Semakin banyak tentara akan dikirim ke Aceh dan Papua – ‘Saya khawatir trauma konflik itu muncul kembali’

Photo of author

By AdminTekno

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin pada Senin (24/11) mengatakan akan menambah tentara di tiga kota strategis yang diistilahkannya sebagai center of gravity. Ketiga wilayah itu adalah Jakarta, Aceh, dan Papua.

Sjafrie belum memerinci tambahan personel yang akan dikerahkan ke masing-masing daerah, tapi menyebut keputusan itu “dalam rangka mendukung stabilitas nasional supaya pembangunan bisa berjalan aman dan lancar.”

Sejawat Presiden Prabowo Subianto di Akademi Militer itu juga mengatakan bahwa pemerintah akan membangun 150 batalion infanteri teritorial setiap tahunnya.

BBC News Indonesia mewawancarai sejumlah warga di Papua dan Aceh, guna menanyakan pendapat terkait rencana penambahan tentara di daerah mereka.

Mereka bersepakat penambahan tentara itu tidak dibutuhkan, seraya menilai kebijakan itu berpotensi mematik trauma masa lalu. Kedua warga di daerah tersebut memiliki rekam jejak interaksi panjang dengan militer.

“Yang ada, saya khawatir truma konflik akan muncul kembali,” kata Junaidi, salah seorang warga Aceh Timur sempat mengalami penerapan DOM dan darurat militer di Aceh.

Sementara pengamat menilai penambahkan personel militer ini akan memperkuat “remiliterisasi” di segenap sendi kehidupan di Indonesia.

BBC News Indonesia telah menghubungi Kementerian Pertahanan untuk mengonfirmasi kekhawatiran warga, tapi menolak memberi jawaban.

Bagaimana tanggapan masyarakat Papua?

Rencana penambahan tentara di tiga daerah disampaikan Menteri Pertahanan Sjafrie Samsoeddin usai rapat bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (24/11).

Alasannya, ketiga wilayah itu dinilai strategis bagi stabilitas keamanan negara.

Jakarta dipilih lantaran berstatus pusat pemerintahan yang keamanannya harus dijamin.

“Kita amankan Jakarta itu dari 360 derajat. Baik dari pengamanan pantai, maupun pengamanan udara, serta pengamanan di darat kita lakukan,” ujar Sjafrie di kompleks parlemen Jakarta.

Sementara Aceh dan Papua dipilih karena merupakan gerbang negara, masing-masing di barat dan timur.

Kami mewawancarai beberapa warga di dua wilayah tersebut, mengingat keduanya memiliki rekam jejak interaksi panjang dengan tentara.

Pemerintah pernah menerapkan DOM dan darurat militer di Aceh—di pengujung era Presiden Suharto sampai awal reformasi, sementara kehidupan warga Papua sampai saat ini masih lekat dengan tentara.

Benus Murip, seorang warga Lanny Jaya di Provinsi Papua Pegunungan berpendapat, kehadiran personel TNI— dan juga Polri—selama ini telah membuat warga di daerahnya tidak hidup tenang.

Benus mencontohkan langkah pihak militer yang disebutnya kerap datang dan membangun pos keamanan tanpa berkoordinasi dengan masyarakat lokal.

Tak jarang, tanah yang dibangun pos merupakan tanah milik masyarakat adat atau fasilitas publik.

“Mereka [TNI] tidak pernah tanya, langsung datang, mengambil tempat di mana ada pembangunan atau di mana ada kantor distrik, gedung sekolah,” ujar Benus.

“Mereka sudah melakukan pendudukan, tanpa ada koordinasi. Saya melihat, mereka sudah jelas-jelas melakukan perampasan tanah atas masyarakat adat.”

Sampai saat ini, Benus mencatat setidaknya sudah ada delapan pos keamanan yang dibangun TNI di Lanny Jaya.

Pada mulanya, terang Benus, pos-pos tersebut berdiri di wilayah perbukitan atau hutan, tapi belakangan merangsek ke pemukiman warga.

Selain itu, para tentara disebut Benus juga kerap meminta warga untuk mencarikan kayu bakar atau mengangkat barang milik TNI.

Warga terpaksa mengikuti keinginan itu lantaran takut membantah, terang Benus.

“Itu biasa terjadi dan saya melihat itu menimulkan kegelisahan. Mereka [mengikuti] bukan karena ikhlas, tapi karena keterpaksaan. Karena takut,” ujarnya.

Belum lagi beragam larangan aktivitas terhadap warga, seperti larangan berburu di hutan dan pembatasan jam kegiatan, hanya antara jam 6 pagi hingga 2 siang.

