapi kalau KCIC itu kan di bawah Danantara, kalau di bawah Danantara mestinya mereka sudah punya manajemen sendiri, [apalagi] sudah punya dividen sendiri,” ucap Purbaya kepada wartawan di Bogor.
Lebih lanjut, Purbaya menekankan bahwa Danantara mengantongi sekitar Rp80 triliun dari dividen dalam setahun. Angka ini, menurutnya, seharusnya cukup untuk mengatasi masalah beban utang kereta cepat tanpa perlu memohon bantuan finansial dari pemerintah. “Jangan kita lagi, karena kan kalau enggak ya semua kita lagi. Jadi ini kan maunya dipisah antara swasta sama government,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, menjelaskan bahwa utang kereta cepat adalah murni transaksi business to business (B2B). Ini berarti tidak ada utang pemerintah yang terlibat langsung. “Tidak ada utang pemerintah, karena dilakukan oleh badan usaha, konsorsium badan usaha Indonesia dan China, di mana konsorsiumnya dipimpin oleh PT KAI,” terang Suminto.
Berapa Sebenarnya Utang Proyek Kereta Cepat Whoosh?
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, yang kini dikenal dengan nama Whoosh, merupakan inisiatif strategis nasional yang telah digarap sejak tahun 2016 dan resmi beroperasi pada Oktober 2023. Proyek infrastruktur raksasa ini memiliki nilai investasi awal mencapai US$7,27 miliar, atau setara dengan Rp118,37 triliun jika dikonversi dengan kurs Rp16.283 per dollar AS. Angka fantastis ini sudah mencakup pembengkakan biaya atau cost overrun yang mencapai US$1,2 miliar.
Dari total investasi yang sangat besar tersebut, sekitar 75% pembiayaannya berasal dari pinjaman yang digelontorkan oleh China Development Bank (CDB).
KCJB dikelola di bawah konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Struktur kepemilikan konsorsium ini dibagi antara PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang memegang 60% saham, sementara 40% sisanya dimiliki oleh konsorsium China Railway yang terdiri dari lima perusahaan. PSBI sendiri dibentuk oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang menguasai mayoritas saham sebesar 58,5%, disusul oleh PT Wijaya Karya sebesar 33,4%, PT Jasa Marga 7,1%, dan PT Perkebunan Nusantara VIII sebesar 1,03%.
Pada tahun 2024, PSBI mencatat kerugian sekitar Rp4,2 triliun, dan tren kerugian ini masih terus berlanjut. Hingga semester I-2025, kerugian yang tercatat sudah mencapai Rp1,63 triliun, dengan kontribusi rugi bersih PSBI kepada KAI mencapai Rp951,5 miliar per Juni 2025. Sebagai pemegang saham mayoritas dalam konsorsium PSBI, PT KAI secara otomatis menanggung beban finansial terbesar, baik dalam bentuk biaya operasional Whoosh maupun kewajiban pengembalian utang.
Singkatnya, sebagian besar kerugian yang dialami proyek kereta cepat ini pada akhirnya akan ditambal oleh PT KAI. Direktur Utama KAI, Bobby Rasyidin, dalam rapat dengar pendapat di DPR Agustus lalu, bahkan menyatakan bahwa permasalahan utang KCIC adalah “bom waktu” yang berpotensi menggerogoti kinerja keuangan perseroan. Untuk itu, KAI berencana untuk terus berkoordinasi dengan Danantara terkait masalah ini.
Apakah Danantara Tak Punya Jalan Keluar Lain?
Menurut pengamat ekonomi dari Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, usulan Dony Oskaria kepada pemerintah mengindikasikan bahwa Danantara memang telah kehabisan opsi. Pasalnya, selain beban pokok utang yang besar, ada pula bunga utang yang harus dilunasi secara rutin. Berdasarkan perhitungan PEPS, besaran bunga utang tersebut mencapai sekitar US$120,9 juta, atau hampir Rp2 triliun per tahun.
Angka ini dihitung berdasarkan bunga tahunan sebesar 2% untuk utang pokok senilai US$6,02 miliar, ditambah bunga untuk pembengkakan biaya (cost overrun) yang mencapai 3,4% per tahun. Jika dikalkulasikan, beban bunga ini saja mendekati Rp2 triliun setiap tahun.
“Darimana uang Danantara membayar bunga utang itu?” tanya Anthony Budiawan kepada BBC News Indonesia pada Minggu (12/10). “Uang Danantara kan cuma dari dividen saja dan dari utang. Kalau dia ngurusin utang [kereta cepat] saja, artinya Danantara enggak bisa bergerak mengerjakan proyek-proyek lainnya.” Menurut Anthony, situasi ini akan sangat merugikan bagi Danantara.
Oleh karena itu, Anthony memahami mengapa Dony Oskaria meminta bantuan pemerintah untuk menyuntikkan modal tambahan kepada PT KAI, mengingat laba perseroan terus tergerus akibat menanggung utang beserta beban bunga utang kereta cepat. Namun, Anthony berpendapat bahwa cara tersebut secara praktis mustahil untuk diwujudkan.
Sejak Danantara mengambil alih pengelolaan investasi dan dividen dari 65 BUMN, seharusnya lembaga pengelola aset negara tersebut mampu mengatasi masalah keuangannya sendiri, termasuk beban utang. Konsekuensinya, APBN tidak lagi dapat memberikan penyertaan modal seperti yang lazim dilakukan sebelumnya. “Dulu masih bisa [memberikan penyertaan modal] karena dividen BUMN masuk ke kas negara. Tapi sekarang tidak ada dividen, penyertaan modal ini dari mana?” ungkapnya. “Semua sudah diserahkan ke Danantara. Masak dividen dikasih ke Danantara, tetapi setoran modal mau dari APBN. Itu sudah tidak bisa, sangat sulit dan bisa-bisa menjadi masalah hukum di APBN,” jelasnya lebih lanjut.
Masalah lain yang tak kalah krusial, menurut Anthony, adalah kondisi APBN yang saat ini sedang dilanda krisis fiskal. Selain karena pendapatan dari pajak yang belum optimal, pemerintah juga tertekan oleh beban pembayaran bunga utang yang diperkirakan mencapai Rp599,4 triliun pada tahun depan. Angka ini menunjukkan kenaikan 8,6% dari anggaran pembayaran bunga utang sebesar Rp552,1 triliun yang tercantum dalam outlook APBN 2025. “Sampai berapa lama kita bisa bertahan, apalagi mau dibebankan [utang kereta cepat]? Tidak akan kuat,” tambahnya, menunjukkan kekhawatiran serius terhadap kemampuan fiskal negara.
Tepatkah Sikap Menteri Keuangan Purbaya?
Melihat kondisi tersebut, ekonom Anthony Budiawan menilai langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sudah berada di jalur yang benar. “Cara Purbaya sudah benar, sebab APBN tidak bisa menanggung utang swasta,” tegasnya.
Senada dengan itu, Kepala Pusat Makro Ekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics & Finance (Indef), Rizal Taufikurahman, juga menyuarakan persetujuannya. Ia berpendapat bahwa penolakan Purbaya terhadap tawaran Danantara untuk menambah modal proyek kereta cepat dengan imbalan pengalihan aset adalah langkah yang tepat dan menunjukkan disiplin fiskal yang kuat.
Rizal menilai skema asset-for-equity swap yang diusulkan Danantara, meskipun tampak pragmatis, justru berisiko tinggi karena dapat menambah kewajiban tersembunyi bagi negara dan berpotensi mengikis kredibilitas APBN. Lebih jauh, jika tawaran Danantara diterima, hal ini dapat menciptakan preseden buruk yang memungkinkan BUMN lain untuk berlindung di balik fiskal negara setiap kali proyek mereka menghadapi masalah.
“Secara makro, keputusan Purbaya memberi sinyal penting bahwa pemerintah menolak menjadi penyelamat terakhir sekaligus penampung bagi proyek bermasalah,” kata Rizal kepada BBC News Indonesia. “Sikap ini menunjukkan arah kebijakan fiskal yang kredibel dan berorientasi jangka panjang, menjaga APBN tetap fokus pada fungsi publik seperti subsidi, layanan sosial, dan pembangunan prioritas.”
Terlepas dari itu, Rizal juga menilai bahwa kondisi utang Whoosh termasuk dalam kategori berisiko tinggi. Hal ini disebabkan oleh beban keuangan yang tidak seimbang dengan kapasitas pendapatan proyek. Ia mencatat bahwa tingkat keterisian penumpang Whoosh masih tergolong rendah, sementara cicilan utang kepada China Development Bank terus berjalan tanpa henti. Sepanjang tahun 2024 saja, tiket yang terjual hanya mencapai 6,06 juta lembar. Dengan asumsi harga rata-rata Rp250.000 per tiket, total pendapatan kotor kereta cepat diperkirakan hanya sekitar Rp1,5 triliun—angka yang masih jauh dari besaran biaya bunga utang yang harus dibayar.
“Kalau kondisi ini berlanjut, risiko kerugian berantai di BUMN transportasi seperti KAI dan Danantara bisa terjadi, dan berpotensi menekan kinerja keuangan negara secara tidak langsung,” kata Rizal, menyoroti dampak domino yang mungkin timbul.
Adakah Opsi Penyelesaian Utang Whoosh yang Realistis?