Padahal, kata Benus, warga di Lanny Jaya selama bertahun-tahun kerap berburu di hutan pada malam hari.

“Sejak TNI di sana, aktivitas itu disetop,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa aparat membatasi aktivitas berkebun maksimal 3 sampai 4 orang.

Benus mengaku sempat menyuarakan keluhan ini ke pimpinan militer setempat, tapi dijawab bahwa ihwal itu telah dikoordinasikan dengan pimpinan gereja.

“Mereka sampaikan bahwa apa yang mereka lakukan, tindakan itu, bukan semena-mena, tapi sudah koordinasi dengan pimpinan gereja,” kata Benus.

“Tapi pimpinan gereja itu mengiakan hanya karena takut, diintimidasi, dan lain-lain.”

Dalam sejumlah kesempatan, pemerintah berdalih penempatan tentara di sejumlah titik di Papua untuk melindungi dan memberikan rasa aman bagi warga dari gangguan milisi pro-kemerdekaan.

Hal itu juga ditegaskan Sjarie dalam pernyataan di DPR.

Namun, Benus mengatakan hal sebaliknya.

“Pada dasarnya, masyarakat di sini tidak membutuhkan mereka. TNI justru datang membawa masalah baru, membawa penderitaan bagi orang asli Papua, khususnya di Lanny jaya,” ujarnya.

Senada pernyataan sejumlah perempuan Papua kepada BBC News Indonesia yang mengakui kehadiran TNI justru membuat masyarakat “secara psikologis tidak tenang.”

Salah seorang perempuan Papua yang meminta diidentifikasi sebagai Daby menilai, penambahan tentara justru berpotensi membuat masyarakat Papua kian tertekan.

Selama ini, masyarakat sudah tertekan karena diliputi perasaan saling curiga, takut dianggap memihak kubu tertentu—TNI atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

“Di sini, warga itu saling tak percaya. Ketika ada sesuatu, takut dianggap berpihak dan dukung suatu pihak,” kata Daby.

“Ruang gerak kami menjadi lebih sempit karena khawatir dan takut.”

Daby menyebut, militer selama ini memang kerap memberi bantuan kepada warga lokal.

Namun, Daby menilai hal itu sebatas upaya membangun imaji positif, tapi tak menyentuh akar masalah dan keinginan warga Papua.

“Mereka menutupi persoalan dengan kasih bantuan atau mengajar di sekolah, seolah baik-baik saja, tapi kami melihat itu hanya pencitraan,” ujar Daby.

Perempuan menjadi korban

Aktivis perempuan Papua bernama Ice Murip menambahkan, perempuan Papua adalah pihak yang sangat dirugikan dengan kehadiran tentara.

Kerugian pertama, terang Ice, adalah potensi menjadi korban kekerasan seksual.

“Kalau ditambah, potensi peningkatan kekerasan sangat mungkin terjadi,” ujar Ice.

Kerugian kedua, menurutnya, adalah fenomena para perempuan yang terpaksa menjadi tulang punggung keluarga akibat suami tewas dalam operasi keamanan militer.

Fenomena ini, terang Ice, banyak terjadi pada pengungsi perempuan dari Lanny Jaya, Intan Jaya, atau Maybrat.

“Akibatnya, banyak anak-anak yang kemudian tak bisa dapat pendidikan, kesehatan, dan pemenuhan gizi,” ujar Ice.

Pernyataan Ice sejalan dengan temuan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) yang dilansir pada 30 Agusus 2024.

Dalam laporan berjudul Perempuan Papua Melawan Kekerasan yang Dilanggengkan Negara tersebut, INFID mendalami tiga fase operasi militer yakni periode 1977-1978, operasi militer 2005, dan pengejaran OPM 2007.

INFID menyatakan banyak perempuan Papua kala itu kehilangan ayah, paman, dan saudara laki-lakinya akibat operasi militer.

Sementara para lelaki muda kemudian memilih meninggalkan kampung karena enggan terseret dalam operasi militer.

“Sehingga mayoritas kampung dihuni janda dan anak-anak. Perempuan kemudian hidup dalam situasi miskin dan terisolasi dari wilayah sekitarnya,” tulis INFID dalam pemaparannya.”

Lantas, apa harapan para perempuan Papua itu?

Ice dan Daby bersepakat pada dua hal: batalkan penambahan tentara dan tarik personel yang telah ada di Papua.

“Kehadiran tentara justru membuat warga tidak aman. Kehadiran mereka secara psikologis membuat warga tidak tenang… Rencana penambahan itu tidak dibutuhkan,” ujar Daby

Sementara Ice menyebut, “Kalau negara demokrasi, pihak yang berkonflik itu duduk bersama untuk mencari solusi permanen. Tapi, tarik dulu semua militer di Papua.”

“Saya khawatir trauma konflik itu muncul kembali,”

Tak berbeda dengan warga Papua, sebagian warga Aceh juga mempertanyakan rencana penambahan personel di daerahnya.

Seorang warga Aceh Timur yang sempat melalui DOM dan darurat militer mengaku khawatir dengan rencana penambahan tentara di wilayahnya.

Ia meminta untuk diidentifikasi sebagai Junaidi

“Saya khawatir trauma konflik itu muncul kembali,” ujar Junaidi.

Pria 44 tahun sempat mengalami masa DOM dan darurat militer, yang digambarkannya “sangat traumatis.”

Junaidi yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama sempat menyaksikan mayat warga sipil di pinggir jalan. Badannya penuh luka, hasil penyiksaan.

Insiden itu membuat ia dan keluarganya, serta warga Aceh Timur lain takut untuk keluar rumah. Mereka tak mau dicurigai tentara sebagai bagian kelompok separatis.

Trauma itu pun terus dibawa sampai saat ini.

Jika sedang berada di tempat makan dan mendapati tentara atau polisi bersenjata, ia mengaku memilih kabur dan mencari tempat lain.

“Badan saya menolak, enggak bisa. Sampai sekarang saya juga enggak bisa berkawan akrab dengan yang berbau militer,” ujarnya.

Saat DOM diberlakukan, Junaidi menyebut jumlah tentara di kampungnya sangat banyak dan rutin berkeliling.

Mereka bersenjara lengkap dan tak jarang melakukan kekerasan terhadap masyarakat sipil yang dicurigai bagian kelompok separatis.

Alhasil, ia mengaku khawatir trauma kolektif itu akan kembali muncul jika pemerintah benar-benar menambah militer di Aceh.

“Memang tidak otomatis kekerasan akan kembali terjadi, tapi soal trauma masa lalu itu saya khawatir dapat muncul lagi,” ujar Junaidi.

Ia meminta pemerintah meninjau ulang rencana penambahan tentara di Aceh.

“Yang harus dilaukan di Aceh saat ini bukan menambah tentara, tapi bagaimana masyarakatnya sejahtera,” kata Junaidi.

“Lagipula, siapa yang mau dihadapi tentara di sini [Aceh]?”

Sepanjang penerapan DOM dan darurat militer, sejumlah pelanggaran HAM sempat terjadi.

Berdasarkan catatan Komnas HAM, terdapat insiden Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Pidie (1989-1998), pembunuhan massal Simpang KKA di Aceh Utara (1999), dan pembunuhan Bumi Flora di Aceh Timur (2001).

Adapula penghilangan paksa di Bener Meriah (2001) dan pembantaian massal di Jambo Keupok (2003).

Semua kasus itu telah ditetapkan Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat, kecuali pembunhan Bumi Flora.

Tentara terus berdatangan di Lanny Jaya

Juru Bicara Kementerian Pertahanan, Rico Ricardo Sirait, tak memerinci saat dikonfirmasi perihal beragam keluhan masyarakat dan detail penambahan personel.

Ia hanya menjawab singkat, “Nanti kita cari waktu.”

Namun berdasarkan keterangan Benus Murip, tentara terus berdatangan ke Lanny Jaya beberapa waktu terakhir.

Benus tak mengetahui jumlah tentara yang kini berada di Lanny Jaya, tapi dalam empat bulan terakhir ia mencatat setidaknya ada lima kedatangan personel militer, lengkap dengan persenjataan, di Distrik Kuyawage, Melagai, dan Tiom

Kedatangan pertama terjadi pada 21 Agustus 2025, di mana sekitar 10 mobil tiba membawa pasukan.

Sehari setelahnya, sekitar 15 mobil membawa pasukan menuju Melagai dan disebut Benus “balik dalam keadaan kosong.”

Pada 23 Agustus, sebanyak 12 mobil diketahui kembali mengangkut personel dan persenjataan menuju Melagai. Pada hari yang sama, adapula pengerahan pasukan di Distrik Tiom, tapi Benus tak mengetahui detailnya.

Kedatangan pasukan lain terjadi pada September di Distrik Kuyawage.

Ia belum memastikan apakah rangkaian kedatangan itu adalah penambahan atau semata-mata pergantian.