Di tengah tekanan yang kian memuncak, para ekonom kompak mengusulkan agar PT KAI dan Danantara segera mengajukan restrukturisasi pinjaman kepada China Development Bank (CDB) sebagai upaya untuk meringankan beban keuangan. Meskipun demikian, mereka mengakui bahwa proses ini tidak akan mudah.
Anthony Budiawan menjelaskan bahwa agar restrukturisasi dapat terealisasi, bank-bank Tiongkok kemungkinan besar akan mensyaratkan PT KAI untuk setidaknya membayar sejumlah pokok pinjaman terlebih dahulu. “Sekarang aja belum bayar principal, mau direstrukturisasi apanya?” kata Anthony mempertanyakan. “Setelah itu baru bisa restrukturisasi bunga utang, jangan 2% dan 3,4%. Harus turunin, minta saja seperti tawaran Jepang 0,1%. Itu baru namanya restrukturisasi, masuk akal.”
Ia melanjutkan, “Kalau tidak mau, ya berarti default [gagal bayar]. Berarti proyek ini di-takeover China seluruhnya,” memberikan gambaran konsekuensi terburuk jika negosiasi gagal. Dalam perkembangan terkini, Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, menyampaikan bahwa proses negosiasi untuk restrukturisasi utang proyek kereta cepat saat ini sedang berlangsung. Negosiasi ini melibatkan pemerintah dan perusahaan mitra dari Tiongkok, dengan tujuan mencapai kesepakatan struktur pembiayaan baru yang lebih berkelanjutan.
Rosan juga menjelaskan bahwa restrukturisasi utang KCIC tidak hanya berfokus pada perbaikan jangka pendek, melainkan juga mencakup reformasi menyeluruh terhadap struktur pembiayaan. Langkah ini diharapkan dapat mencegah terulangnya risiko serupa di masa mendatang. Meskipun demikian, Rosan tidak menampik bahwa proses restrukturisasi utang KCIC berpotensi memengaruhi rencana pembangunan proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya. Ia menambahkan bahwa ranah teknis proyek lanjutan tersebut akan lebih banyak ditangani oleh Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan.
Secara terpisah, anggota Komisi VI DPR, Herman Khaeron, menyatakan dukungannya terhadap opsi restrukturisasi, asalkan perhitungannya masuk akal dan mampu secara signifikan meringankan beban pengembalian utang. Selain itu, ia juga menyarankan efisiensi operasional, dan sebagai opsi terakhir, percepatan penambahan rute Jakarta-Surabaya—yang diyakini dapat mendongkrak pendapatan PT KCIC.
“Jangka panjangnya harus ada rute tambahan, sehingga penumpang bertambah. Kalau nambah, kan pendapatan juga bertambah. Dan saya kira, kalau ada kereta cepat bisa menggantikan moda transportasi lintas Jawa,” kata Herman Khaeron kepada BBC News Indonesia. “Yang pasti kami akan terus mengevaluasi operasional KCIC dan kami ingin tahu juga sejauhmana hitungan rute ini diperpanjang dari Jakarta sampai Surabaya. Visibilitasnya seperti apa, sehingga kami bisa mendorong percepatan itu.”
Awal Mula Proyek Kereta Cepat di Indonesia
Sejatinya, ide proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung pertama kali diajukan oleh Jepang. Melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), Jepang bahkan telah mengucurkan modal sebesar US$3,5 juta pada tahun 2014 untuk mendanai studi kelayakan. Berdasarkan perhitungan Jepang, nilai investasi proyek kereta cepat mencapai US$6,2 miliar atau setara Rp91 triliun, dengan 75% pembiayaannya berasal dari pinjaman Jepang bertenor 40 tahun dengan bunga yang sangat rendah, yakni 0,1% per tahun.
Namun, di tengah proses lobi Jepang, Tiongkok tiba-tiba muncul dan juga melakukan studi kelayakan, yang didukung kuat oleh Menteri BUMN kala itu, Rini Soemarno. Tiongkok kemudian menawarkan nilai investasi yang lebih “murah” sebesar US$5,5 miliar atau setara Rp81 triliun. Skema investasi yang ditawarkan Tiongkok adalah 40% kepemilikan oleh pihak Tiongkok dan 60% oleh konsorsium BUMN Indonesia, dengan sisanya didanai melalui pinjaman bertenor 40 tahun dan bunga 2% per tahun.
Tiongkok juga memberikan jaminan tegas bahwa pembangunan proyek ini tidak akan membebani atau menguras dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia. Tawaran dari Tiongkok inilah yang akhirnya diterima oleh pemerintah Indonesia, yang kemudian ditindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 107 Tahun 2015. Pembangunan kereta cepat pun dimulai pada tahun 2016, dengan target rampung pada 2018 dan diharapkan mulai beroperasi pada 2019.