“[Tapi] kami mencurigai ada penambahan karena di lapangan kami melihat muka-muka yang tidak kami kenal,” ujarnya.

“Di daerah sensitif, penambahan tidak akan mengurangi gejolak”

Dalam pernyataan di DPR, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin belum memerinci jumlah penambahan dan lokasinya.

Ia hanya mengatakan, pengamana di Papua akan dilakukan dengan metode yang disebutnya smart approach.

Metode ini menggabungkan pendekatan teritorial yang dia kategorikan soft approach dan operasi taktis yang dia labeli hard approach.

Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dalam kesempatan sama juga sempat menambahkan bahwa penguatan pengamanan itu salah satunya dengan pembangunan batalion di setiap kabupaten/kota.

Saat ini, TNI Angkatan Darat memiliki sekitar 100 batalion, tapi nantinya ditargetkan ada di setiap kabupaten dan kota di antero Indonesia yang berjumlah 514.

“Kami harapkan satu kabupaten, satu batalion,” ujar Agus. Dia berkata, TNI AD juga menargetkan terdapat 37 kodam pada 2026.

Untuk mencapai jumlah 514 batalion, pemerintah menargetkan akan membangun batalion baru secara bertahap.

Setiap tahunnya, pemerintah menargetkan pembangunan 150 batalion.

Peneliti pada ISEAS-Yusof Ishak Institute Singapura, Made Supriatma, mempertanyakan urgensi penambahan batalion.

“Di daerah sensitif, penambahan itu tidak akan mengurangi gejolak, malah memanaskan situasi karena orang merasa terancam. Masyarakat justru akan antipati,” ujar Made kepada BBC News Indonesia.

“Persoalannya kan bukan militer, tapi politik. Apakah pemerintah mau memperkuat gerakan separatis? Sementara kalau di Aceh itu dianggap kembali ke masa lalu, itu bisa kacau,” tuturnya.

Tak cuma potensi menambah gejolak, Made juga menyoroti ihwal biaya besar yang harus dikeluarkan pemerintah untuk mewujudkan rencana pembangunan batalion.

Pasalnya, kata dia, pemerintah tak cuma harus menyediakan dana pembangunan, tapi juga gaji beserta tunjangan para personel yang ditugaskan di tempat tersebut.

Ia menilai rangkaian kebijakan itu hanya akan memperkuat remiliterisasi di segala sendi kehidupan masyarakat.

“Jelas itu [bentuk remiliterisasi]. Apa motifnya kan mereka belum menjelaskan. Itu harus dipertanyakan,” ujarnya.

TNI juga akan dikerahkan jaga kilang minyak

Selain menambah batalion, Menhan Sjafrie juga juga menyebut pembangunan batalion untuk mengamankan industri strategis yang dianggap berkaitan dengan kedaulatan negara.

“Sebagai contoh, kilang dan terminal Pertamina. Ini juga bagian yang tidak terpisahkan daripada gelar kekuatan kita,” ujar Sjafrie.

Apakah akan membuat bisnis militer kian kuat dan mengakar?

Made tak bisa memastikan, dengan mengatakan, “Apakah mereka akan memperkaya diri, belum bisa dipastikan.”

Lalu, apakah rangkaian kebijakan ini buah dari revisi UU TNI yang disahkan DPR beberapa waktu lalu?

Made menyangkal korelasinya.

Ia menilai bahwa rangkaian kebijakan ini tak lebih dari diskresi Presiden Prabowo Subianto yang juga berlatar belakang militer.

“Penambahan UU TNI itu kan cuma di ruang kecil. Ini diskresi saja,” kata Made.

  • Menelusuri kasus penyiksaan warga sipil oleh prajurit TNI di Puncak, Papua – ‘Kami bebas melakukan apapun yang kami suka’
  • Pemuda asli Papua tewas diduga akibat dianiaya polisi – ‘Nyawa kami seakan mudah sekali dibunuh’
  • Laki-laki asli Papua di Nduga tewas dengan tubuh terpotong – Bagaimana kasusnya?
  • ‘Konflik berulang membuat masyarakat Aceh trauma’ – Mengapa Indonesia harus belajar dari penyelesaian damai konflik Aceh?
  • ‘Kami dijadikan tameng, setiap saat siap mati’ – Kesaksian tentara Indonesia yang pernah ditugaskan di seputar kompleks ExxonMobil, Aceh
  • ‘Saya mensyukuri perdamaian, tapi kemakmuran kurang’ – Cerita eks tentara GAM dan masalah kesejahteraan di Aceh

Leave a Comment